Mohon tunggu...
M Ibra Fabian
M Ibra Fabian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

saya suka menjelajahi hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyimpangan Tradisi Carok di Madura yang Bertentangan dengan Hukum Positif

11 Juni 2024   10:59 Diperbarui: 11 Juni 2024   11:12 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia dikenal mempunyai budaya yang sangat beragam, namun terkadang tidak semua budaya di Indonesia tersebut dapat dipertahankan seterusnya karena nilai yang terkandung didalamnya seiring waktu sudah tidak sesuai salah satunnya budaya carok. Kebudayaan Carok merupakan kebudayaan sudah ada sejak dahulu di Madura. Carok adalah tradisi pertarungan yang muncul karena alasan tertentu yang berkaitan dengan kekayaan, tahta, dan harga diri terhadap wanita, dan dilakukan dengan menggunakan senjata. Carok merupakan aksi balas dendam dimana individu atau laki-laki melakukan duel dengan senjata celurit/sabit hingga korbannya meninggal. 

Seperti kasus carok yang baru-baru ini terjadi antara kakak-beradik Hasan Tanjung dan Mawardi duel melawan Mat Tanjar beserta teman-temannya.  Dalam peristiwa Carok, empat orang tewas dalam duel dua lawan empat yang terjadi  pada 12 Januari 2024 di kawasan Bhumi Anyar, Bangkalan, Madura. Peristiwa ini menegaskan bahwa  kekerasan  terjadi setelah kedua belah pihak yang bertikai tidak mampu menemukan solusi damai. Dalam kasus Hasan Tanjung, ia mengaku hanya melindungi harga dirinya setelah ditantang Matt Tanjar dan kawan-kawan.

Kita bisa melihat bahwa munculnya budaya Carok disebabkan karena tidak dapat menemukan solusi damai. Bagi  pemenang Carok ada ketenaran dan kehormatan, tetapi bagi  yang kalah hanya ada penghinaan. Hukum adat memiliki hukum tersendiri yang berlaku pada masyarakat adat, dan ada hukum adat yang berlaku bagi masyarakat adat yang diperkuat dengan undang-undang yaitu hak ulayat, hukum adat yang masih diakui sampai sekarang dan memiliki peraturan tersendiri. Hak-hak ulayat tersebut diperkuat dengan hukum positif karena nilai-nilainya dianggap baik  dan masih sejalan dengan perkembangan zaman, namun tidak demikian halnya dengan budaya Carok, nilai-nilai tersebut sudah tidak sejalan dengan perkembangan zaman, dan hal ini dianggap tidak berperikemanusiaan.

Budaya carok dapat dikatakan sebagai adu duel bisa satu lawan satu atau kadang kala terjadi keroyokan karena carok masal yang disebutkan diatas. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (merujuk pada Penjelasan Pasal 182 KUHP) menjelaskan bahwa undang- undang tidak memberikan definisi apa yang dinamakan "berkelahi satu lawan satu" itu. Menurut pengertian umum , "pertarungan satu lawan satu" adalah pertarungan antara dua orang secara tertib (dengan tantangan lebih dahulu), sedangkan tempat, waktu, senjata yang dipakai, siapa saksi-saksinya ditetapkan pula. Perkelahian ini biasanya disebut "duel". Perkelahian meskipun antara dua orang, apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, tidak masuk dalam pasal ini.

Hasil yang ditimbulkan oleh carok masuk pada unsur-unsur yang ada pada pasal sebagai berikut: 

Pasal 338 (pembunuhan). 

Pasal 340 (pembunuhan berencana)

Pasal 351 (penganiayaan)

Pasal 353 (penganiayaan berencana)

Pasal 354 (penganiayaan berat)

Di sini budaya carok bertentangan dengan hukum positif yang berlaku saat ini, bahkan bertentangan dengan ketentuan yang bisa menjerat budaya Carok, karena  dianggap tidak manusiawi seiring berjalannya waktu. 

Makna dan Konteks Budaya

Dalam budaya carok, kehormatan dan harga diri sangatlah penting. Carok seringkali dipicu oleh perasaan tidak puas, penghinaan, atau benturan kepentingan antara individu atau kelompok. Konflik yang melibatkan masalah kepemilikan tanah, perselisihan pernikahan, atau dendam pribadi sering menjadi pemicu untuk memicu tradisi ini. 

Namun, carok juga memiliki dimensi simbolis yang dalam. Pertarungan fisik dianggap sebagai cara untuk memulihkan martabat yang hilang, mengembalikan keseimbangan sosial, atau bahkan mengakhiri konflik yang berlarut-larut antara kelompok-kelompok. Bagi sebagian orang, carok adalah cara untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat di mana lembaga formal seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Budaya carok bila ditinjau dari aspek hukum, jelas bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Carok antara lain dapat dikategorikan dalam Pasal 182, 340, 353, dan 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada dasarnya harus diperlakukan sama tanpa mengenyampingkam rasa keadilan dalam masyarakat

Masa Depan Tradisi

Meskipun carok menghadapi tekanan untuk menyatu dengan perubahan zaman, tradisi ini tetap memiliki tempat yang kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa. Bagi beberapa individu, carok masih dianggap sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan perselisihan yang mendalam dan untuk memulihkan kehormatan yang terluka.

Lalu bagaimana agar tradisi carok tidak menimbulkan korban kekerasan dan korban jiwa?, agar tradisi tetap lestari tanpa adanya unsur yang menyimpang dari hukum positif, carok harus beradaptasi dengan perubahan zaman. Ini mungkin berarti mengubah perannya menjadi lebih simbolis daripada fisik, atau mempertahankan aspek-aspek budaya yang kuat sambil menyesuaikan metode penyelesaian konfliknya dengan realitas sosial dan hukum yang berubah. Dan pemerintah setempat juga harus turut andil dalam memperbaiki SDM masyarakat Madura agar tidak ada lagi kasus - kasus yang dapat menghilangkan nyawa dan unsur kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun