Mohon tunggu...
Muhammad Afif Effendi
Muhammad Afif Effendi Mohon Tunggu... -

Ingin selalu belajar, dan mulai menjadi penulis lepas. :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Dalam Kereta Menuju Jogja

26 Februari 2012   15:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:03 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Satu tas travel barang bawaan tampaknya masih kurang bagi ibuku. Kami membawa serta dua tas travel dan satu tas ransel besar. Bapak dan ibuku membawa satu tas travel dan aku membawa ransel itu. Masing-masing tas berisi penuh barang bawaan macam pakaian, dan sekedar buah tangan ke tempat tujuan kami, Jogja. Ya, Jogja tempat kami menuju, ke rumah si Mbah dan kampung halaman bapakku.

Untung saja pagi itu nampaknya stasiun tidak begitu berjubel manusia sehingga kami tidak perlu kerepotan membawa barang bawaan kami. Maka sampailah kami di tempat duduk kami di dalam gerbong kereta.

Kuamati kursi penumpang di depan kursi kami bertiga masih kosong. Begitu juga dengan kursi penumpang di seberang jendela gerbong yang lain, masih belum nampak penumpang.

Kulihat bapakku segera sibuk dengan koran yang baru beliau beli di kios stasiun. Sementara ibuku menyibakkan kain selendang yang dikenakannya, berusaha mengusir terik panas matahari. Memang cuaca hari itu begitu menyengat. Kurasakan punggung bajuku basah karena peluh.

Kursi penumpang di depan kami tidak lama kemudian kehadiran penghuni. Seorang wong londo1, berambut sebahu, berkumis dan jenggot lebat, semuanya pirang kecoklatan, tinggi jangkung dengan setelan kaos dan celana pendek. Setelah melepas beban tas ransel dari punggungnya, wong londo itu meletakkan tas di kursi penumpang di depan kami kemudian duduk. Ia mengulum senyum pada kami bertiga. Itulah kali pertama aku melihat langsung wong londo. Tepat di depan mataku.

"cepet, sapa dia dengan boso inggris..." 2 celetuk ibuku.

Tapi aku ragu. Namun dengan agak malu-malu kuberanikan menyapa wong londo itu, "good morning mister..."

"oh, hi. Good Morning. Went to Jogjakarta?" busyet, wong londo itu bertanya balik padaku.

Kureka apa yang wong londo itu tanyakan. Tanpa pikir panjang lagi kujawab, "Yes." Entah apakah jawabanku itu cocok atau tidak, karena pelajaran bahasa inggris kelas empatku belum sampai mendengar kosa kata itu.

"hehehe... biasa mister, masih belajar." Bapakku yang semula tenggelam dengan korannya tiba-tiba menyahut. "can you speak in bahasa?"

"iya, bapak. Tapi cuma sedikit-sedikit." Aku terperangah, logatnya tidak ada sengaunya seperti wong londo seperti VOC yang kulihat dalam film-film di teve.

"anda dari mana?" kudengarkan bapakku bertanya lagi pada wong londo itu.

Tampak wong londo itu membenarkan posisi duduknya, kemudian menjawab, "saya dari Belanda."

"ow, studi?"

"iya, pak."

Obrolan bapak dan wong londo itu untuk selanjutnya tidak begitu kumengerti, biasa lah, pembahasan orang dewasa. Dalam umurku yang masih kelas empat SD waktu itu, aku masih cukup terperangah dengan hanya melihat seorang wong londo di hadapanku langsung, bukan lagi dari depan layar teve. Maka cerita perjalanan ini bakal tak habis kuceritakan pada teman-temanku di sekolah.

Aku tidak begitu memperhatikan sudah berapa kali bapak dan wong londo itu berganti topik pembicaraan. Yang pasti aku dan ibuku hanya mengawasi dua orang beda ras itu. Sementara semua objek di luar kereta semakin jauh tertinggal, tanda bahwa kereta api kami sudah mulai berjalan.

Bersamaan dengan kereta kami yang berjalan, kursi penumpang di seberang lain gerbong kami kedatangan penumpang. Dengan tawa yang meledak-ledak dan lepas, tiga pemuda itu duduk. Dari tampang dan pakaian jas yang dikenakan salah satunya, kuterka mereka adalah mahasiswa yang mungkin saja mereka kuliah di Jogja.

Kuperhatikan bapakku dan wong londo itu diam. Ganti suara gaduh guyonan tiga penumpang di seberang gerbong itu yang mengisi suasana. Tiga mahasiswa tadi!

"loh sawangen, wong londo iku koyok bedes yo..." 3 tutur salah seorang dari mereka, kemudian melepas tawa dan diikuti dua yang lain.

Dalam benakku tentu tidak lain tidak bukan, wong londo yang mahasiswa itu maksudkan adalah wong londo yang duduk di bangku di depan kami, di samping bangku mereka bertiga.

Aku tidak memperhatikan siapa dari mereka bertiga yang berbicara. Tapi kali terdengar yang memiliki suara agak berat bertutur, "iyo, tangan karo sikile akeh wulune. Persis bedes. Hahaha..."4 kembali mereka bertiga tertawa meledak-ledak.

Entah kenapa suasana gerbong itu jadi penuh dengan gaduh mereka bertiga soal wong londo di depan kami. Kuperhatikan bapakku hanya sibuk dengan korannya. Sedangkan ibuku melihat keluar jendela, begitu juga dengan wong londo itu. Sesekali kuperhatikan wong londo itu, masih ada rasa takjub bagaimana tuhan menciptakan perbedaan jenis fisik manusia. Sementara tiga mahasiswa penumpang di kursi seberang makin menjadi-jadi membicarakan wong londo di depan kami.

Mereka bertiga berbicara dalam bahasa Jawa. Memungkinkan aku yang juga berbicara Jawa paham apa yang mereka bertiga gunjingkan. Salah satu kata yang masih mereka tonjolkan ialah, 'londo bedes' alias bule monyet. Menggunakan bahasa Jawa juga memungkinkan orang tujuan yang bukan orang berbahasa Jawa tidak memahami pembahasan, bahkan kala orang itu adadi depan kita. Maka jadilah mereka bertiga habis-habisan menggunjing wong londo itu.

Dalam diamnya kedua orang tuaku, ditambah gaduhnya suara tiga mahasiswa di kursi seberang, membuatku makin suntuk. Pemandangan di luar kereta yang pada perjalanan ke Jogja sebelum ini menarik perhatianku, kini tampak biasa. Sedangkan tiga mahasiswa tadi masih juga menggunjing wong londo itu.

"uuhhh... dasar londo bedes!" seru salah seorang dari mereka.

Lalu tiba-tiba seorang berkata, "Nyuwun sewu mas-mas, kulo badhe kesa WC."5 Aku yang setengah suntuk dalam hati terkejut. Wong londo itu bisa berbahasa Jawa! Bahkan Jawaalus6!

Sontak tiga mahasiswa tadi kulihat terperangah diam. Menyadari bahwa wong londo yang mereka rasani7 dalam bahasa Jawa dari tadi, ternyata mengerti dan bisa berbahasa Jawa. Dan itu berarti semenjak tadi wong londo itu tau kalau dirinya tengah digunjing.

Setelah mengucap nyuwun sewu, wong londo tadi segera beranjak. Barangkali ke WC, seperti ucapan nyuwun sewu-nya. Tapi dalam benakku kupikir ia tidaklah ke WC, tapi sekedar memberitahu tiga mahasiswa tadi bahwa ia dari semula sudah paham semua gunjingan tentang dirinya.

Kutarik lengan baju bapakku, "Pak, pak, wong londo itu bisa bicara Jawa alus..."

"He-em. Bapak tau."

"Kok bisa ya Pak?" tanyaku polos.

"Jelas karena mereka belajar tentang budaya dan bahasa kita. Itulah kenapa jangan sampai kita melupakan dan malu pada budaya dan bahasa kita sendiri, orang bule saja belajar budaya dan bahasa kita."

Kuarahkan pandangan pada kursi di seberang. Tiga mahasiswa tadi sudah raib entah kemana. Barangkali mereka kabur karena malu.

"Mantun ndugi WC?"8 bapakku bertanya saat wong londo itu kembali ke tampat duduknya.

"Inggih."9 Wong londo itu menjawab setelah duduk di kursinya.

Kupandangi wong londo itu, setengah masih terperangah karena melihat dan mendengarkan ia bisa berbahasa Jawa. Dia yang bukan orang Jawa bisa bahasa kami, orang Jawa. Mendapati diriku tengah memandangnya, wong londo itu tersenyum padaku. Dan aku membalas senyumnya.

Hari itu menjadi satu rekaman memori tersendiri bagiku. Seiring dengan pemahaman, kuketahui bahwa setelah lama menjajah bangsa Indonesia, jelas mereka telah membawa serta dan mempelajari secara mendalam semua pustaka ciptaan bangsa Indonesia, sementara orang Indonesia sendiri menyia-nyiakannya.

Bungah Gresik, 17 Januari 2011

Berdasar pada kejadian tahun 1957

Untuk Aku (Djani Wahono)


Keterangan;

- 1Wong londo = bule

- 2"cepat, sapa dia dengan bahasa Inggris.."

- 3"Tuh lihat, bule itu seperti monyet ya..."

- 4"Iya, tangan dan kakinya banyak bulunya. Mirip monyet. Hahaha..."

- 5"Permisi mas-mas, saya mau ke WC."

- 6Jawa alus = Jawa Halus, Jawa Krama

- 7rasani = gunjing

- 8"Dari WC?"

- 9Inggih = iya


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun