Kepulauan Riau dibangun dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan latar belakang budaya lahir dari keberagaman suku bangsa, agama, etnis, serta bahasa yang hidup di Kepulauan Riau.
Berdasarkan data tahun 2015, suku mayoritas di Kepulauan Riau adalah suku pribumi yaitu suku Melayu berjumlah 29,97% dari keseluruhan jumlah penduduk Kepri. Suku mayoritas kedua sekaligus suku pendatang terbanyak di Kepulauan Riau adalah Suku Jawa yaitu 24,97%.
Diikuti oleh Suku Batak 12,48%; Minangkabau 9,71%; Tionghoa 7,70%; Sunda 2,96%; Bugis 2,22%; Suku NTT 2,22%; Suku Sumatera Selatan 1,97%; Banjar 0,70%, dan Suku Lainnya 5,10%.
Selain itu terdapat pula suku-suku pribumi asli Kepulauan Riau selain suku Melayu yaitu Suku Laut, Suku Duano di Karimun, Suku Orang Hutan di Rempang, dan Suku Akit. Terdapat pula keragaman suku bangsa dari para pendatang luar negeri seperti keturunan Tionghoa (khususnya Hokkien, Hakka, dan Tiochiu), Arab, India, Hindustan, dan Eropa.
Keberagaman budaya di Kepulauan Riau juga meliputi keberagaman agama. Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2015, persentase agama penduduk provinsi Kepulauan Riau adalah Islam 77,34%; Kristen Protestan 12,28%; Buddha 7,66%; Katolik 2,46%; Konghucu 0,19%, dan Hindu 0,07%.
Populasi masyarakat Tionghoa yang besar di Kepulauan Riau menyebabkan persentase penduduk beragama Buddha dan Konghucu cukup banyak. Suku terbesar di Kepulauan Riau adalah suku Melayu yang berazaskan Islam karena itu agama Islam menjadi agama terbesar di Kepulauan Riau.
Keberagaman bahasa di Kepulauan Riau umumnya tidak terlalu variatif. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang digunakan di Kepulauan Riau. Bahasa Melayu adalah bahasa lokal paling populer.
Terdapat banyak sekali perbedaan dialek dan kosakata antara Bahasa Melayu dari berbagai pulau di Kepulauan Riau. Bahasa Melayu di Natuna, Anambas, Tambelan, Pulau Tujuh, Bintan, Penyengat, Batam, Karimun, Singkep, dan Lingga bisa sangat berbeda-beda.
Di Kepulauan Riau, merupakan hal umum melihat Bahasa Tiochiu dan Bahasa Hokkien digunakan oleh para etnis Tionghoa. Banyak pula tetua-tetua Melayu yang juga bisa berbahasa Tionghoa. Sesuai sejarah, penggunaan bahasa di Kepulauan Riau menggunakan aksara Melayu Kuno dan Arab Melayu.
Keberagaman budaya di Kepulauan Riau sangat berpengaruh dengan negara tetangga. Faktor geografis Kepri yang berada di perbatasan membuat alur budaya dari Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Tiongkok sangat mudah masuk. Masyarakat Kepulauan Riau khususnya Melayu memiliki satu suku bangsa yang sama dengan mayoritas masyarakat Malaysia dan Singapura.
Penggunaan bahasa Melayu juga membuat masyarakat Kepulauan Riau dapat dengan mudah mengerti bahasa Melayu Malaysia dan Singapura. Masyarakat Kepulauan Riau berbagi unsur budaya yang sama dengan masyarakat Melayu Malaysia dan Singapura seperti tari zapin, gasing, nasi lemak, nasi dagang, asam pedas, dan lain-lain. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa bahasa Melayu dialek Anambas memiliki beberapa kesamaan kosakata dengan bahasa Kamboja.
Beragamnya budaya di Kepulauan Riau tidak membuat masyaratnya merasakan perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kepulauan Riau, dapat dilihat bentuk toleransi antar golongan masyarakat. Masyarakat Melayu dan Tionghoa adalah salah satu bukti nyata karena kedua suku ini sudah sama-sama lama menetap di Kepulauan Riau dan membentuk budaya hasil asimilasi serta akulturasi.
Persamaan budaya dengan negara tetangga juga membuat masyarakat Kepulauan Riau mudah mendapatkan informasi dan jaringan relasi dari luar negeri. Keberagaman budaya di Kepulauan Riau membuktikan bahwa masyarakat Kepulauan Riau dapat menerima perubahan dengan baik.
Beberapa faktor penyebab masyarakat Kepulauan Riau dapat hidup damai di tengah keberagaman budaya diantaranya:
- Faktor Sejarah
- Masyarakat Melayu sudah terbuka dengan kedatangan suku lain sejak lama. Fakta-fakta sejarah menyebutkan bahwa etnis Tionghoa sangat berperan dalam membangun Kota Tanjungpinang. Masyarakat Bugis bahkan diberi jabatan sebagai Yang Dipertuan Muda dalam Kesultanan Riau-Lingga. Masyarakat India melakukan akulturasi penting seperti kebiasaan masyarakat Kepulauan Riau memakan roti prata sebagai menu sarapan dan juga membangun Masjid Keling yang kini menjadi Masjid Agung Tanjungpinang.
- Faktor Budaya
- Masyarakat Kepulauan Riau mengenal banyak cerita rakyat yang mengisahkan tentang persatuan antarsuku. Kisah Putri Pandan Berduri berkisah tentang asal-usul penyatuan suku di Bintan. Kisah Asal Usul Nama Pulau Penyengat melibatkan peran suku Bugis.
- Faktor Geografis
- Masyarakat Kepulauan Riau sudah terbiasa menerima kedatangan perantau karena faktor geografis Kepri yang sangat strategis. Sudah biasa terjadi arus bolak balik dari Kepri menuju Singapura, Malaysia, dan Thailand. Arus bolak-balik yang sering terjadi ini menyebabkan masyarakt Kepri lebih bersikap terbuka akan datangnya budaya baru.
- Kebiasaan Masyarakat
- Masyarakat Kepulauan Riau sudah terbiasa melakukan kebiasaan atau tradisi yang berkaitan dengan toleransi. Contonya adalah masyarakat Kepulauan Riau menghias jalanan dengan ketupat dan lampion secara bersamaan saat Imlek dan Lebaran.
- Interaksi yang Erat
- Tiap suku bangsa yang hidup di Kepulauan Riau sangat sering berinteraksi satu sama lain. Kegiatan pendidikan di sekolah juga mayoritas menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Tiap suku bangsa memiliki hak yang sama untuk ambil bagian dalam pembangunan Kepulauan Riau. Contohnya anggota DPRD terdiri dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.
- Kebijakan Pemerintah yang Baik
- Pemerintah Kepulauan Riau selalu adil mengadakan aktivitas-aktivitas budaya yang hidup di Kepulauan Riau. Tidak hanya dengan banyaknya kegiatan budaya Melayu, tetapi juga ada kegiatan budaya bangsa lain yang menjadi fokus kegiatan pemerintah. Seperti perayaan Moon Cake bagi etnis Tionghoa dan perayaan Deepavali bagi etnis India di Batam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H