Membangun Budaya Positif SMP Plus Latansa Demak (Muhammad Fatkhun Naim CGP Angkatan 5)
Pada era sekarang masih banyak dijumpai siswa yang berperilaku negatif. Faktor yang melatarbelakangi mereka sangatlah beragam variasi. Baik faktor internal maupun faktor eksternal sekolah. Hal ini tentu saja tidak baik untuk budaya di sekolahan. Yang ada nanti karakter tersebut dapat meyebar seperti virus ke siswa yang lain.
Oleh karena itu butuh penanganan yang tepat untuk menindaklanjuti perilaku siswa yang kurang tepat. Guru perlu mengetahui tata cara yang tepat dalam menangani siswa yang indisipliner.
Sebelum jauh melangkah, mari kita mulai dengan 3 motivasi perilaku manusia. Yang pertama menghindari hukuman atau rasa sakit. Yang kedua mendapatkan hadiah/imbalan dan yang ketiga karena nilai yang mereka yakini. Motivasi pertama dan kedua termasuk motivasi ekternal, sebisa mungkin kita tidak melakukannya karena sifatnya hanya sementara dan bisa berakibat buruk di belakangnya. Sedangkan motivasi yang dianjurkan adalah motivasi ketiga atau motivasi intrinsik dengan membangun nilai-nilai yang mereka percayai tanpa perintah atau paksaan untuk bertindak disiplin.
Selain itu, kita sebagai guru juga harus tahu kenapa siswa melakukan tindak insipliner. Mari kita pelajari 5 kebutuhan dasar manusia yaitu 1) Bertahan Hidup 2) Penguasaan 3) Kasih sayang dan Rasa Diterima 4) Kesenangan dan 5) Kebebasan. Ketika kebutuhan dasar manusia tidak bisa disalurkan secara positif, maka anak akan meluapkannya melalui jalur negatif. Nah tugas kita adalah memberikan ruang kebutuhan anak yang indisioliner tersebut agar bisa kebutuhan-kebutuhannya dapat tersalurkan dengan positif.
Untuk itu, kita harus bisa memposisikan diri dengan baik dalam menghadapi siswa. Dalam posisi ini, ada 5 jenis posisi kontrol yang perlu diketahui yaitu 1) Sebagai Penghukum 2) Sebagai Pembuat rasa bersalah 3) Sebagai Teman 4) Sebagai Pemantau 5) Sebagai Manajer. Selama ini di manakah posisi kita dalam mendisiplinkan siswa? Mari kita simak penjelasan berikut.
Posisi yang pertama sebagai penghukum. Posisi ini dilakukan guru dengan cara menghardik, menunjuk-nunjuk, berkacang pinggang dan membentak siswa. Bentuk hukuman yang diberikan berupa hukuman verbal dan hukuman fisik. Dampak yang diberikan dapat membuat siswa menjadi pendendam dan tidak menyukai guru atau mata pelajaran yang diampu.
Posisi yang kedua sebagai pembuat rasa bersalah. Posisi ini dilakukan guru dengan cara bersuara cenderung lembut, tenang, namun kata-katanya menyalahkan murid. Guru akan menyatakan hal-hal yang merasa kesalahan ada pada murid, dengan membuat guru "Menderita". Dampak hukuman terhadap siswa bisa membuat siswa merasa bersalah (identitas gagal), rendah diri dan menarik diri dari lingkungan.
Posisi yang ketiga sebagai teman. Posisi ini dilakukan guru dengan cara berbicara dengan ramah dan cenderung bersendau gurau untuk menghangatkan suasana. Dampak posisi ini akan membuat murid bergantung pada 1 orang (ketergantungan), tidak mandiri dan tidak bisa berfikir untuk diri sendiri.
Posisi yang keempat sebagai pemantau. Posisi ini dilakuan guru dengan cara bersuara datar, tidak emosional, tidak bersendau gurau, atau pun menggunakan suara tinggi. Pemantau senantiasa memantau pada saat siswa diberi sanksi karena diperlukan pengawasan. Dampaknya siswa akan menghitung konsekuensi dan hadiah tanpa memahami nilai kebajikan apa yang dituju dan tidak sepenuhnya mandiri.
Posisi yang kelima sebagai maanajer. Posisi ini dilakukan guru dengan cara bersuara netral, tidak emosional, tidak terlalu ramah dan tidak terlalu tinggi. Guru akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan bermakna agar membuka pikiran murid. Selain itu, guru juga membimbing siswa untuk memecahkan masalahnya secara mandiri. Dampaknya siswa menjadi mandiri, percaya diri dan dapat memcahkan masalah.
Posisi pertama dan kedua termasuk identitas gagal. Yang mana guru menapkan "hukuman" dalam mendisiplinkan siswa. Sedangkan posisi ketiga dan keempat sudah menerapak sistem "konsekuensi". Indentitas ini termasuk identitas yang berhasil, tapi belum sempurna. Posisi yang kelima inilah yang dianjurkan oleh guru dalam menisiplinkan siswa karena sudah menerapkan "segitiga restitusi".
Adapun segitiga restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, serta memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Restitusi membantu murid untuk jujur pada diri sendiri dan mengevaluasi dampak dari kesalahan yang dilakukan. Restitusi memberikan penawaran bukan paksaan.
Terdapat tiga langkah dalam Segititiga Restitusi yaitu 1) menstabilkan identitas; 2) validasi tindakan yang salah; 3) menanyakan keyakinan. Langkah pertama pada bagian dasar segitiga adalah menstabilkan identitas. Jika anak berbuat salah maka ada kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi. Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang sukses. Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah. Konsep langkah kedua adalah kita harus memahami kebutuhan dasar yang mendasari tindakan anak berbuat kesalahan. Langkah ketiga yaitu menanyakan keyakinan. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika langkah 1 dan Langkah 2 sukses dilakukan, maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Penting menanyakan ke anak tentang kehidupan kedepan yang dia inginkan.
Beberapa contoh budaya positif yang sudah diterapkan di SMP Plus Latansa Demak yaitu mulai dari masuk gerbang, siswa melalukan 3S (senyum, sapa, salam). Kemudian budaya kebesihan dengan mencuci tangan di wastafel dan membuang sampah pada tempatnya. Budaya gotong royong terlihat dalam kekompakan secara tim atau kelompok. Nilai kemandirian dan tanggung jawab terlihat dalam kelakuan dan tindakan mereka yang tanpa diperintah. Nilai keagamaan melekat dengan SMP Plus Latansa dengan bergam progam keagamaan, Budaya antre pun terlihat ketika mereka akan mengambil makanan untuk makan siang.
Budaya-budaya positif inilah yang terus kita gali dan kembangkan. Sehingga nilai-nilai kebajikan yang ada dapat diimplikasikan sepenuhnya di SMP Plus Latansa Demak dan sekolah-sekolah lain pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H