Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Otis Johnson Setelah 44 Tahun Dipenjara

14 Februari 2016   20:21 Diperbarui: 14 Februari 2016   20:48 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepadatan amat terasa. Orang-orang lalu-lalang seperti barisan semut pekerja. Tak putus-putus. Johnson menembus keramaian Kota New York, masuk menuju sebuah stasiun bawah tanah di pusat kota. Di sebuah pojokan ia berhenti. Lama ia perhatikan dua unit telepon umum koin, yang terpasang di salah satu dinding.

”Saya ingat betul benda ini. Waktu itu saya baru pertama kalinya keluar plesiran. Saya bermaksud menelepon. Lalu saya cermati stiker yang bertuliskan 1 Dollar. Sebelumnya hanya tertera angka 25 sen,” mantan narapidana itu tertawa heran. ”Saya tahu. Rupanya mereka tidak menggunakan ini lagi,” katanya lagi seraya memaklumi. Berpuluh tahun mendekam di balik jeruji, Johnson tak menyadari, era Steve Jobs dengan budaya iPhone, telah amat lama meninggalkannya. Sendiri dibatasi ruang hidup yang bertembok dingin.

Johnson melanjutkan perjalanannya. Ia nikmati semua hal baru yang ditawarkan lingkungannya. Ada yang terasa ganjil dalam semua hal yang baru. Walaupun demikian, ia yakini dirinya sendiri mungkin masih ada hal-hal yang tersisa, apapun yang barangkali pernah sangat akrab dengan dirinya di masa lalu.

Ia masih ingat beberapa. Plesiran dengan menumpang bus juga termasuk yang paling digemarinya. Terbiasa sendirian dari dulu, ia coba temukan hal-hal yang dapat menyenangkan dirinya kembali. Ia kini berada di sebuah perhentian bus. Naik dan memilih duduk dekat dengan jendela.

”Saya suka naik bus. Anda tahu? Cuci mata melihat hal-hal berbeda, hanya bisa dengan bus,” dari jendela beruap dilihatnya rumah-rumah, dan pepohonan peneduh di sepanjang jalan. Sebuah landscape yang menawarkan kesegaran baru, bukan?

Johnson melanjutkan ceritanya lagi. Ia jelaskan mengapa ia begitu suka berplesiran sendirian dalam bus.

”Dalam bus Anda juga bisa berkomunikasi, ya, setidaknya dengan sedikit orang. Atau, mendengarkan percakapan mereka tentang hal-hal yang tengah terjadi. Lain ceritanya kalau Anda naik kereta api. Suasana di dalamnya penuh sesak. Orang-orang saling berdesakan. Namun, dalam bus sekalipun dipenuhi penumpang, masih tetap tersisa ruang bagi kita.. Hmm.. Mungkin untuk bercakap-cakap dengan seseorang, atau menyimak prilaku mereka yang sedang berplesiran bersama keluarganya yang kebetulan berada dalam bus yang sama dengan kita.”

Beberapa saat berselang, Johnson berada di sebuah ruang publik. Udara yang dihirup terasa amat segar. Ia duduk di salah satu bangku taman. Meluaskan pandangannya, menangkap segala apa yang bisa disaksi penglihatanya.

”Berada di tengah masyarakat.. Hmm.., itu menyenangkan. Sangat menyenangkan sekali! Ketimbang berada dalam penjara. Orang hanya bisa keluar pada saat-saat tertentu saja,” tatapannya menyapu semua pemandangan yang tersaji di sekitar taman. ”Makanya saya suka berada di saat cerah begini, dan saya juga suka mengamati orang-orang di sekeliling.” Senyumnya merekah karena perasaannya yang bersuka-cita, ”Ini menyenangkan! Menyenangkan bisa menikmati hal begini dalam keadaan bebas.”

Sendirian menikmati kebebasan, baginya adalah anugrah terbesar. Ia telah kehilangan kontak dengan keluarganya sejak tahun 1998. Kini ia berada di luar penjara tanpa seorang terdekat pun yang bisa dihubungi. Tak ada lagi saudara-saudarinya, dan sungguh hal ini amat meresahkan dirinya. Johnson sangat merindui keluarga. Ia masih ingat ada dua keponakan perempuan kembar yang sangat disayanginya. Masih jelas dalam benaknya kelakuan manja mereka ketika bermain dengannya. Masih jernih terdengar suara kekanakan mereka di telinganya. Kenangan manis ini masih bersemayam dalam benaknya. Ia memang menyayangi anak-anak.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun