Mohon tunggu...
Muhammad Abdul Rozaq
Muhammad Abdul Rozaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Mendidik Santri Berkarakter Tanpa Hukuman Fisik

7 Juli 2024   14:20 Diperbarui: 7 Juli 2024   14:25 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan Islam pada prinsipnya bertujuan untuk membentuk individu muslim yang utuh, mengoptimalkan potensi manusia dalam segi jasmani dan rohani, serta memperkokoh hubungan yang harmonis antara individu dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta, untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh makhluk sesuai dengan konsep rahmatan lil 'alamin. Semua ini dapat direalisasikan melalui berbagai jenis lembaga pendidikan, termasuk yang formal, non-formal, dan informal (Muklis dkk, 2024). Salah satu lembaga pendidikan non formal yang masih diakui dan relevan dalam masyarakat hingga kini adalah Pondok Pesantren. Fungsinya sebagai pusat pembelajaran ilmu-ilmu Islam dan penyebarannya telah menjadikannya sebagai sarana utama dalam menyiapkan generasi penerus yang memahami agama Islam dan mampu menyebarkannya ke masyarakat luas (Lukens-Bull, R., 2019).

Asal mula pondok adalah dari bahasa Arab, fundug, yang artinya penginapan, tempat tinggal, atau asrama sederhana. Pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe- dan akhiran-an, yang merujuk pada tempat tinggal santri yang sedang belajar agama Islam. Beberapa daerah juga, istilah pesantren dikenal dengan nama Surau di Minang Kabau, Penyantren di Madura, Pondok di Jawa Barat, dan Rangkang di Aceh . Pernyataan serupa juga terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia Modern, yang mengartikan pondok sebagai bangunan untuk tempat sementara, rumah. Mengenai asal-usul pondok pesantren, terdapat dua pandangan yang sebenarnya saling melengkapi (Ahmad, TA., 2023).

Dalam konteks sistem pendidikan pesantren, terdapat tiga aspek yang saling terhubung, yaitu: (1) Para pelaku yang meliputi kiai, ustadz, santri, dan pengurus. (2) Infrastruktur fisik seperti masjid, kediaman kiai, asrama ustadz, pondok, bangunan sekolah, lahan untuk keperluan pendidikan, fasilitas lain seperti perpustakaan, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, dan lain-lain. (3) Faktor pendukung non-fisik seperti tujuan pendidikan, kurikulum, sumber belajar seperti kitab-kitab, buku-buku, serta metode pengajaran seperti bandongan, sorogan, halaqah, dan tahfizh, serta evaluasi pembelajaran.  Kelengkapan dari ketiga aspek ini bervariasi antara satu pesantren dengan yang lainnya (Fitri, AZ., 2015).

Dalam lingkungan pesantren, seringkali terdapat praktik ta'zir (hukuman). Salah satu hukuman ta'zir yang paling berat adalah pengeluaran dari Pondok Pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah melakukan pelanggaran berat atau melakukan pelanggaran berulang kali menandakan bahwa mereka sulit untuk diperbaiki (Bruinessen, MV., 2015). Tujuan dari hukuman atau sanksi yang diberikan kepada santri yang melanggar aturan pondok adalah untuk menegakkan disiplin dan mencegah pengulangan pelanggaran aturan. Padahal pendidikan terhadap murid seharusnya tidak mengandalkan hukuman fisik, seperti yang ditegaskan dalam Surah Al-Ahzab ayat 71:

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan yang banyak mengingat Allah."

Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam mendidik. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadist, "Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap ke ras dan keji" (HR Bukhari). Beliau selalu menggunakan pendekatan yang penuh kasih sayang dan kesabaran. Hukuman fisik tidak pernah menjadi metode utama dalam mendidik para sahabatnya. Masih banyak sekali pondok pesantren yang masih menggunaan hukuman fisik dalam menghukum santri yang melanggar peraturan. Penggunaan hukuman fisik sebagai strategi  disiplin  dapat  terjadi  karena  masih  ada  yang  menganggap   hukuman  fisik tepat  digunakan  untuk  mendidik  anak  selama tidak mencederai  anak  dan  ada  pula yang  tidak  menyadari  bahwa  strategi  disiplin yang    digunakan    merupakan    bentuk    dari hukuman  fisik  sehingga  perilaku  tersebut  terus diulang (Sutisna at al., 2019).

Hukuman  yang ilegal kepada  santri  selain  tidak  membawa  pemaknaan  positif  dan tidak mampu mengubah santri menjadi lebih baik tetapi malah merusak pribadi santri. Beberapa hal yang mungkin terjadi pada santriatas hukuman yang ilegal dan cenderung menyakitkan,  adalah; (1) reaksi  paranoid,  yang  mana  dirinya  merasa  dibayang-bayangi  yang  mengancam  dirinya,  jika  kondisi  yang  seperti  ini  para santri  sudah  tidak akan  mampu  menggali  hikmah  dan  makna dari  hukuman  yang  telah  dialami. (2) reaksi  afektif  dan involutional dimana  mereka  mengalami  depresi  yang  kuat,  bayang-bayang  ketakutan  terus  menghantui,  sehingga  mereka  menarik  diri  dari  lingkungan. (3)  gangguan  kompulsif-obsesif,  dimana  santri  berulang-ulang  memikirkan  atas kejadian  buruk  yang menimpa  yang  pada  akhirnya  akan  menghambat  gerak  sendiri (Ma'arif, MA., 2018).

Membangun karakter mulia pada santri tanpa menggunakan hukuman fisik adalah sebuah tujuan penting dalam pendidikan pesantren. Berikut beberapa pendekatan yang dapat digunakan: (1) Pendekatan kasih sayang: ciptakan suasana yang penuh kasih sayang dan saling menghormati antara ustadz/ustadzah dan santri. Bangunlah komunikasi terbuka dan berikan rasa aman bagi santri untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. (2) Pendekatan positif: fokuslah pada penguatan perilaku positif santri daripada menghukum mereka atas kesalahan. Berikan pujian dan penghargaan atas prestasi dan usaha mereka. (3) Pendekatan edukatif: ketika santri melakukan kesalahan, jadikan momen tersebut sebagai kesempatan untuk belajar. Bantu mereka memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan ajarkan cara yang lebih baik untuk berperilaku. (4) Pendekatan partisipatif: libatkan santri dalam proses pembuatan aturan dan penegakan disiplin. Berikan mereka suara dan dengarkan pendapat mereka. (5) Pendekatan teladan: ustadz/ustadzah harus menjadi teladan bagi santri dalam menunjukkan perilaku yang baik dan terpuji (Cornell, D. & Drew, C., 2024).

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Tsabit Azinar. (2023). THE SOCIAL AND INTELLECTUAL HISTORY OF SANTRI IN INDONESIA. Journal of Islamic Studies and Civilization, Vol. 01, Number 2. Diakses pada 5 Juli melalui https://journal.adppublisher.org/index.php/adpjournal/article/view/18.

Bruinessen, M. V. (2015). Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun