[caption caption="Ilustrasi gambar IRRI.org"][/caption]
Paket Kebijakan Ekonomi II sudah bergulir. Sementara itu, Paket Kebijakan Ekonomi I tengah dirampungkan sejumlah kementrian terkait. Di Kementerian Perdagangan sudah ada sembilan peraturan menteri perdagangan baru yang telah ditandatangani. Sembilan regulasi baru itu soal angka pengenal impor, impor produk hortikultura, standar nasional Indonesia, pencantuman label berbahasa Indonesia, perdagangan gula antar pulau, impor cengkeh, impor bahan baku dan mesin, impor sodium tripolyphospate, serta impor ban. Regulasi baru itu ada yang akan diberlakukan segera setelah diundangkan dan ada yang berlaku pada awal Oktober, November dan Desember 2015. Paket kebijakan disebut KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor).
Masalah impor ini menjadi sangat penting dan mengemuka jika kita berbicara tentang Berdikari dan Trisakti. Mana-mana saja yang masih boleh di impor dan mana-mana saja yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak boleh di impor.
Adalah Rizal Ramli, Menko Maritim dan Sumber Daya yang memberikan "kepretan" di bidang impor garam dengan memberlakukan sistim pentarifan yang ternyata menguntungkan pemerintah bahkan petani garam. Memang sebuah gebrakan sudah selayaknya dilakukan di republik ini karena rakyat sudah "gemes" menunggu sebuah "kepretan" dari penguasa demi kemajuan rakyatnya.
Tapi yang menarik adalah, ditengah suara-suara agar mengetatkan impor bahkan stop impor bagi barang atau produk yang sebenarnya sudah bisa dihasilkan didalam negeri bahkan sudah di produksi di dalam negeri, ada saja pihak-pihak yang berkeinginan untuk tetap mengimpornya dari luar negeri. Hal ini patut ditenggarai sebagai ulahnya para pemburu rente (rent seekers). Contohnya beras. Perhitungan untuk tahun 2014, dengan produksi padi 70,83 juta ton GKG (gabah kering giling) setara 39,82 juta ton beras, dengan konsumsi beras per kapita yang hanya 125,6 kilogram per tahun, akumulasi surplus produksi beras 2014 mencapai 45,41 juta ton. Surplus terus naik, tetapi kemana surplus beras tadi berada? Hilang atau disembunyikan? Atau data nya yang salah?
Sekarang ramai-ramai orang menyalahkan atau setidaknya menyangsikan keakuratan data yang disediakan atau di terbitkan BPS. Nah lho...?
Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan akan mengimpor beras saat transit di Dubai dalam perjalanannya ke Amerika Serikat dua minggu lalu.  Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa ada kekacauan didalam hal kepengurusan beras ini. Padahal apabila beras di impor dari luar negeri maka itu berarti petani didalam negeri akan "mati" atau dengan kata lain menjadi tidak berdaya karena pemerintahnya lebih mendahulukan petani diluar negeri daripada petani di negaranya sendiri dengan dalih untuk menjaga pasokan beras.
Kementrian Pertanian pada 2015 anggarannya telah ditambah dua kali lipat menjadi Rp. 32,7 trilliun. Tambahan anggaran itu untuk rehabilitasi jaringan irigasi, pengadaan benih, bantuan pupuk dan lain-lain.
Sepertinya para pejabat kita sudah "ketagihan" addicted untuk melalukan shortcut jalan pintas impor setiap terjadi masalah. Mau mudahnya saja. Jadi.... sampai kapan kita terus bergantung pada impor? Kalau begitu sih, semua orang juga bisa jadi pejabat atau pemimpin kalau cuma sebentar-sebentar ambil jalan pintas impor apalagi uang untuk impor diperdapat dari berhutang. Dimana kerjanya? Dimana usahanya? Komitmen dan kesungguhan berada di sisi petani mutlak diperlukan. Melihatlah dari sisi petani, bukan dari sisi saudagar.
Presiden Joko Widodo sendiri yang melakukan blusukan turun ke sentra-sentra pertanian padi di sejumlah daerah. Presiden mendorong penggunaan varietas padi unggulan di daerah-daerah yang menjadi lumbung beras nasional. Presiden memastikan ketersediaan beras di Tanah Air dan tetap melakukan langkah-langkah antisipasi.
Akhirnya Presiden Joko Widodo melarang impor beras, karena merasa aman ketersediaan pangan. Alhamdulillah, Presiden konsisten dalam melakukan usaha swasembada beras dengan melarang impor beras.