Publik tanah air kembali dihebohkan oleh kasus intoleransi yang terjadi di salah satu lingkungan sekolah di kota Padang melalui viralnya salah satu video yang didalamnya diketahui terjadi adu argumen antara orang tua siswa dengan pihak sekolah terkait penggunaan jilbab. Orang tua siswi terdengar menjelaskan jika ia dan anaknya merupakan non-Muslim, sehingga ia meminta toleransi kepada pihak sekolah untuk tidak menggunakan jilbab. Namun, pihak sekolah menyebut bahwa penggunaan jilbab merupakan sebuah kewajiban dan aturan sekolah. Kasus ini jelas menambah daftar panjang memudarnya sikap toleransi di negeri ini yang ‘Bhineka Tunggal Ika’ ini.
Dalam laporan tahunan mengenai kebebasan beragama di berbagai negara di dunia, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan, di Indonesia masih terjadi kasus-kasus pelanggaran, baik pada tataran masyarakat maupun pemerintah.
Mengutip laporan berbagai kelompok keagamaan dan LSM, laporan itu bahkan menyatakan bahwa para pejabat pemerintah dan polisi dalam beberapa kasus “gagal” mencegah “kelompok-kelompok intoleran” melanggar kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas dan melakukan aksi-aksi intimidasi, seperti pengrusakan dan penghancuran rumah ibadah.
SETARA Institute juga melaporkan masih terjadinya kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), walaupun jumlahnya berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Toleransi sebenarnya bukan kata yang asing bagi masyarakat Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diketahui makna toleransi adalah bersifat toleran. Lebih jauh dijelaskan, sifat toleran merupakan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Jika menilik sejarahnya, Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Dengan adanya keberagaman di Indonesia, menjadikan negara ini memiliki kemajemukan suku, bangsa, ras, etnis, bahkan agama. Hal ini tentunya sesuai dengan semboyan Bhinekha Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kiranya, dari semboyan tersebut seharusnya masyarakat dapat menjungjung tinggi keberagaman dan saling toleransi antar sesama.
Hazrat Mirza Masroor Ahmad adalah Khalifah Islam Ahmadiyah yang saat ini menjadi sorotan publik internasional karena perhatiannya yang serius terhadap toleransi dan perdamaian dunia adalah sosok yang sangat layak untuk dijadikan panutan dan guru toleransi. Sangat jarang tokoh dunia sepertinya menghabiskan banyak waktu dan pemikirannya demi tegaknya toleransi dan perdamaian.
Dalam khutbah, pidato, buku dan pertemuan-pertemuan pribadinya, dia selalu mengingatkan dan mendorong orang-orang mengupayakan tegaknya hak asasi yang bersifat universal, masyarakat yang adil serta pemisahan antara kepentingan agama dan negara.
Dia mengadakan simposium perdamaian setiap tahun, mengumpulkan para pejabat negara, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik dan lain-lain mengajak mereka berjuang bersama untuk keadilan, toleransi dan perdamaian.
meluncurkan penghargaan tahunan ‘Ahmadiyya Muslim Prize for the Advancement of Peace’; sebuah penghargaan perdamaian internasional bagi individu atau organisasi yang telah menunjukkan komitmen dan pengabdian luar biasa demi terwujudnya perdamaian dan kemanusiaan.
Dia juga menyurati para pemimpin dunia menasehati mereka, mengajak mereka juga untuk hal yang sama memikirkan dan berikhtiar untuk perdamaian dan menjauhi rasisme dengan segala bentuknya. Dia akan tegas dan tanpa ragu akan mengutuk keras setiap tindakan intoleransi dan anarkisme yang terjadi di berbagai tempat.
Dia berkeliling mengunjungi setiap negeri mengajak orang-orang agar mencintai perdamaian, membangun toleransi dan kecintaan satu dengan yang lainnya. Tidak hanya dalam tataran retorika dari mimbar ke mimbar, dia telah memberi contoh dan tauladan bagaimana toleransi itu harus dibangun.
Saat berkunjung ke negara New Zealand (Selandia Baru). Di negeri itu dia bertemu dengan kepala suku Maori.
Suku Maori adalah penghuni pertama Selandia Baru atau Aotearoa, yang berarti 'Negeri Awan Putih'. Suku ini memiliki budaya yang khas yang disebut dengan Hongi, salam khas Suku Maori dimana ujung hidung keduanya saling ditempelkan dengan lembut.
Khalifah Ahmadiyah Hazrat Mirza Masroor Ahmad tanpa menonjolkan identitas diri sebagai pemimpin Islam dengan jutaan umat sedunia, bertemu akrab dan hangat dengan Raja Maori itu dengan segala budaya dan tradisinya. Dia tanpa ragu menyentuhkan ujung hidungnya dengan ujung hidung sang kepala suku sebagai salam penghormatan dan perdamaian. Dia tak risih berjalan sambil diiringi musik dan tarian tradisional suku itu.
Hazrat Mirza Masroor Ahmad adalah sosok yang memanusiakan manusia. Dia pejuang keadilan dan kesetaraan untuk pembebasan hak asasi manusia. Cinta damai, menyebarkan persaudaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H