Diam. Senyap.
           Saya terkenang dengan masa lalu. Nostalgia. Ya, ada banyak toko buku, majalah dan koran di Bondowoso. Toko Doni, Sumber Ilmu, Samson, Ayu Media, UD. Siswa, Toko Dian, dan ada satu lagi saya lupa namanya. Tapi, saat ini hampir semuanya sudah gulung tikar. Sampai saat ini yang masih eksis adalah Toko Doni, Sumber Ilmu, Ayu Media, UD. Siswa, itupun hidup segan mati tak mau. Toko Doni setahu saya buku-bukunya rata-rata buku yang sudah lama dan jarang terbitan baru. Ayu Media pun sama, tetapi untuk majalah, koran, tabloid, masih lancar. UD. Siswa kini menjadi semacam rumah makan tetapi tetap menjual koran, tabloid satu dua. Sebenarnya ada toko buku baru selepas saya menjadi pengabdian di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Saya juga sempat nitip buku dan majalah di sana, namun ternyata toko buku tersebut hanya bertahan sekitar dua tahun.
           Ada apa ini? Fenomena apa ini? Apa hal semacam ini tidak meresahkan?
           Sudah lama saya memikirkan ini. Toko buku di kotaku ini sepi bahkan mati, sedangkan toko gadget semakin banyak bak jamur. Apa permasalahannya? Kalau saya amati, gadget bagi semua orang sangat digemari, sedangkan membaca dan buku sangat kurang digemari. Hal ini berarti ada orang yang membaca, tapi itu pun sangat sedikit (tanpa menafikan mereka yang membaca versi digital via ponsel pintar). Sehingga, beginilah jadinya, toko buku sedikit atau bahkan tidak ada, sedangkan toko gadget terus bertambah. Seharusnya, kedua toko ini tumbuh bersama. Karena, saya kira keduanya bisa saling mendukung dan itu bisa menjadi corong kemajuan. Tetapi kalau hanya gadget saja yang semakin digemari, maka akan menimbulkan beberapa efek negatif, seperti kebergantungan anak pada Google sehingga malas membuka kamus atau buku, padahal dengan membuka kamus dan membaca buku ada pembelajaran di sana. Selain itu, ada efek negatif yang sangat tidak baik jika sejak kecil anak-anak sudah mengenal gadget, seperti mudah marah, labil dll. Hal ini berdasarkan penelitian Yee Jin-Shin seorang psikiater asal Korea. Bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Mendidik Anak di Era Digital, dan sudah saya buat resensinya https://ridhodanbukunya.wordpress.com/2015/03/11/mendidik-anak-di-era-digital/.
           Jujur saja, apa yang saya tulis ini bukan sok peduli. Ya, karena memang passion saya di dunia ini. Saya merasa dunia pendidikan tidak akan maju tanpa buku, Karena buku adalah salah satu media belajar. Saya ingin Indonesia maju, saya ingin Bondowoso maju. Maju dengan tetap beriman kepada Tuhan. Itu saja. Sangat lucu bukan, jika kita hanya pandai menggunakan karya orang (gawai atau gadget), tetapi kita tidak bisa berkreasi sendiri. Kita sebenarnya bisa. Ya bisa, jika mau belajar salah satunya dengan membaca. Karena tanpa membaca, kita bukan siapa-siapa. Tanpa membaca kita akan kalah. Semoga taman baca dan kegiatan literasi lainnya yang diadakan Bondowoso Writing Community, bisa memberikan sumbangsih bagi kemajuan Bondowoso. Walaupun hanya sedikit, setidaknya memberikan stimulus agar orang tergerak untuk membaca dan belajar. Semoga ke depan semakin banyak orang di Bondowoso akan pentingnya literasi :)
*reportase tentang taman baca Bondowoso Writing Community dimuat di Harian Surya
https://penulispembelajar.wordpress.com/2015/04/27/baca-buku-gratis-di-taman-baca-bwc/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H