Mohon tunggu...
HME Irmansyah
HME Irmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Ipoleksosbud

Institute for Studies and Development of Thought (ISDT)

Selanjutnya

Tutup

Money

SMI Menggantang Asap ?

30 April 2018   10:08 Diperbarui: 30 April 2018   10:09 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto koleksi pribadi.

SMI, MENGGANTANG ASAP?

Oleh: Muhammad E. Irmansyah (ISDT-Institute for Studies and Development of Thought)

Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan yang terlanjur di beri label menteri keuangan terbaik dunia itu beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa pelemahan rupiah akan perkuat daya saing.

Menurut saya statemen seperti itu hanyalah statemen seorang dosen kepada mahasiswanya. Itupun statemen monolog tanpa ada dialog di ruang kelas kuliah mata pelajaran yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Nampaknya Menteri Keuangan "terbaik" ini perlu banyak dialog dengan para ekonom lainnya. Jangan mengunci diri duduk diatas menara gading.

Pelemahan rupiah perkuat daya saing ekspor harus disertai dengan beberapa syarat. Harus dilihat juga komposisi ekspor dan impor dan kecenderungannya. Pertanyaannya, apakah sebaiknya rupiah melawan USD untuk menguat? Atau mengikuti arus melemah?

Trend pelemahan nilai tukar tidak hanya semata-mata karena membaiknya data perekonomian AS saja yang kemudian mengakibatkan investor pindahkan asetnya ke USD. Tekanan terhadap rupiah akibat pelebaran defisit fiskal AS, reformasi perpajakan AS yang akibatkan ekspektasi kenaikan suku bunga THE FED dan lain-lain, tetapi juga karena tidak adanya inovasi dalam kebijakan tepat guna ekonomi yang disesuaikan dengan situasi medan lapangan hari ini. 

Memang banyak negara yang sengaja lemahkan DOLLAR nya dengan maksud tertentu. Contohnya: Jepang, pelemahan nilai tukar "by design" ini merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi Jepang yang terus melambat sebagai akibat konsumsi domestiknya rendah.

Jepang kemudian andalkan ekspor sebagai basis pertumbuhan ekonomi mereka walaupun ini bersifat temporer.  Dengan melemahnya nilai tukar diharapkan barang "MADE IN JAPAN" akan jadi lebih kompetitif dan akan memberikan pendapatan lebih bagi eksportir sehingga pertumbuhan ekonomi yang berasal dari ekspor diharapkan dapat terlaksana sesuai rencana. 

Karakteristik ini sepintas lalu nampaknya cocok dengan Indonesia yang memiliki tujuan untuk turunkan IMPOR. Masyarakat Indonesia yg berada pada kategori "middle income", memiliki kecenderungan yang tinggi untuk konsumsi. Kemudian konsumsi ini ternyata sampai saat ini masih dipenuhi dengan barang impor yang tidak diimbangi dengan perbaikan ekspor.

Untuk kurangi tingginya impor agaknya  pelemahan nilai tukar akan membuat harga barang impor menjadi mahal. Cara lain, pemerintah terapkan aturan terkait pembatasan impor, tapi hal ini timbulkan kelangkaan barang dan sebabkan instabilitas harga barang dan akhirnya pengaruhi inflasi dan perekonomian Indonesia. 

Tugas pemerintah adalah harus dapat mensubstitusi barang-barang yang di konsumsi masyarakat dari impor tadi melalui  SUPPLY dari dalam negeri. Masalah yang utama saat ini adalah, banyak 'raw material' untuk ekspor tadi justru harus di impor. Padahal 60% bahan baku kita masih diimpor, tentu kita harus cari penggantinya, ada 3 produk bahan baku yang paling tinggi yakni suku cadang otomotif, baja dan baja terapan dan petrokimia.

Sebagai contoh dalam industri otomotif, komponen impor lebih banyak dari komponen lokal.  Satu lagi contoh dalam industri tekstil, kapas 100% harus impor karena kapas Indonesia tidak memenuhi syarat untuk tekstil kwalitas tertentu, karena hanya bisa untuk produk tertentu dengan kwalitas rendah rendah saja. 

Industri benang Polyester sebagai bahan lain dari tekstil juga impor, dan sudah lama kalah dari Cina. Semua mesin mesin industri tekstil impor, kita tidak pernah mampu memproduksi mesin industri sendiri. Sementara industri tekstil Indonesia saat ini hanyalah sebagai tukang saja (upah saja), walaupun membutuhkan tenaga kerja banyak (labor intensive). Jadi sama sekali tidak benar jika SMI beranggapan bahwa pelemahan mata uang rupiah akan memperkuat posisi ekspor.

Artinya, opsi pelemahan rupiah ini untuk sementara waktu hanya tinggal angan-angan, mungkin nanti. Tapi bukan untuk saat ini!

Pelemahan RUPIAH saat ini menurut saya, merugikan. Karena jika saat ini pemerintah lakukan intervensi dengan menggunakan cadangan, maka akhirnya sia-sia.

Hal yang penting lagi adalah bahwa berbeda antara strategi pelemahan rupiah dengan pelemahan rupiah akibat TEKANAN (atau todongan) dan sebagai akibat salah mengambil kebijakan. Yang disalahkan koq orang luar? Buruk muka, cermin dibelah.

Nampaknya pemerintah khususnya Menteri Keuangan sudah mulai panik karena mulai tidak fokus terhadap prioritas WHAT TO DO! Padahal banyak sekali tindakan inovatif dan kreatif yang bisa dia lakukan, ketimbang mengelabui rakyat bahwa pelemahan rupiah dapat meningkatkan ekspor.

Jakarta, 30 April 2018.

@MEI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun