Mohon tunggu...
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridho Mohon Tunggu... Guru - Mengabdi di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Suka membaca dan menulis. Suka mengajak orang baca buku dan menulis. Suka jualan buku. Menulis banyak tulisan di media massa cetak ataupun online. Telah menulis belasan buku antologi dan satu buku solo kumpulan puisi "Kita Adalah Cinta."

Lahir di Bondowoso. Tepatnya 3 Januari 1991. Saat ini banyak menulis resensi buku, dan menerima permintaan menulis resensi/ review buku dari penerbit atau penulis. Email: penulispembelajar@gmail.com Blog Buku: ridhodanbukunya.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toko Gadget Tumbuh Bak Jamur, Toko Buku Runtuh Bak Dibom

18 September 2015   13:30 Diperbarui: 18 September 2015   13:30 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber: http://www.fardelynhacky.com/"][/caption]

Selalu saja saya menemukan hal baru, termasuk renungan baru, ketika membuka taman baca di Car Free Day Alun-Alun Bondowoso yang digagas oleh Bondowoso Writing Community. Pagi itu, tikar yang digelar sudah dipenuhi oleh banyak pengunjung dari anak-anak hingga orang tua.

            Ada seorang bapak yang saya merasa pernah bertemu entah di mana, dia membaca buku Ayah Edy Punya Cerita. Setelah meregangkan otot tubuh, dan memotret pengunjung, saya duduk di salah satu tikar yang masih kosong. Kebetulan berdekatan dengan bapak yang membaca buku Ayah Edy itu.

            “Nggak bisa dipinjam buku ini ya mas?” tanyanya.

            “Belum boleh pak” saya jawab sambil tersenyum.

            Kemudian kami mengobrol. 

            Dia mengatakan bahwa buku Ayah Edy yang dia baca itu sangat bagus. Menurutnya, menjadi orangtua juga perlu ilmu. Nggak ujug-ujug sudah bisa, karena merasa sudah dewasa. Padahal, ada banyak ilmu tentang parenting yang perlu diketahui, utamanya untuk mengatasi problem anak-anak masa kini.

            “Nggak bisa habis nih mas, kalau Cuma baca-baca di sini,” ujarnya lagi.

            “Iya sih Pak, tapi ya memang belum bisa dipinjam. Kalau ingin menghabiskan buku itu, kalau bisa minggu depan datang lagi aja ya Pak. Insya Allah tiap hari minggu kamu buka taman baca di sini,” saya menyarankan.

            Bapak itu melanjutkan bacanya lagi.

            “Buku mas semua ini ya?” Tanyanya lagi.

            “Kebetulan iya Pak, biasanya ada buku teman-teman BWC yang lain,”

            “Wah banyak ya buku koleksi mas. Mas Siapa tadi?”

            “Saya Ridho Pak. Iya Pak, Alhamdulillah saya dapat buku-buku ini dari penerbit. Sebagai imbalan meresensi buku-buku yang mereka terbitkan.”

            “Wah, enak ya mas.”

            “Iya pak, Alhamdulillah.”

            Diam sejenak.

[caption caption="sumber: fanpage Bondowoso Writing Community"]

[/caption]

            Semenit kemudian bapak itu, memperkenalkan diri dan ternyata dia adalah pemilik Toko Dian. FYI, Toko Dian adalah toko yang menjual buku, majalah, koran, dan berbagai perlengkapan sekolah. Tapi sayangnya kini, Toko Dian harus menggulung tikar. Dulu, saat masih SD, saya biasa mengumpulkan uang saku untuk membeli Majalah Mentari. Salah satu toko buku tempat saya beli majalah ya Toko Dian itu. Aha! Ya, akhirnya saya ingat pernah melihat bapak itu ketika membeli Majalah Mentari beberapa tahun yang lalu. Alhamdulillah, bertemu dengan salah satu pemilik toko buku yang berjasa membuat saya cinta membaca, meski saat ini tokonya sudah tidak buka lagi.

            “Sudah lama nutupnya mas. Bertambah tahun, pelanggan semakin berkurang, padahal selain laba menjual buku itu lumayan, bagi saya membaca itu sangat bermanfaat.

            “Saya merasakan sendiri kalau membaca itu sangat bermanfaat, keluarga saya terbiasa membaca buku semua, Majalah Intisari selalu langganan, bahkan maaf, saat buang air besar saja disediakan buku bacaan,” katanya sambil tertawa.

            Bapak itu pun melanjutkan membacanya lagi.

            Diam. Senyap.

            Saya terkenang dengan masa lalu. Nostalgia. Ya, ada banyak toko buku, majalah dan koran di Bondowoso. Toko Doni, Sumber Ilmu, Samson, Ayu Media, UD. Siswa, Toko Dian, dan ada satu lagi saya lupa namanya. Tapi, saat ini hampir semuanya sudah gulung tikar. Sampai saat ini yang masih eksis adalah Toko Doni, Sumber Ilmu, Ayu Media, UD. Siswa, itupun hidup segan mati tak mau. Toko Doni setahu saya buku-bukunya rata-rata buku yang sudah lama dan jarang terbitan baru. Ayu Media pun sama, tetapi untuk majalah, koran, tabloid, masih lancar. UD. Siswa kini menjadi semacam rumah makan tetapi tetap menjual koran, tabloid satu dua. Sebenarnya ada toko buku baru selepas saya menjadi pengabdian di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Saya juga sempat nitip buku dan majalah di sana, namun ternyata toko buku tersebut hanya bertahan sekitar dua tahun.

            Ada apa ini? Fenomena apa ini? Apa hal semacam ini tidak meresahkan?

            Sudah lama saya memikirkan ini. Toko buku di kotaku ini sepi bahkan mati, sedangkan toko gadget semakin banyak bak jamur. Apa permasalahannya? Kalau saya amati, gadget bagi semua orang sangat digemari, sedangkan membaca dan buku sangat kurang digemari. Hal ini berarti ada orang yang membaca, tapi itu pun sangat sedikit (tanpa menafikan mereka yang membaca versi digital via ponsel pintar). Sehingga, beginilah jadinya, toko buku sedikit atau bahkan tidak ada, sedangkan toko gadget terus bertambah. Seharusnya, kedua toko ini tumbuh bersama. Karena, saya kira keduanya bisa saling mendukung dan itu bisa menjadi corong kemajuan. Tetapi kalau hanya gadget saja yang semakin digemari, maka akan menimbulkan beberapa efek negatif, seperti kebergantungan anak pada Google sehingga malas membuka kamus atau buku, padahal dengan membuka kamus dan membaca buku ada pembelajaran di sana. Selain itu, ada efek negatif yang sangat tidak baik jika sejak kecil anak-anak sudah mengenal gadget, seperti mudah marah, labil dll. Hal ini berdasarkan penelitian Yee Jin-Shin seorang psikiater asal Korea. Bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Mendidik Anak di Era Digital, dan sudah saya buat resensinya https://ridhodanbukunya.wordpress.com/2015/03/11/mendidik-anak-di-era-digital/.

            Jujur saja, apa yang saya tulis ini bukan sok peduli. Ya, karena memang passion saya di dunia ini. Saya merasa dunia pendidikan tidak akan maju tanpa buku, Karena buku adalah salah satu media belajar. Saya ingin Indonesia maju, saya ingin Bondowoso maju. Maju dengan tetap beriman kepada Tuhan. Itu saja. Sangat lucu bukan, jika kita hanya  pandai menggunakan karya orang (gawai atau gadget), tetapi kita tidak bisa berkreasi sendiri. Kita sebenarnya bisa. Ya bisa, jika mau belajar salah satunya dengan membaca. Karena tanpa membaca, kita bukan siapa-siapa. Tanpa membaca kita akan kalah. Semoga taman baca dan kegiatan literasi lainnya yang diadakan Bondowoso Writing Community, bisa memberikan sumbangsih bagi kemajuan Bondowoso. Walaupun hanya sedikit, setidaknya memberikan stimulus agar orang tergerak untuk membaca dan belajar. Semoga ke depan semakin banyak orang di Bondowoso akan pentingnya literasi :)

*reportase tentang taman baca Bondowoso Writing Community dimuat di Harian Surya

https://penulispembelajar.wordpress.com/2015/04/27/baca-buku-gratis-di-taman-baca-bwc/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun