Kutegaskan kata-kataku, “Aku harus pulang! Ibuku pasti akan marah!”
Penyapaku ragu. Terpaksa memberi simpati padaku. Telinganya yang tidak gatal ia garuk, sambil berkata, “besok ke sini lagi, ya...”
Lalu kukerlingkan mataku pada penyapaku. Mengiyakan.
***
Mardliyah tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Matanya mendelik pada anaknya.
“Ya Allah....!” kali ini kedua tangannya berkacak pinggang. Kemarahan mulai tak tertahankan.
Tapi yang dimarahi tak terima, “Pokoknya aku mau kelinci itu!”
Ibu dan anak itu saling mendengus satu sama lain. Si ibu kesal harus menyisihkan uang belanja yang sudah merepet.
Sedangkan si anak tidak mau tahu lagi. Dia harus dibelikan Kelinci! Titik! Tidak ada tawar menawar lagi.
Ibu ndak ada uang, Nak.... Lirih Mardliyah dalam hati.
Hatinya menjadi melas. Tak sanggup melakukan kompromi pada realitas. Di satu sisi uang yang ia pegang saat ini adalah uang satu-satunya yang ia punya untuk belanja tiga hari kedepan.
Sisi dirinya sebagai ibu memanggil, memelas, betapa dirinya tidak becus menjadi ibu. Tidak bisa membahagiakan anak.
Muncul perasaan nelangsa. Perasaan apalagi yang dimiliki orang tua, saat merasa tak bisa memberi sesuatu untuk kebahagiaan anaknya.