Mohon tunggu...
MUHAMMAD AGAM DWIPUTRA
MUHAMMAD AGAM DWIPUTRA Mohon Tunggu... Arsitek - Mahasiswa_S1 Arsitektur Universitas Mercubuana

NIM : 41221120005 Universitas Mercu Buana Meruya, Fakultas Teknik prodi Arsitektur. Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

kuis 13 - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

5 Desember 2024   12:36 Diperbarui: 5 Desember 2024   12:36 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KUIS 13

Diskursus G Peter Hoefnagels pada Skema "Criminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia 

getty images
getty images

Kebijakan kriminal dapat dipahami sebagai organisasi rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan. Menurut Marc Ancel dan G. Peter Hoefnagels, kebijakan kriminal mencakup berbagai aspek yang terkait dengan bagaimana masyarakat dan negara menanggapi tindakan kriminal. Hoefnagels memberikan beberapa definisi yang memperjelas konsep ini:

1. Kebijakan kriminal adalah ilmu tentang reaksi terhadap kejahatan: Ini menunjukkan bahwa kebijakan kriminal tidak hanya berfokus pada kejahatan itu sendiri, tetapi juga pada bagaimana masyarakat dan sistem hukum menanggapi kejahatan.

2. Kebijakan kriminal adalah ilmu tentang pencegahan kejahatan: Definisi ini menekankan upaya untuk mencegah dan memerangi kejahatan melalui berbagai strategi dan kebijakan yang dirancang untuk mengurangi angka kejahatan.

3. Kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk merancang perilaku manusia sebagai kejahatan: Ini mencerminkan bagaimana norma dan hukum ditetapkan untuk menentukan perilaku mana yang dianggap sebagai kejahatan, dan bagaimana masyarakat berinteraksi dengan definisi ini.

4. Kebijakan kriminal adalah reaksi rasional terhadap kejahatan: Definisi ini menekankan pentingnya pendekatan berbasis data dan analitis dalam merumuskan kebijakan yang efektif untuk menangani kejahatan.

Korupsi sebagai Penyimpangan di Ruang Publik

Maraknya korupsi di ruang publik merupakan cerminan penyimpangan dari cita-cita kesejahteraan bersama. Korupsi kerap kali muncul sebagai tindakan privatisasi sumber daya yang seharusnya menjadi milik publik. Di Indonesia, fenomena korupsi merupakan isu yang terus menerus mencuat, melibatkan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat hingga masyarakat biasa.

Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT)

Untuk memberantas korupsi, Indonesia telah mengembangkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT). Kerangka hukum utama pemberantasan korupsi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juga memegang peranan penting dalam upaya tersebut, terutama dengan adanya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang bertugas mengoordinasikan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Pendekatan Non Penal dalam Pemberantasan Korupsi

Pendekatan non penal dalam pemberantasan korupsi meliputi berbagai strategi, seperti:

- Peningkatan transparansi: Melalui pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan sistem pelaporan pelanggaran KPK.

- Pengawasan ketat: Oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan PPATK pada proyek strategis nasional.

- Pendidikan hukum: Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap korupsi dan dampaknya.

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset

RUU tentang Perampasan Aset diharapkan dapat mempercepat pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi kepada negara dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pengesahan RUU ini penting untuk memperkuat sistem hukum dan meningkatkan transparansi, serta membangun kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Kebijakan kriminal merupakan pendekatan yang rasional dan terorganisasi untuk menanggulangi kejahatan dalam masyarakat. Konsep ini mencakup berbagai strategi dan kebijakan yang dirancang untuk mencegah, mengendalikan, dan memberantas kejahatan. Dalam konteks ini, kebijakan kriminal tidak hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga mencerminkan upaya masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warga negaranya melalui kebijakan sosial yang lebih luas.

Hubungan dengan Penegakan Hukum

Sebagai bagian dari politik penegakan hukum, kebijakan kriminal berfungsi untuk menciptakan sistem yang efektif dalam menanggulangi kejahatan. Penegakan hukum pidana yang dikenal sebagai sistem penegakan hukum merupakan pelaksanaan kebijakan kriminal. Hal ini mencakup tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk menanggulangi kejahatan, mulai dari pencegahan hingga penangkapan dan pengadilan terhadap pelanggar hukum.

Soerdarto mendefinisikan kebijakan kriminal sebagai upaya rasional yang dilakukan oleh masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya didasarkan pada reaksi terhadap kejahatan yang terjadi, tetapi juga melibatkan analisis yang mendalam tentang penyebab dan dampak kejahatan dalam masyarakat.

Integrasi dengan Kebijakan Sosial

Kebijakan kriminal juga terintegrasi ke dalam kerangka kebijakan sosial. Artinya, kebijakan yang diambil untuk menanggulangi kejahatan harus mempertimbangkan faktor sosial yang lebih luas, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga untuk mengatasi akar penyebab kejahatan.

Misalnya, program rehabilitasi bagi pelaku kejahatan dapat menjadi bagian dari kebijakan kriminal yang lebih luas, yang bertujuan untuk mengurangi angka kejahatan dengan memberikan kesempatan bagi individu untuk memperbaiki diri dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa kejahatan sering kali terkait dengan kondisi sosial yang kurang beruntung.

Pendekatan Kebijakan yang Rasional

Kebijakan kriminal memerlukan pendekatan yang didorong oleh data dan analitis. Artinya, kebijakan yang diambil harus didasarkan pada penelitian dan pemahaman yang mendalam tentang pola kejahatan, karakteristik pelaku kejahatan, dan dampak kebijakan yang diterapkan. Dengan pendekatan ini, diharapkan kebijakan kriminal dapat lebih efektif dalam mengurangi kejahatan dan meningkatkan keselamatan publik.

Penyebab Kejahatan


Memahami penyebab kejahatan merupakan upaya yang rumit yang melibatkan berbagai teori dan perspektif. Di sini, kita akan mengeksplorasi beberapa kerangka kerja utama: Biologis/Psikologis, Sosiologis, Teori Penyimpangan Budaya, Teori Kontrol Sosial, dan teori-teori penting lainnya seperti Teori Pelabelan, Teori Konflik, dan Kriminologi Radikal (Kritis).


1. Penyebab Biologis/Psikologis


Teori-teori biologis menyatakan bahwa faktor genetik dan fisiologis dapat memengaruhi individu untuk berperilaku kriminal. Misalnya, penanda genetik tertentu dapat dikaitkan dengan agresivitas atau impulsivitas, yang dapat meningkatkan kemungkinan terlibat dalam aktivitas kriminal. Selain itu, teori-teori psikologis berfokus pada masalah kesehatan mental, gangguan kepribadian, dan sifat-sifat perilaku yang dapat berkontribusi pada kriminalitas. Misalnya, individu dengan gangguan kepribadian antisosial mungkin menunjukkan kurangnya empati dan penyesalan, yang mengarah pada perilaku kriminal.


2. Penyebab Sosiologis


Teori-teori sosiologi menekankan peran struktur dan hubungan sosial dalam memengaruhi perilaku kriminal. Faktor-faktor seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan disorganisasi sosial dapat menciptakan lingkungan di mana kejahatan lebih mungkin terjadi. Misalnya, masyarakat dengan tingkat pengangguran dan ketidakstabilan sosial yang tinggi dapat mengalami tingkat kejahatan yang lebih tinggi karena kurangnya kohesi sosial dan sistem pendukung.


3. Teori Penyimpangan Budaya


Teori Penyimpangan Budaya menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil dari individu yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma-norma subkultur tertentu yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat arus utama. Teori ini menyatakan bahwa ketika individu dibesarkan dalam lingkungan di mana perilaku kriminal dinormalisasi, mereka lebih cenderung mengadopsi perilaku ini sebagai sesuatu yang dapat diterima. Misalnya, budaya geng sering kali mempromosikan nilai-nilai yang mengagungkan kekerasan dan aktivitas kriminal, yang menyebabkan para anggotanya terlibat dalam perilaku tersebut.


4. Teori Kontrol Sosial


Teori Kontrol Sosial berfokus pada mekanisme yang digunakan masyarakat untuk mengatur perilaku individu. Menurut teori ini, ikatan sosial dan ikatan komunitas yang kuat dapat menghalangi individu untuk melakukan kejahatan. Ketika ikatan ini lemah atau tidak ada, individu mungkin merasa kurang dibatasi oleh norma-norma masyarakat, yang mengarah pada peningkatan perilaku kriminal. Faktor-faktor seperti struktur keluarga, pengaruh teman sebaya, dan keterlibatan masyarakat memainkan peran penting dalam mempertahankan kontrol sosial.


5. Teori Lainnya


Teori Pelabelan menyatakan bahwa individu menjadi penjahat ketika mereka diberi label seperti itu oleh masyarakat. Label-label ini dapat mengarah pada ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya, di mana individu menginternalisasi label tersebut dan terus terlibat dalam perilaku kriminal.


Teori Konflik berpendapat bahwa kejahatan adalah hasil dari ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Teori tersebut menyatakan bahwa hukum dibuat oleh mereka yang berkuasa untuk mempertahankan status dan kendali mereka atas kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Perspektif ini menyoroti bagaimana ketidaksetaraan sistemik dapat menyebabkan perilaku kriminal ketika individu berjuang melawan struktur yang menindas.
Kriminologi Radikal (Kritis) memperluas gagasan teori konflik dengan menekankan peran kapitalisme dan perjuangan kelas dalam membentuk perilaku kriminal. Ia mengkritik kriminologi tradisional karena mengabaikan konteks sosial-ekonomi yang lebih luas dan menganjurkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kejahatan yang mencakup masalah kekuasaan, ketidaksetaraan, dan keadilan sosial.

Criminal Policy as the Science of Responses


Dalam konteks ini, kebijakan kriminal digambarkan sebagai ilmu respons terhadap kejahatan. Ini menyiratkan bahwa kebijakan ini bergantung pada data empiris dan penelitian untuk merumuskan strategi yang secara efektif menangani perilaku kriminal. Dengan mempelajari pola kejahatan dan efektivitas berbagai intervensi, pembuat kebijakan dapat mengembangkan respons yang terinformasi yang ditujukan untuk mengurangi tingkat kejahatan dan meningkatkan keselamatan publik. 

Criminal Policy as the Science of Crime Prevention


Hoefnagels juga menekankan bahwa kebijakan kriminal mencakup ilmu pencegahan kejahatan. Aspek ini berfokus pada langkah-langkah proaktif yang dirancang untuk mencegah perilaku kriminal sebelum terjadi. Ini mencakup strategi seperti keterlibatan masyarakat, pendidikan, dan program sosial yang menangani akar penyebab kejahatan, sehingga mengurangi kemungkinan individu terlibat dalam kegiatan kriminal.

Designating Human Behavior as Crime


Elemen penting lain dari perspektif Hoefnagels adalah peran kebijakan kejahatan dalam mendefinisikan perilaku manusia sebagai kejahatan. Proses ini melibatkan konsensus masyarakat tentang apa yang merupakan perilaku kriminal, yang dapat bervariasi di berbagai budaya dan periode waktu. Kebijakan kejahatan memainkan peran penting dalam mendefinisikan perilaku ini dan membangun kerangka hukum yang mengaturnya, yang mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.

A Rational Total of Responses to Crime


Terakhir, Hoefnagels menggambarkan kebijakan kejahatan sebagai jumlah respons rasional terhadap kejahatan. Ini berarti bahwa kebijakan kejahatan yang efektif mengintegrasikan berbagai respons---hukum, sosial, dan pencegahan---menjadi strategi yang kohesif. Ia mengakui bahwa pengendalian kejahatan memerlukan pendekatan multifaset yang memperhitungkan kompleksitas perilaku manusia dan dinamika masyarakat.

Penologi: Ilmu Hukum


Penologi berasal dari kata "penal" yang berarti "hukuman". Dengan demikian, penologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang pemidanaan. Ilmu ini merupakan cabang ilmu kriminologi yang berfokus pada kajian tentang pemidanaan, meliputi asal usul, perkembangan, arti penting, dan manfaat berbagai bentuk pemidanaan yang diterapkan dalam sistem peradilan.


Asal Usul Penologi
Penologi mempelajari asal usul pemidanaan, yang meliputi sejarah dan evolusi sistem pemidanaan dari masa ke masa. Sejak zaman dahulu, berbagai masyarakat telah mengembangkan cara-cara untuk menghukum pelanggar hukum, yang sering kali dipengaruhi oleh norma-norma sosial, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku. Penelitian dalam penologi membantu kita memahami bagaimana pandangan masyarakat tentang pemidanaan telah berubah dan bagaimana hal ini memengaruhi praktik hukum saat ini.


Perkembangan Penologi
Dalam konteks perkembangan, penologi mencakup analisis tentang bagaimana sistem pemidanaan telah berkembang seiring dengan perubahan sosial dan politik. Misalnya, pendekatan terhadap pemidanaan telah bergeser dari hukuman fisik yang keras menjadi pendekatan yang lebih rehabilitatif dan restoratif. Penologi juga mengkaji berbagai model hukuman, seperti pemenjaraan, denda, dan program rehabilitasi, serta efektivitasnya dalam mencegah kejahatan dan mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat.


Pentingnya Penologi
Pentingnya penologi terletak pada kemampuannya untuk memberikan wawasan tentang bagaimana hukuman dapat diterapkan secara adil dan efektif. Dengan memahami berbagai aspek hukuman, penologi berkontribusi pada pengembangan kebijakan yang lebih baik dalam sistem peradilan. Ini termasuk pertimbangan tentang proporsionalitas hukuman, perlindungan hak asasi manusia, dan upaya untuk mengurangi tingkat residivisme di antara mantan narapidana.


Manfaat Penologi
Terakhir, penologi juga menyoroti manfaat hukuman dalam konteks sosial. Hukuman tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menegakkan hukum, tetapi juga sebagai sarana untuk mendidik masyarakat tentang norma dan nilai yang diharapkan. Penelitian dalam penologi dapat membantu merumuskan strategi yang lebih efektif untuk mencegah kejahatan dan mendukung rehabilitasi individu yang terlibat dalam sistem peradilan.

Daftar pustaka 

https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Penologi

http://digilib.unila.ac.id/10025/4/BAB%20II.pdf

http://repository.um-palembang.ac.id/id/eprint/16080/1/91219040_BAB%20I_DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

http://repository.iainbengkulu.ac.id/4595/1/Kebijakan%20Kriminal%20(Criminal%20Policy)%20dalam%20Negara%20Hukum%20Indonesia.pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun