II
(Aku takjub dan) nafasku menggigil (ketika aku) menghirup senyumnya. (Diriku terlarut, terhisap dalam adanya, keagungan yang mistik, cinta yang paling didamba. Aku tercekat.) suaraku patah (tersendat, sulit bagiku menemukan kata terindah untuk mengungkapkannya apalagi) saat bibirnya berucap (menyapaku, sungguh bagaikan pesona merahnya) mawar (mekar perlambang segala gairah cinta yang ada.). (Di sanalah sejatinya) tempat sekuntum cinta diam (dalam segala keagungannya). (Di sanalah jua esensi cinta) yang tak menangis (, yang tak lagi terpenjara oleh kulit kegemerlapan semata seperti) ketika harumnya (rekah kelopak mawar) dicuri (masa mekarnya yang lalu.).
III
Ya, teruslah berdansa di sana (aku menyaksikannya di sini). (Dan) bila (kelak) senjaku (masa ketika waktu menguji kesetiaanku) tiba (, kau tahu aku selalu mengagungkan dirimu maka) tetaplah berdandan (riaslah dirimu agar bercahaya dengan cinta, lalu datanglah padaku dalam utuh kedirianmu sebab) aku menantimu seperti laut rumah, (yang syahdu) tempat senja lahir dan lelap (, begitu juga kau dan aku yang ingin berumah dalam ruang luas cinta dimana seluruh anugerah tertumpah menyinari kita hingga berakhir dalam keheningan yang lelap).
Memaknai Puisi Dermaga Biru
Memaknai sebuah karya seni seperti puisi bukanlah perkara yang mudah. Bahasa puitik (atau sering disebut sebagai bahasa khas penyair) terjalin begitu kuat antara pengalaman subjektif emosional dengan tataran makna yang cenderung konotatif.
Bicara tentang pemaknaan sesungguhnya adalah kesediaan penafsir untuk memasuki pengalaman konkrit penyair. Mencari apa gerangan hal-hal yang ada dalam kenangannya (yang merepresentasikan pesan suara hati/pikiran emosional tertentu) melalui modus ekspresi simbolik kata-kata puitis. Hal tersebut karena penyair seperti Christian Dari Timor ini adalah individu yang mampu mengadakan penyesuaian alamiah dengan gejolak batin, lalu piawai mengungkapkannya kembali dengan kata-kata sarat makna sampingan. Artinya, kita tak bisa mengabaikan aspek psikologis yang berperan kuat dalam proses kreatif seorang penyair. Sebab, dari sanalah bermula drives (dorongan-dorongan psikis) untuk menulis puisi – demikian juga dengan puisi Dermaga Biru ini.
Puisi sebagai bahasa hati sejatinya upaya pemaknaan atas pengalaman hidup berkesan, yang mana sulit diperkatakan melalui struktur gramatikal biasa. Ia memiliki struktur sintaksis tersendiri entah itu terdapat dalam paralellisme, enjambemen, dan/atau melalui pemutarbalikan hubungan sintagmatik unsur-unsur dalam kalimat. Misalnya, ini tampak dalam larik pertama:
//ada sepotong senja yang kupetik di dermaga biru/
Aku memetik sepotong senja di dermaga biru. (Struktur sintaksis kalimat biasa berpola subjek [Aku], predikat [memetik], objek [sepotong senja], dan perluasan kalimat dengan keterangan tempat [di dermaga biru]).
Hampir semua struktur sintaksis dalam puisi mengalami pergeseran urutan hubungan fungsionalnya. Tentunya hal ini karena ingin memperkuat ungkapan perasaan yang dipadatkan dalam bahasa puitis.