Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Otis Johnson Setelah 44 Tahun Dipenjara

14 Februari 2016   20:21 Diperbarui: 14 Februari 2016   20:48 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

”Anda tahu? Saya mencicipi banyak makanan yang berbeda sekarang,” katanya saat sedang berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan modern. ”Dalam rak-rak tersusun begitu banyak jenis makanan yang berbeda. Minumannya juga. Warnanya amat beragam. Sesekali saya akan mulai meminumnya juga. Bukan karena itu suatu perbuatan yang iseng. Tapi memang banyak sekali pilihannya. Sulit sekali untuk memilih jenis makanan apa yang memang kita inginkan.”

Selama di penjara, Johnson tentunya amat akrab dengan makanan dan minuman yang memang diatur sedemikian ketat. Para narapidana mustahil dapat menentukan apa saja menu yang sesuai dengan selera mereka. Segala sesuatu sudah ditentukan dalam sistem lembaga pemasyarakatan. Tak ada pilihan selain mengikuti yang telah ditetapkan peraturan dalam penjara.

Malam mulai membentang selimut pekat. Siang yang riuh menyurut terhisap ke dalam. Lampu-lampu memandikan cahayanya pada jembatan, membasuh jalan dengan cahaya merkuri, mengganti jutaan larik cahaya matahari sebelumnya.

”Manakala tidak ada lagi sesuatu yang dikerjakan.. Mungkin sekitar pukul 6,” tutur Johnson melanjutkan kisahnya, ”Ya, sejak saya bebas dan ini menyenangkan, saya keluar menuju ke taman. Di sana saya melakukan meditasi. Hmm.. Melepaskan hal-hal yang menekan dalam diri saya keluar. Membiarkannya pergi begitu saja. Ya, karena saya pikir mempertahankan keadaan emosi yang buruk, marah misalnya, ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kepribadian kita.”

”Ketika banyak orang berpikir bahwa masyarakat sekitarnya berhutang karena jasa mereka yang ikut andil dalam membangun, saya tidak berpikir mengikuti kecenderungan tersebut. Sekalipun saya pernah berbuat jahat. Saya tidak merasa bahwa masyarakat berhutang apapun kepada diri saya. Saya percaya bahwa segala sesuatu terjadi pasti alasannya. Jadi, saya biarkan saja berjalan sebagamaina mestinya.”

”Saat ini saya lebih berpikir ke depan, dan melepaskan diri dengan masa lalu. Saya berusaha untuk tidak melihat ke belakang. Saya mencoba untuk melangkah maju ke depan. Hal inilah yang membuat saya mampu bertahan hidup dalam masyarakat. ”

Tidak mudah memang menemukan posisi yang tepat di tengah kondisi yang berubah dalam suatu lingkungan sosial. Apalagi bila sebelumnya seseorang mengalami keadaan yang membatasi dirinya untuk memaksimalkan potensi kemanusiawian dalam rangka berinteraksi dengan aktif, mengimbangi dinamika kehidupan yang berubah tiada henti. Sekalipun demikian, mencoba bangkit dan mengimbangi situasi baru yang melingkupi amatlah bijaksana. Melepaskan belenggu masa lalu yang kelam, menyongsong hari depan dengan semangat hidup yang masih menyala sungguh merupakan perbuatan yang bijak. Begitu pula dengan Otis Johnson yang lebih memilih untuk menatap ke depan, berusaha untuk berbuat yang terbaik bagi dirinya saat ini.

Bukankah selimut malam juga akan terkoyak oleh tajamnya cahaya fajar? Dan hangat mentari pagi akan menawarkan segala kemungkinan yang baru. [M.I]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun