Posisi yang ketiga sebagai teman. Posisi ini dilakukan guru dengan cara berbicara dengan ramah dan cenderung bersendau gurau untuk menghangatkan suasana. Dampak posisi ini akan membuat murid bergantung pada 1 orang (ketergantungan), tidak mandiri dan tidak bisa berfikir untuk diri sendiri.
Posisi yang keempat sebagai pemantau. Posisi ini dilakuan guru dengan cara bersuara datar, tidak emosional, tidak bersendau gurau, atau pun menggunakan suara tinggi. Pemantau senantiasa memantau pada saat siswa diberi sanksi karena diperlukan pengawasan. Dampaknya siswa akan menghitung konsekuensi dan hadiah tanpa memahami nilai kebajikan apa yang dituju dan tidak sepenuhnya mandiri.
Posisi yang kelima sebagai maanajer. Posisi ini dilakukan guru dengan cara bersuara netral, tidak emosional, tidak terlalu ramah dan tidak terlalu tinggi. Guru akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan bermakna agar membuka pikiran murid. Selain itu, guru juga membimbing siswa untuk memecahkan masalahnya secara mandiri. Dampaknya siswa menjadi mandiri, percaya diri dan dapat memcahkan masalah.
Posisi pertama dan kedua termasuk identitas gagal. Yang mana guru menapkan "hukuman" dalam mendisiplinkan siswa. Sedangkan posisi ketiga dan keempat sudah menerapak sistem "konsekuensi". Indentitas ini termasuk identitas yang berhasil, tapi belum sempurna. Posisi yang kelima inilah yang dianjurkan oleh guru dalam menisiplinkan siswa karena sudah menerapkan "segitiga restitusi".
Adapun segitiga restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, serta memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Restitusi membantu murid untuk jujur pada diri sendiri dan mengevaluasi dampak dari kesalahan yang dilakukan. Restitusi memberikan penawaran bukan paksaan.
Terdapat tiga langkah dalam Segititiga Restitusi yaitu 1) menstabilkan identitas; 2) validasi tindakan yang salah; 3) menanyakan keyakinan. Langkah pertama pada bagian dasar segitiga adalah menstabilkan identitas. Jika anak berbuat salah maka ada kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi. Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang sukses. Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah. Konsep langkah kedua adalah kita harus memahami kebutuhan dasar yang mendasari tindakan anak berbuat kesalahan. Langkah ketiga yaitu menanyakan keyakinan. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika langkah 1 dan Langkah 2 sukses dilakukan, maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Penting menanyakan ke anak tentang kehidupan kedepan yang dia inginkan.
Beberapa contoh budaya positif yang sudah diterapkan di SMP Plus Latansa Demak yaitu mulai dari masuk gerbang, siswa melalukan 3S (senyum, sapa, salam). Kemudian budaya kebesihan dengan mencuci tangan di wastafel dan membuang sampah pada tempatnya. Budaya gotong royong terlihat dalam kekompakan secara tim atau kelompok. Nilai kemandirian dan tanggung jawab terlihat dalam kelakuan dan tindakan mereka yang tanpa diperintah. Nilai keagamaan melekat dengan SMP Plus Latansa dengan bergam progam keagamaan, Budaya antre pun terlihat ketika mereka akan mengambil makanan untuk makan siang.
Budaya-budaya positif inilah yang terus kita gali dan kembangkan. Sehingga nilai-nilai kebajikan yang ada dapat diimplikasikan sepenuhnya di SMP Plus Latansa Demak dan sekolah-sekolah lain pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H