Mohon tunggu...
Muhammad abdul Rolobessy
Muhammad abdul Rolobessy Mohon Tunggu... Jurnalis - Editor

Bahasa mati rasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melintas Kertas, dan Realita

29 September 2024   19:03 Diperbarui: 29 September 2024   19:40 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: M. Abdul Rolobessy

Sejarah- Singkat Perkembangan Jurnalistik hingga Munculnya Jurnalistik Baru Istilah "jurnalistik" berasal dari kata "journalistiek" dalam bahasa Belanda atau "journalism" dalam bahasa Inggris. Keduanya bersumber dari bahasa Latin "diurnal" yang berarti harian atau setiap hari.
 
Sedangkan Jurnalistik sendiri berarti kegiatan mengumpulkan bahan berita, mengolahnya sampai menyebar luas kannya kepada khalayak. Bahan berita itu bisa berupa kejadian atau peristiwa dan pernyataan yang diucapkan oleh seseorang yang memiliki pengaruh dalam masyarakat.

Setiap kejadian dan pernyataan yang memiliki daya tarik bagi khalayak dapat dijadikan berita untuk disebarluaskan ke tengah masyarakat. Menurut Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah sangat tua, yaitu dimulai dari zaman Romawi kuno ketika Julius Caesar berkuasa.

Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada sema- cam papan pengumuman yang disebut Acta Diurna. Berbeda dengan media berita saat ini yang datang ka rumah kepada para pembacanya, pada waktu itu orang ruanglah yang datang kepada media berita atau papan pengumuman itu.

Akibatnya ada orang-orang yang datang ke sana, tetapi ada pula yang enggan meninggalkan rumahnya hanya untuk mendatangi papan pengumuman ITS Sebagian khalayak yang tuan tanah dan hartawan yang ingin mengetahui informasi yang dipasang di papan pengumuman itu menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat di Acta Diurna itu.

Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii berita Senat sampai ke rumah tuan-tuan tanah dan hartawan tadi. Dalam perkembangan selanjutnya para Diurnarii itu bukan lagi para budak, tetapi juga orang-orang bukan budak yang ingin menjual catatan harian mengenai kegiatan Senat kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun buka saja kegiatan Senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak.

Akibatnya terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu. Pelabuhan dan penginapan didatanginya pula untuk mencari informasi dari para pendatang mengenai kejadian-kejadian di negeri lain.

Persaingan itu kemudian menimbulkan korban seba- gai korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung sam pai mati atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan, atau masih rahasia.

Berita itu adalah rencana kepindahan atau mutasi seorang pembesar yang menurut Caesar belum waktunya diberitakan, karena masih dalam pertimbangan. Kalau kepindahan itu akan dilaksanakan harus hati-hati sekali. Jika tidak, akan timbul bahaya.  kemudian Julius Rusticus mendengar berita tentang rencana kepindahan pembesar itu dan dia beritakan.

Pada kasus itu terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja. Tetapi dalam perkembangannya jurnalistik tidak hanya menyebarluaskan informasi, tetapi juga dipergunakan oleh kaum idealis untuk melakukan kontrol sosial melalui tindakan persuasif.

Jadi, jurnalistik tidak menyiarkan informasi semata, tetapi juga membujuk dan meng- ajak khalayak untuk mengambil sikap tertentu agar berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Bentuk jurnalistik seperti ini antara lain ditandai dengan adanya tajuk rencana (editorial).

Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.

Berita Disampaikan oleh seorang kepada orang lain dengan cara diceritakan atau dinyanyikan oleh orang yang disebut "wandering minstrels" yang berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain. Cara pemberitaan seperti ini terdapat di Swiss, Inggris dan Prancis. Kalaupun ada pemberitaan secara tertulis hanyalah dalam bentuk surat, itupun mengenai berita luar negeri.

Kemudian jurnalistik bergairah kembali dengan terbitnya Avisa Relation Oder Zeitung sebagai surat kabar pertama. Surat kabar ini terbit di Jerman pada 1609, lalu di London terbit "Weekly News" pada 23 Mei 1622. Tetapi surat kabar yang benar-benar terbit secara teratur setiap hari adalah Oxford Gazette pada tahun 1665, yang kemudian namanya diganti menjadi London Gazette.

Henry Muddin sebagai editor pertama surat kabar itu adalah orang yan pertama kalinya memperkenalkan istilah digunakan sampai hari ini. "newspaper" Pembatasan Dengan munculnya surat kabar yang terbit denga dicetak secara teratur seperti itu negara dan gereja meng luarkan peraturan-peraturan yang bersifat yang melarang diberitakannya hal-hal yang merusak norma (pernicious), subversif (subversive), menghina (blasphemous dan lain-lain yang menurunkan derajat manusia.

Pembatasan ini mengundang tantangan dan protes. Sebagai com. toh di Inggris pada tahun 1644 tampil John Milton yang memperjuangkan kebebasan pers, terkenal dengan Areopagitica, A Defence of -Unlicenced Printing.

Yang dimaksud kebebasan pers oleh John Milton ialah kebebasan menyatakan pendapat. Meskipun sikap John Milton itu tidak merupakan pernyataan yang lengkap mengenai kebebasan berbicara dan kebebasan pers, namun pada waktu itu merupakan argumen yang hebat terhadap kekuasaan otoriter.

Sikap John Milton itu kemudian menimbulkan penga ruh besar dalam perkembangan jurnalistik, terutama sejak abad ke-17. Hal ini dibuktikan bahwa sejak itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita yang bersifat informatif, tetapi juga yang opinionatif, bukan saja memberitakan hal- hal yang terjadi kepada khalayak, tetapi juga memengaruhi pemerintah dan masyarakat. Sejak itu fungsi pers bertambah dari "to inform" dengan "to influence".

 Kepeloporan John Milton dalam mem- perjuangkan kebebasan pers pada abad ke-17 itu diikuti Oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul "The Rights of Man".

Pada abad ke-18 itulah terjadi peralihan sistem pers dari pers otoriter (authoritarian press) ke sistem pers liberal (libertarian press). Ada dua perjuangan utama pada abad ke-18 itu untuk mengembangkan prinsip-prinsip liberal yang dipengaruhi oleh pers.

Jurnalistik damai ialah jurnalistik yang melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, ang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.


Pendekatan jurnalistik damai memberikan semacam peta jalan baru yang menghubungkan para wartawan dengan sumber-sumber informasi mereka, liputan yang mereka kerjakan dan konsekuensi etis dari liputan itu ialah etika intervensi jurnalistik.

Jurnalistik damai mem buka peluang pada pemahaman non kekerasan (non-vio- lence) dan kreativitas seperti yang diaplikasikan sehari-hari oleh para wartawan dalam membuat liputan.

Demikianlah jurnalistik baru telah berkembang ke dalam berbagai macam jurnalistik sesuai dengan keperluan dan kepentingan wartawan dan media massa yang menyiarkan berita itu.

Hal ini menunjukkan bahwa konsep jurnalistik itu selalu berkembang sampai melampaui batas-batas jurnalistik itu sendiri, yaitu berita sebagai cerita tentang kumpulan fakta, karena jurnalistik baru menghendaki penggalian suatu peristiwa secara lebih komprehensif,

Namun wartawan tak boleh tergoda oleh uang, bukan hanya saja terdapat pada wartawan yang bergaji rendah. Wartawan yang bergaji tinggi pun harus bisa menghindari tergoda oleh uang.

kalau motivasinya menjadi wartawan semata-mata untuk mencari uang, dan bukan karena idealisme. Menjadi wartawan, seperti halnya lapangan kerja yang lain, memang untuk mencari uang, tetapi idealisme tidak boleh dikorbankan.

Karena itu, menjadi wartawan ideal atau wartawan amplop ditentukan oleh motivasinya, apakah semata-mata untuk mencari uang ataukah menyiarkan hal-hal yang dia yakini benar atau meluruskan informasi yang menyimpang dari keadaan yang sesungguhnya dengan cara menyajikan informasi yang benar dan komprehensif.

Namun untuk menyiarkan informasi yang diyakini benar dan komprehensif itu tidak mudah, selain karena ada godaan dari luar seperti uang dan afiliasi kepada kepentingan kelompok tertentu, juga tidak cukup hanya menyiarkan hal-hal yang terjadi di lapangan pada saat tertentu dan di tempat tertentu pula, tetapi harus bisa mengaitkannya dengan kejadian serupa pada masa yang lain di tem- pat yang lain pula.

Hal ini terjadi karena sekarang konsep jurnalistik sudah berubah. Kalau dulu konsep jurnalistik cukup menyiarkan suatu peristiwa pada waktu tertentu dan di tempat tertentu pula, misalnya kasus pembunuhan di Ciputat, Tangerang, Banten. Menurut konsep jurnalistik yang lama peristiwa itu cukup diceritakan bahwa di Ciputat terjadi pembunuhan pada hari kemarin jam sekian.

Penyajian informasi seperti itu sekarang dianggap tidak cukup, karena dianggap kering dan tidak komprehensif. Sebab menurut beta Tanggung jawab menyebarkan kebenaran adalah tugas besar umat  manusia, karena pelbagai Nabi telah lama 'pasif"


Karena Pramudya Ananta Toer pernah berkata. "seseorang terpelajar itu. harus belajar jujur dan adil sajak dalam pikiran, apalagi perbuatan".

Sumber penulis: M. Abdul Rolobessy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun