Haruskah Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law Dihentikan?
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak.Â
RUU tersebut menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat khususnya tenaga medis dan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia, hingga pada Senin, 8 Mei 2023 lalu, ribuan tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan (nakes) dari berbagai daerah di Indonesia nekad untuk menggelar aksi demonstrasi di Monas, Jakarta.Â
Aksi unjuk rasa yang digelar diikuti oleh nakes dari berbagai organisasi profesi baik dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Semuanya dalam rangka menolak RUU Kesehatan Omnibus Law dan meminta agar pembahasan RUU tersebut dihentikan terlebih dahulu. Bahkan muncul ancaman mogok kerja oleh tenaga kesehatan apabila aspirasinya tidak didengarkan.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Moh. Adib Khumaidi, menyatakan nada protes agar RUU Kesehatan Omnibus Law dihentikan. Hal ini karena RUU tersebut terkesan diskriminatif dan belum memberikan jaminan hak atas perlindungan hukum bagi dokter dan tenaga kesehatan.Â
Dikatakan oleh Adib dalam Dialog Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia-RUU Kesehatan yang diikuti dari Youtube FMB9 di Jakarta, Â "Saat ini ada tiga tuntutan yang bisa dialami profesi dokter dan tenaga kesehatan, yakni tuntutan dari Majelis Kehormatan Disiplin, tuntutan yang muncul dari kasus KUHP, dan tuntutan perdata." Hal inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya protes dan demonstrasi.
Sedangkan menurut sebagian nakes yang melakukan demonstrasi ada beberapa pasal RUU Kesehatan yang dirasa dapat merugikan. Salah satu diantaranya adalah pasal 188 yang menyebutkan "Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan ..." Â
Selain itu pasal 326 juga menyebutkan bahwa "Setiap pasien yang dirugikan akibat kesalahan tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat meminta ganti rugi....." Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa RUU Kesehatan bukannya melindungi dan menjamin kepastian hukum para nakes, malah terkesan untuk melemahkannya dan membuat rasa tidak "aman" bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Perlu adanya penjelasan terkait batasan "kelalaian dan kesalahan" yang dimaksud dalam pasal tersebut. Beberapa pasal dalam RUU Kesehatan tersebut dianggap dapat menimbulkan "ketakutan" bagi dokter dan tenaga kesehatan serta mengurangi kewenangan dalam mengambil keputusan terkait penanganan kepada pasien.
Selain itu, RUU ini memuat pasal yang berkaitan dengan organisasi profesi kesehatan, dimana pasal ini dianggap sebagai pasal yang dapat menyebabkan marginalisasi  organisasi profesi.Â
Isu mengenai pembatasan organisasi profesi, terdapat pada pasal 314 ayat (2), yang menyebutkan  "Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi." Berdasarkan pasal tersebut, dapat diartikan adanya batasan dalam kebebasan berpendapat dan berserikat.
Selanjutnya adalah pasal 233-241 terkait pengaturan dokter asing yang bekerja di Indonesia. Di dalam RUU Kesehatan tersebut, dapat diasumsikan pemberian "kemudahan" dokter dan tenaga kesehatan asing. Pemberian kemudahan terhadap dokter dan tenaga kesehatan asing untuk dapat bekerja di dalam negeri memiliki konsekuensi tersendiri.Â
Di satu sisi, alasan pemerintah memberi kemudahan tersebut tidak lain karena kekurangan jumlah dokter di Indonesia, distribusi dokter yang belum merata hingga pelosok, dan transfer of knowledge serta bertujuan agar pasien Indonesia tidak berobat ke luar negeri. Memang benar adanya kekurangan tenaga dokter di Indonesia (berdasarkan standar WHO), namun tidak serta merta harus dilakukan "impor dokter asing".Â
Sebenarnya pemerataan jaminan sosial (gaji dan tunjangan) bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan baik di Jawa maupun di luar Jawa adalah sangat penting, agar dokter dan tenaga kesehatan tidak terkonsentrasi di Jawa saja. Oleh karena itu, kemudahan "impor dokter asing" dirasa belum mendesak, masih banyak permasalahan lain yang memiliki tingkat urgensi lebih tinggi.
Sementara itu, menurut Juru Bicara Kementrian Kesehatan, dr. Syahril, melalui RUU Kesehatan ini pemerintah mengusulkan tambahan perlindungan hukum bagi dokter dan tenaga kesehatan ketika memberikan pelayanan kesehatan diantaranya tertuang dalam pasal 327 yang disebutkan adanya peluang penyelesaian perselisihan di luar pengadilan terlebih dahulu, sehingga memberikan jalan alternatif agar permasalahan tidak sampai ke ranah hukum.Â
Selain itu ada beberapa pasal lainnya yang memberikan perlindungan hukum bagi peserta didik dari kekerasan fisik, mental dan perundungan (pasal 209E), hak menghentikan pelayanan apabila mendapat tindakan kekerasan dan pelecehan (pasal 282) serta perlindungan hukum pada kondisi tertentu termasuk seperti saat pandemi atau wabah (pasal 408).
Pada pasal 183 RUU Kesehatan, memberikan ruang bagi terciptanya pendidikan kesehatan yang lebih murah karena selain institusi pendidikan / perguruan tinggi, rumah sakit dapat menyelenggarakan fungsi pendidikan dan penelitian.Â
Rumah Sakit pendidikan dapat bekerja sama dengan institusi pendidikan atau secara mandiri dapat menyelenggakan pendidikan dokter, pendidikan spesialis hingga sub spesialis. "Nantinya peserta didik yang mengikuti pendidikan berbasis rumah sakit tidak perlu membayar biaya pendidikan karena akan dianggap sebagai dokter magang dan justru mendapat penghasilan." Ujar dr. Syahril. Selain itu pada pasal 209 diatur tentang pemberian bantuan pendidikan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law yang berlangsung saat ini sebaiknya di hentikan terlebih dahulu. Selanjutnya perlu dilakukan review dan koreksi terhadap beberapa pasal Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang dianggap kontroversial dan merugikan masyarakat khususnya tenaga medis dan tenaga kesehatan.Â
DPR harus peka dan mendengarkan aspirasi masyarakat khususnya tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam merumuskan kebijakan ini. Alangkah baiknya jika Pemerintah, DPR, wakil dari organisasi profesi tenaga medis, tenaga kesehatan dan stake holder terkait duduk satu meja dan membahas pasal-pasal dalam RUU tersebut sebelum disahkan.
Terkait dengan ancaman mogok kerja yang akan dilakukan oleh nakes, sebaiknya hal tersebut dipikirkan kembali. Jika mogok kerja tetap dilaksanakan maka pihak yang paling dirugikan disini adalah pasien / rakyat, karena pelayanan kesehatan dapat terganggu. Padahal yang seharusnya menjadi prioritas utama terkait kesehatan adalah rakyat Indonesia.Â
Pada dasarnya, tujuan dari RUU Omnibus Law ini adalah terciptanya kualitas kesehatan rakyat Indonesia yang lebih baik tanpa ada pihak yang dirugikan baik tenaga medis, tenaga kesehatan, rumah sakit, organisasi kesehatan, industri kesehatan dan terutama rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI