Telinga Mardliyah perih. Hatinya pedih.
Ya Allah, mas, tega kau tinggalkan kami.
Mardliyah menghitung dalam kepala. Ini adalah Pasar Malam kelima sejak kelahiran Ikus, anaknya. Lima tahun sudah suaminya meninggalkan tanpa kata.
Bertanya pada keluarga suaminya pun percuma. Buntu. Seperti ada persekongkolan Mafia Italia dalam memecahkan alasan kepergian suaminya.
Nada tangis Ikus masih sama. Namun bertambah dengan tendangan kaki ke tembok.
Mardliyah tak kuat lagi. Ia akan beranjak ke Pasar Malam. Dilihatnya isi dompet. Tinggal jatah makan dua hari.
***
Aku merasa seperti Muhammad Al-Fatih. Pemimpin yang paling gagah sepanjang sejarah. Dunia Barat boleh bungkam. Namun sejarah mencatat, tembok Roma Timur takluk dalam genggamannya. Muhammad Al-Fatih, sang pembebas.
Meski dalam kasusku, yang kubebaskan adalah penyapaku. Namun bagaimanapun, aku sudah berbuat.
Menirukan kata-kata ilmuwan mancanegara, aku sudah berkontribusi bagi dunia.
Penyapaku tak henti-henti mengatakan terima kasih.
“Sudah, jangan diulang-ulang,” kataku.