Dengan begitu industri kelapa sawit akan menimbulkan eksternalitas negatif terhadap dampak sosial dan lingkungan seperti banjir, longsor, hilangnya mata pencaharian bahkan kebakaran.
GreenPeace melaporkan 30% kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia terjadi di wilayah konsesi tanaman hutan industri dan perkebunan sawit.Â
Selain itu konflik dengan masyarakat setempat juga sering terjadi di perkebunan kelapa sawit. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tahun 2018 sebanyak 144 konflik di sektor perkebunan diantaranya sebanyak 83 kasus atau 60% merupakan konflik di sektor perkebunan kelapa sawit.Â
Pengelolaan perkebunan sawit yang jauh dari upaya menyejahterakan masyarakat justru melahirkan konflik terbuka yaitu, perebutan lahan
Konflik tersebut dipicu oleh masifnya perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sehingga ketimpangan dan konflik agraria tidak dapat dihindarkan di konsesi-konsesi perkebunan. Sementera disamping itu, konflik terjadi akibat para pengembang swasta kerap kali memonopoli tanah, sehingga pengembangan perkebunan kelapa sawit mengarah ke kapitalisasi.
Siapa yang untung dan buntung
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2020 sebesar 60,64 persen dari produksi minyak sawit (CPO) atau 27,94 juta ton minyak sawit (CPO) berasal dari perkebunan besar swasta.
Diketahui, keuntungan dari perdagangan sawit sangat tinggi, rata-rata biaya produksi sawit Rp500 per kg, sedangkan nilai jual TBS (Tandan Buah Segar) sekitar Rp1.597 per kg. Hal tersebut menguntungkan para pengusaha.
Sedangkan sebesar 33,88 persen atau 15,50 juta ton perkebunan kelapa sawit berasal dari perkebunan rakyat ataupun petani swadaya.