Puisi yang begitu intim tersebut memang sebuah media ekspresi diri, alat kesenian yang memfasilitasi tujuan mengungkapkan pengalaman pribadi si penyair. Inilah yang menarik dari puisi yang tidak hanya mencoba menyajikan keindahan bahasanya, tetapi juga berupaya membagikan intisari dan faedah yang didapat si penyair setelah menyelidiki apa gerangan di balik peristiwa khusus yang mengesankan dirinya. Memang demikianlah suatu karya sastra yang berkualitas: berisi intisari pengalaman hidup dari awalnya bersifat personal lalu digubah menjadi tuntunan bagi pembacanya karena mengandun nilai universal kehidupan.
Berbicara mengenai keintiman penyair dengan buah karyanya, hubungan ini terjadi karena ada peran serta "Aku Lirik" yang menjadi wakil dunia dalamnya. Melalui "Aku lirik" puisi yang menyuarakan buah pikiran cermerlang si penyair hasil perenungannya tersebut, ia mengajak pembaca karya puisinya agar ikut mencermati, merasakan dan mendulang hikmah dari kehidupan langsung (Aku lirik puisi yang menjadi "Aku publik").
Emiliy Dickinson dengan puisinya ini berhasil mengkomunikasikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya mengenai "harapan" kepada pembaca (publik). Sehingga, pendapatnya mengenai bagaimana "wujud hidup" dari harapan di dalam dirinya yang masih dalam kerangka sudut pandang subyektif, kini telah menjadi suatu pengertian tentang "harapan" yang dapat diterima khalayak secara khusus.
Demikian yang bisa saya ungkapkan mengenai daya tarik puisi. Saya tahu bahwa tulisan sederhana ini tentunya banyak kekurangannya. Entah itu berhubungan dengan pengembangan gagasan, atau pun berkaitan dengan analisa dan argumennya. Maka dari itu, terus terang saja saya harapkan kesediaan Anda menambahi sehingga akan mampu menutupi ketidaklengkapannya. Semoga bisa memberikan manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H