Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Otis Johnson Setelah 44 Tahun Dipenjara

14 Februari 2016   20:21 Diperbarui: 14 Februari 2016   20:48 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Everything happens for a reason I believe. ~ Otis Johnson"][/caption]

 

Lelaki itu tak muda lagi. Ia bernama Otis Johnson, 69 tahun. Seorang warga negara Amerika Serikat, yang tercerabut dari lingkungan sosialnya sejak ia berusia 25 tahun, dan akibat prilakunya yang berlawanan dengan hukum, ia pun harus mendekam selama 44 tahun di dalam penjara.

Setelah dibebaskan, Johnson mengalami culture shock. Suasana amat berbeda, asing dan segala sesuatu begitu baru, membuat dirinya dikepung beragam perasaan takjub. Berikut penggalan kisah pengalaman hidupnya yang dramatik, yang saya terjemahkan dan narasikan kembali untuk disajikan kepada pembaca. Narasi terjemahan ini bersumber dari wawancara berbahasa Inggris Aljazeera TV.

”Nama saya Otis Johnson. Usia saya saat ini 69 tahun. Saya masuk penjara saat berusia 25 tahun, karena melakukan percobaan pembunuhan terhadap seorang petugas polisi – menyerangnya. Kehidupan dalam penjara sangat mempengaruhi diri saya. Sehingga, ketika saya masuk kembali ke masyarakat, awalnya saya agak mengalami kesulitan; karena apapun yang saya saksikan di luar telah banyak berubah.”

”Saya perhatikan keadaan di sekitar, hal-hal baru telah terjadi. Wow!” serunya heran ketika plesiran memasuki kawasan Times Squares di Kota New York.

44 tahun dalam penjara membuatnya segalanya demikian berbeda di matanya. Perubahan yang disaksikan amat akseleratif. Kecepatannya seperti mustahil dapat terbayangkan oleh Johnson. Dulu ia hanya melihat orang-orang berlalu di sepanjang pertokoan yang jendelanya biasa-biasa saja. Sekarang tiap jendela itu telah menjadi layar video. Gambar iklan multimedia berselang-seling melesat dalam hitungan detik. Perubahan ini begitu menggila baginya.

”Saya saksikan semua orang, atau mayoritas dari mereka sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Lalu, saya berjalan lebih dekat lagi ke mereka. Ternyata mereka memasang ”sesuatu” di telinganya yang tersambung dengan telepon. Saya heran, kok bisa? Mereka menyebut benda tersambung dengan telinganya itu iPhone, ya seperti itulah katanya. ”

”Melintas pikiran dalam benak saya. Apakah semua orang ini agen CIA? Karena itulah yang terbersit dalam pikiran saya saat melihat mereka. Seseorang yang berjalan dengan kabel tersambung di telinganya pada masa tahun 60-an sampai 70-an adalah agen rahasia.”

”Wow!” serunya takjub. ”Terkadang saya mencoba membayangkan bagaimana mereka bisa seperti itu? Berjalan tanpa pernah mengontrol langkah kaki. Berbicara dengan telepon tanpa sekalipun memperhatikan ke arah mana tujuannya. Hal itu sedemikian menakjubkan bagi saya.”

Kepadatan amat terasa. Orang-orang lalu-lalang seperti barisan semut pekerja. Tak putus-putus. Johnson menembus keramaian Kota New York, masuk menuju sebuah stasiun bawah tanah di pusat kota. Di sebuah pojokan ia berhenti. Lama ia perhatikan dua unit telepon umum koin, yang terpasang di salah satu dinding.

”Saya ingat betul benda ini. Waktu itu saya baru pertama kalinya keluar plesiran. Saya bermaksud menelepon. Lalu saya cermati stiker yang bertuliskan 1 Dollar. Sebelumnya hanya tertera angka 25 sen,” mantan narapidana itu tertawa heran. ”Saya tahu. Rupanya mereka tidak menggunakan ini lagi,” katanya lagi seraya memaklumi. Berpuluh tahun mendekam di balik jeruji, Johnson tak menyadari, era Steve Jobs dengan budaya iPhone, telah amat lama meninggalkannya. Sendiri dibatasi ruang hidup yang bertembok dingin.

Johnson melanjutkan perjalanannya. Ia nikmati semua hal baru yang ditawarkan lingkungannya. Ada yang terasa ganjil dalam semua hal yang baru. Walaupun demikian, ia yakini dirinya sendiri mungkin masih ada hal-hal yang tersisa, apapun yang barangkali pernah sangat akrab dengan dirinya di masa lalu.

Ia masih ingat beberapa. Plesiran dengan menumpang bus juga termasuk yang paling digemarinya. Terbiasa sendirian dari dulu, ia coba temukan hal-hal yang dapat menyenangkan dirinya kembali. Ia kini berada di sebuah perhentian bus. Naik dan memilih duduk dekat dengan jendela.

”Saya suka naik bus. Anda tahu? Cuci mata melihat hal-hal berbeda, hanya bisa dengan bus,” dari jendela beruap dilihatnya rumah-rumah, dan pepohonan peneduh di sepanjang jalan. Sebuah landscape yang menawarkan kesegaran baru, bukan?

Johnson melanjutkan ceritanya lagi. Ia jelaskan mengapa ia begitu suka berplesiran sendirian dalam bus.

”Dalam bus Anda juga bisa berkomunikasi, ya, setidaknya dengan sedikit orang. Atau, mendengarkan percakapan mereka tentang hal-hal yang tengah terjadi. Lain ceritanya kalau Anda naik kereta api. Suasana di dalamnya penuh sesak. Orang-orang saling berdesakan. Namun, dalam bus sekalipun dipenuhi penumpang, masih tetap tersisa ruang bagi kita.. Hmm.. Mungkin untuk bercakap-cakap dengan seseorang, atau menyimak prilaku mereka yang sedang berplesiran bersama keluarganya yang kebetulan berada dalam bus yang sama dengan kita.”

Beberapa saat berselang, Johnson berada di sebuah ruang publik. Udara yang dihirup terasa amat segar. Ia duduk di salah satu bangku taman. Meluaskan pandangannya, menangkap segala apa yang bisa disaksi penglihatanya.

”Berada di tengah masyarakat.. Hmm.., itu menyenangkan. Sangat menyenangkan sekali! Ketimbang berada dalam penjara. Orang hanya bisa keluar pada saat-saat tertentu saja,” tatapannya menyapu semua pemandangan yang tersaji di sekitar taman. ”Makanya saya suka berada di saat cerah begini, dan saya juga suka mengamati orang-orang di sekeliling.” Senyumnya merekah karena perasaannya yang bersuka-cita, ”Ini menyenangkan! Menyenangkan bisa menikmati hal begini dalam keadaan bebas.”

Sendirian menikmati kebebasan, baginya adalah anugrah terbesar. Ia telah kehilangan kontak dengan keluarganya sejak tahun 1998. Kini ia berada di luar penjara tanpa seorang terdekat pun yang bisa dihubungi. Tak ada lagi saudara-saudarinya, dan sungguh hal ini amat meresahkan dirinya. Johnson sangat merindui keluarga. Ia masih ingat ada dua keponakan perempuan kembar yang sangat disayanginya. Masih jelas dalam benaknya kelakuan manja mereka ketika bermain dengannya. Masih jernih terdengar suara kekanakan mereka di telinganya. Kenangan manis ini masih bersemayam dalam benaknya. Ia memang menyayangi anak-anak.

***

”Anda tahu? Saya mencicipi banyak makanan yang berbeda sekarang,” katanya saat sedang berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan modern. ”Dalam rak-rak tersusun begitu banyak jenis makanan yang berbeda. Minumannya juga. Warnanya amat beragam. Sesekali saya akan mulai meminumnya juga. Bukan karena itu suatu perbuatan yang iseng. Tapi memang banyak sekali pilihannya. Sulit sekali untuk memilih jenis makanan apa yang memang kita inginkan.”

Selama di penjara, Johnson tentunya amat akrab dengan makanan dan minuman yang memang diatur sedemikian ketat. Para narapidana mustahil dapat menentukan apa saja menu yang sesuai dengan selera mereka. Segala sesuatu sudah ditentukan dalam sistem lembaga pemasyarakatan. Tak ada pilihan selain mengikuti yang telah ditetapkan peraturan dalam penjara.

Malam mulai membentang selimut pekat. Siang yang riuh menyurut terhisap ke dalam. Lampu-lampu memandikan cahayanya pada jembatan, membasuh jalan dengan cahaya merkuri, mengganti jutaan larik cahaya matahari sebelumnya.

”Manakala tidak ada lagi sesuatu yang dikerjakan.. Mungkin sekitar pukul 6,” tutur Johnson melanjutkan kisahnya, ”Ya, sejak saya bebas dan ini menyenangkan, saya keluar menuju ke taman. Di sana saya melakukan meditasi. Hmm.. Melepaskan hal-hal yang menekan dalam diri saya keluar. Membiarkannya pergi begitu saja. Ya, karena saya pikir mempertahankan keadaan emosi yang buruk, marah misalnya, ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kepribadian kita.”

”Ketika banyak orang berpikir bahwa masyarakat sekitarnya berhutang karena jasa mereka yang ikut andil dalam membangun, saya tidak berpikir mengikuti kecenderungan tersebut. Sekalipun saya pernah berbuat jahat. Saya tidak merasa bahwa masyarakat berhutang apapun kepada diri saya. Saya percaya bahwa segala sesuatu terjadi pasti alasannya. Jadi, saya biarkan saja berjalan sebagamaina mestinya.”

”Saat ini saya lebih berpikir ke depan, dan melepaskan diri dengan masa lalu. Saya berusaha untuk tidak melihat ke belakang. Saya mencoba untuk melangkah maju ke depan. Hal inilah yang membuat saya mampu bertahan hidup dalam masyarakat. ”

Tidak mudah memang menemukan posisi yang tepat di tengah kondisi yang berubah dalam suatu lingkungan sosial. Apalagi bila sebelumnya seseorang mengalami keadaan yang membatasi dirinya untuk memaksimalkan potensi kemanusiawian dalam rangka berinteraksi dengan aktif, mengimbangi dinamika kehidupan yang berubah tiada henti. Sekalipun demikian, mencoba bangkit dan mengimbangi situasi baru yang melingkupi amatlah bijaksana. Melepaskan belenggu masa lalu yang kelam, menyongsong hari depan dengan semangat hidup yang masih menyala sungguh merupakan perbuatan yang bijak. Begitu pula dengan Otis Johnson yang lebih memilih untuk menatap ke depan, berusaha untuk berbuat yang terbaik bagi dirinya saat ini.

Bukankah selimut malam juga akan terkoyak oleh tajamnya cahaya fajar? Dan hangat mentari pagi akan menawarkan segala kemungkinan yang baru. [M.I]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun