Pilkada serentak di berbagai kabupaten/kota di Indonesia akan digelar di 270 daerah di 9 provinsi di Indonesia. Tepatnya ada 224 kabupaten, dan 37 kota.
Menariknya, musim Pilkada kali ini dilaksanakan di tengah pandemi COVID-19. Terlepas dari hal tersebut, yang cukup menarik untuk dibahas adalah calon kepala daerah dari kubu petahana di beberapa tempat yang sudah tersandung kasus akan tetapi tetap mencalonkan diri. Calon bupati Banggai Laut contohnya.
Wenny Bukamo dari kubu petahana tetap akan mencalonkan diri meskipun telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus suap terkait proyek dinas PUPR di kabupaten tersebut.
Ia diduga mengatur mengkondisikan pelelangan di Kabupaten Banggai Laut untuk memenangkan rekanan tertentu agar kembali mendapatkan proyek pada dinas PUPR di Kabupaten Banggai Laut tahun anggaran 2020, dan uang suap tersebut diduga akan ia gunakan untuk kepentingan pemenangan Pilkada 2020.
Mengapa bisa sudah menjadi tersangka dengan berbagai bukti yang mendukung akan tetapi tetap mencalonkan diri? Mengapa Wenny Bukamo tidak digugurkan saja? Ternyata sesuai peraturan KPU, penggantian calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada hanya dibolehkan karena tiga sebab, yakni terkait syarat pencalonan, berhalangan tetap, dan atau dijatuhi pidana berdasarkan keputusan hukum tetap. Berdasarkan peraturan tersebut, dengan status Wenny Bukamo yang belum mendapat keputusan hukum tetap, maka peserta Pilkada Banggai Laut tersebut masih berstatus calon kepala daerah yang bisa dicoblos pemilih.
Tak hanya tersangka, bahkan eks narapidana – khususnya mantan terpidana kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) – sekalipun masih bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan beberapa syarat. Sesuai dengan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang (UU 10/2016). Salah satu syarat tersebut adalah “Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.” Kalau kita sadari, baik eks narapidana yang mencalonkan diri tersebut mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah mantan narapidana atau tidak mengemukakan sekalipun, tetap saja tidak menutup kemungkinan bahwa calon tersebut dapat melakukan kejahatan yang sama berupa korupsi saat ia terpilih nanti.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Banggai Laut, akan tetapi juga di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Peraturan dan perundang-undangan terkait Pilkada yang ada saat ini dinilai kurang memuaskan. Kelonggaran semacam inilah yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaaan akan setiap peraturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, tak sedikit yang berpikir bahwa “memilih atau tidak memilih akan sama saja”. Lantas, apa langkah yang bisa kita ambil untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini? Tentunya ada banyak cara dan ini harus dilakukan oleh berbagai pihak. Kita tidak bisa sendiri, kita harus bekerja sama, baik pemerintah, aparat, kita sebagai masyarakat, para pendidik, dsb.
Pertama, mulai dari diri sendiri. Mulailah budayakan rasa malu, jujur, dan amanah. Ada anggapan yang mengatakan bahwa kita ini kekurangan teladan. Keteladanan itu dimulainya dari atas. Jadi budaya malu itu harus dibangun dari atas. Kalau atasnya busuk ya bawahnya busuk. Kalau atasnya tidak punya budaya malu dan tidak konsisten, ya orang-orang akan meniru. Ya, ada benarnya, akan tetapi, akan kah kita terus bergantung pada sikap orang lain? Dalam artian, berbuat baik harus menunggu orang-orang yang diatas untuk berbuat baik juga? Tentu tidak, perbaiki mindset kita. Semua bermula dari diri sendiri. Kesadaran masing-masing, percuma adanya teladan kalau hati kita sendiri masih tertutup akan kebenaran.
Kemudian cara yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat adalah menghindari untuk memilih calon yang notabene eks narapidana tipikor, bahkan kita bisa melarangnya untuk mencalonkan diri. Karena hal ini merupakan bentuk kebebasan dan merupakan Hak Asasi Manusia, sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Hak ini juga tertuang dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dari dunia pendidikan, kita bisa mencontoh Singapura dan Finlandia yang sejak dini menanamkan nilai bahwa yang jujur adalah pemenang, yang jujur tidak diejek sebagai tukang lapor, cepu, lemes, dsb. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, maka akan muncul generasi penerus bangsa yang bersih dari praktik-praktik yang sudah kita paparkan diatas.
Cara berikutnya adalah dengan memperbaiki sistem hukum kita, kasus-kasus serupa tak akan ada ujungnya jika tidak ditindak secara tegas. Hukuman-hukuman yang ada saat ini tidak menimbulkan efek jera, sehingga kasus serupa terus bermunculan di berbagai wilayah Indonesia. Kita bisa mencontoh hukuman bagi koruptor dari negara-negara lain, sepeti China misalnya, seseorang yang terbukti melakukan korupsi dan menyebabkan kerugian negara lebih dari 100.000 yuan atau sekitar 215 juta rupiah akan dihukum mati. Peraturan serupa juga pernah dan/ masih diterapkan di beberapa negara seperti Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan. Dan cara ini terbukti menekan angka kasus korupsi di negara-negara tersebut.
Jika hukum semacam ini diterapkan, sangat besar kemungkinan bahwa tidak akan ada lagi penyalahgunaan kekuasaan bagi kubu petahana untuk memuluskan strategi Pilkadanya menggunakan uang rakyat. Masyarakat kita belum cukup cerdas. Meskipun dimana-mana sudah bertaburan slogan “Tolak Politik Uang! Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya!”, tetap saja apabila serangan fajar telah tiba, keyakinan itu goyah. Maka, apabila hukum yang tegas juga diterapkan pada para penerima serangan fajar, semakin besar kemungkinan terwujudnya Pilkada yang bersih serta bebas dari segala kecurangan dan korupsi.
Peran BPK juga sangat penting. BPK harus mengaudit kegiatan pejabat negara selama masa kampanye. Kepolisian, kejaksaan dan juga KPK harus ikut serta menyelidiki jika terjadi modus-modus korupsi seperti ini agar Pilkada bersih, berintegritas, dan bermartabat dapat terealisasi. Bayangkan, jika Pilkada yang bersih, berintegritas, dan bermartabat dapat terwujud, maka pemimpin yang bersih dan bebas korupsi pun akan lahir. Dan jika negri kita tercinta ini terbebas dari korupsi, akan ada banyak hal yang bisa kita wujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H