Isu mengenai pembatasan organisasi profesi, terdapat pada pasal 314 ayat (2), yang menyebutkan  "Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi." Berdasarkan pasal tersebut, dapat diartikan adanya batasan dalam kebebasan berpendapat dan berserikat.
Selanjutnya adalah pasal 233-241 terkait pengaturan dokter asing yang bekerja di Indonesia. Di dalam RUU Kesehatan tersebut, dapat diasumsikan pemberian "kemudahan" dokter dan tenaga kesehatan asing. Pemberian kemudahan terhadap dokter dan tenaga kesehatan asing untuk dapat bekerja di dalam negeri memiliki konsekuensi tersendiri.Â
Di satu sisi, alasan pemerintah memberi kemudahan tersebut tidak lain karena kekurangan jumlah dokter di Indonesia, distribusi dokter yang belum merata hingga pelosok, dan transfer of knowledge serta bertujuan agar pasien Indonesia tidak berobat ke luar negeri. Memang benar adanya kekurangan tenaga dokter di Indonesia (berdasarkan standar WHO), namun tidak serta merta harus dilakukan "impor dokter asing".Â
Sebenarnya pemerataan jaminan sosial (gaji dan tunjangan) bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan baik di Jawa maupun di luar Jawa adalah sangat penting, agar dokter dan tenaga kesehatan tidak terkonsentrasi di Jawa saja. Oleh karena itu, kemudahan "impor dokter asing" dirasa belum mendesak, masih banyak permasalahan lain yang memiliki tingkat urgensi lebih tinggi.
Sementara itu, menurut Juru Bicara Kementrian Kesehatan, dr. Syahril, melalui RUU Kesehatan ini pemerintah mengusulkan tambahan perlindungan hukum bagi dokter dan tenaga kesehatan ketika memberikan pelayanan kesehatan diantaranya tertuang dalam pasal 327 yang disebutkan adanya peluang penyelesaian perselisihan di luar pengadilan terlebih dahulu, sehingga memberikan jalan alternatif agar permasalahan tidak sampai ke ranah hukum.Â
Selain itu ada beberapa pasal lainnya yang memberikan perlindungan hukum bagi peserta didik dari kekerasan fisik, mental dan perundungan (pasal 209E), hak menghentikan pelayanan apabila mendapat tindakan kekerasan dan pelecehan (pasal 282) serta perlindungan hukum pada kondisi tertentu termasuk seperti saat pandemi atau wabah (pasal 408).
Pada pasal 183 RUU Kesehatan, memberikan ruang bagi terciptanya pendidikan kesehatan yang lebih murah karena selain institusi pendidikan / perguruan tinggi, rumah sakit dapat menyelenggarakan fungsi pendidikan dan penelitian.Â
Rumah Sakit pendidikan dapat bekerja sama dengan institusi pendidikan atau secara mandiri dapat menyelenggakan pendidikan dokter, pendidikan spesialis hingga sub spesialis. "Nantinya peserta didik yang mengikuti pendidikan berbasis rumah sakit tidak perlu membayar biaya pendidikan karena akan dianggap sebagai dokter magang dan justru mendapat penghasilan." Ujar dr. Syahril. Selain itu pada pasal 209 diatur tentang pemberian bantuan pendidikan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law yang berlangsung saat ini sebaiknya di hentikan terlebih dahulu. Selanjutnya perlu dilakukan review dan koreksi terhadap beberapa pasal Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang dianggap kontroversial dan merugikan masyarakat khususnya tenaga medis dan tenaga kesehatan.Â
DPR harus peka dan mendengarkan aspirasi masyarakat khususnya tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam merumuskan kebijakan ini. Alangkah baiknya jika Pemerintah, DPR, wakil dari organisasi profesi tenaga medis, tenaga kesehatan dan stake holder terkait duduk satu meja dan membahas pasal-pasal dalam RUU tersebut sebelum disahkan.
Terkait dengan ancaman mogok kerja yang akan dilakukan oleh nakes, sebaiknya hal tersebut dipikirkan kembali. Jika mogok kerja tetap dilaksanakan maka pihak yang paling dirugikan disini adalah pasien / rakyat, karena pelayanan kesehatan dapat terganggu. Padahal yang seharusnya menjadi prioritas utama terkait kesehatan adalah rakyat Indonesia.Â