Mohon tunggu...
Muhammad TahtaAR
Muhammad TahtaAR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya manusia yang selalu pesimis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Undang-Undang sebagai Sinergi yang Harus Diinterpretasikan Final oleh Mahkamah Konstitusi

15 Juli 2023   05:21 Diperbarui: 15 Juli 2023   05:30 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara dengan kepatuhan hukum sangat minim, potensi itu tidak sejalan dengan status Indonesia pada pasal 1 ayat 3 yakni Indonesia sebagai negara hukum. Ketidakpatuhan terjadi dikarenakan aturan yang berbelit belit, aturan yang tidak mengedepankan kemaslahatan masyarakat, dan paling krusial adalah ketidaktahuan adanya suatu undang-undang itu sendiri. 

Kita ketahui secara seksama bahwa dalam suatu instrument negara perlu dijalankan suatu lembaga yakni, Legislatif, eksektuf, dan yudikatif. Tiga instrument ini merupakan suatu pondasi utama sebab kenapa Indonesia dijadikan sebagai negara Hukum. Adanya suatu lembaga ini menjadi peran check and balance dalam suatu sistem tatanegara sesuai amanat Undang-Undang.

Lembaga legislatif dengan tugas membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaan undang-undang yang telah disetujui. Terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga eksekutif dengan tanggung jawab menjalankan kebijakan dan program-program pemerintah serta menjaga keamanan dan ketertiban di negara tersebut. Lembaga eksekutif dipimpin seorang kepala negara atau kepala pemerintahan, seperti presiden atau perdana Menteri. Terakhir Lembaga yudikatif memiliki tanggung jawab untuk menegakan hukum, memberikan keadilan, dan memutuskan perselisihan hukum yang diakibatkan muatan rancangan Undang ataupun eksekusi Undang dengan jalur tempuhnya adalah uji materil dan uji formil. Lembaga yudikatif berperan dalam fungsi kekuasaan kehakiman dalam pemisahan kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Mengenai suatu Undang-Undang tentu saja banyak sekali mengalami perubahan entah perkembangan zaman atau penolakan terhadap masyarakat. Biasanya penolakan tersebut diakibatkan tidak sesuai dengan kondisi yang dialami masyarakat ataupun merugikan. Penulis ingin membahas tentang kenapa diskresi antara suatu Undang-Undang dengan putusan final oleh Mahkamah Konstitusi tetap masih menuai penolakan? Apakah itu merupakan unsur interpretasi oleh suatu lembaga Pemerintah dengan Undang-Undang dan penyelesaian adalah Undang-Undang untuk di uji dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berbeda? ataukan pelaksanaannya saat sudah diputuskan berbeda prakteknya yang dijalankan oleh lembaga pemerintah? Penulis ingin menggiring opini bagaimana supaya penalaran Undang-Undang bisa berjalan efektif dengan memakai logika hukum, bukan penalaran politik hukum.

Upaya Yang Perlu Dijadikan Catatan Dalam Menegakan Kepatuhan Hukum 

Sejak awal berdirinya pada tahun 2004, dengan megadopsi sistem ketatanegaraan ke 77 didunia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan warna baru bagi perwujudan negara hukum di Indonesia, tidak berhenti sampai disitu, MK telah juga membuka ruang perdebatan baru yang dalam dan substantif di kalangan ahli hukum tata negara. Bagaimana tidak, kewenangan untuk membatalkan undang-undang yang dibuat oleh presiden dan DPR (lembaga negara konstitusional yang mendapat mandat lansung dari rakyat), adalah konstruksi baru yang sebelumnya tidak dikenal dan bahkan cenderung di haramkan dalam masa Trias Politika. Rumus dasarnya, bahwa masing-masing kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) itu terpisah dan tidak boleh saling mencampuri. Bahkan sampai saat ini penerapannya masih terlihat antara gengsi lembaga untuk tidak diatur dan mempunyai kuasa masing-masing.

Perihal itulah yang membuat tentang kepatuhan hukum tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan data dari World Justice Project Rule of Law Index (WJP) Indonesia berada pada urutan 64 dengan status kepatuhan hukum, sedangkan yang paling tinggi dengan indeks kepatuhan berada di Denmark. Hal ini tentu saja mencerminkan betapa minimnya kepatuhan kita dengan putusan Undang-Undang yang ada.

Data WJP
Data WJP

Mengambil perbandingan dengan negara Denmark sebagai negara urutan pertama dalam kepatuhan hukum. Uji undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (Supreme Court). Putusan Mahkamah Agung di Denmark memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dihormati oleh semua pihak yang terlibat. Sistem di Denmark didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang kuat dan kepercayaan terhadap supremasi hukum. Setelah Mahkamah Agung memutuskan suatu kasus, putusannya dianggap final dan mengikat. Pihak yang terkait, termasuk pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan masyarakat umum, diharapkan untuk menghormati dan melaksanakan putusan tersebut.

Proses yang dilakoni oleh Mahkamah Agung di Denmark sama persis dengan Mahkamah Konstitusi yang ada di Indonesia, bedanya hanya durasi waktu untuk melakukan analisis gugatan, evaluasi efek apa yang akan didapatkan. Bahkan masih diolah kembali supaya tidak menjadi putusan yang mengakibatkan resiko, apalagi tidak diindahkan.

Dikutip dari website MKRI, statetment Hakim Konstitusi Wahiduddin menyampaikan hasil penelitian terkait pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi. Pada 2018, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 59 putusan PUU atau sebesar 54,12% telah dipatuhi seluruhnya oleh lembaga negara; sebanyak 6 putusan (5.5%) dipatuhi sebagian; sebanyak 24 putusan (22.01%) tidak dipatuhi; serta sebanyak 20 putusan (18.34%) dengan status belum diketahui. "Belum diketahui dalam hal ini adalah belum bisa diidentifikasi tingkat kepatuhannya," ujarnya.

Wahiduddin pun mengungkapkan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dipatuhi, antara lain Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 telah dipatuhi oleh KPU dengan diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang materi perubahan PKPU a quo mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan yang begitu besar pada putusan Mahkamah Konstitusi dilekatkan, yaitu sifat final and binding. Dengan adanya sifat ini bahwa putusan berdasarkan tingkat pertama dan terakhir adalah final dan mengikat. Terlebih tidak ada ruang yang perlu di uji lagi. Tentunya kalau dipikir secara logika bagaimana kalau suatu putusan yang bersifat final itu merugikan rakyat atau bertentangan dengan ideologi negara Pancasila, Padahal putusan Mahkamah Konstitusi adalah final and binding. Secara preseden pasti banyak yang menolak sehingga mengakibatkan tidak patuhnya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dengan asumsi sedemikian rupa.

Selanjutnya adalah sebuah konsep berpikir masyarakat pasti akan menanyakan. Undang-Undang mana yang akan dipakai. Secara fenomena real masyarakat banyak tidak tahu. Ketidaktahuan Undang-Undang mana yang dipakai dikarenakan pergulatan putusan antara lembaga masing-masing karena terlalu banyak aturan yang mengatur. "Ini kayak sudah menjadi kuasa mana yang harus dipakai, padahal poin pentingnya adalah sinergitas antara lembaga".

Dilihat Berdasarkan data yang dikumpulkan. Mahkamah Konstitusi bisa dianggap sebagai anak tiri dalam lembaga negara pemerintah, padahal tugasnya tidak kalah penting dengan peranan membawa kemaslahatan rakyat. Sifatnya yang final harus diikatkan kepada masyarakat dan lembaga pemerintahan.

Ketidakadaan kepatuhan ini terjadi biasa adanya; Perbedaan interpretasi hukum antara lembaga dan praktisi hukum, setelah itu perubahan komposisi hakim MK yang berubah ubah dan tentu saja hakim yang baru mungkin memiliki pendekatan atau sudut pandang yang berbeda dalam penyelesaian gugatan yang diajukan, perubahan arus politik yang memungkinkan untuk merubah hasil putusan oleh Mahkamah Konstitusi. Sidang yang terlalalu terburu-buru dalam memutus, terakhir kuasa mana yang akan dipakai dalam lembaga pemerintahan, dalam artian Undang-Undang mana yang menjadi pegangan. Beserta gengsi antara lembaga masih kuat.

Akibat hukum yang akan dialami masyarakat adalah bimbang, keresahan, bahkan ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi akan terus bertambah. Dilihat dari tinjauan tentang supremasi lembaga masing-masing dan tidak sinergi dalam menjalankan hukum itu sendiri menjadikan hukum dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Sinergi Demokrasi, Salah Satu Harapan Membawa Suatu Interpretasi Konstitusi

Perlu penulis sampaikan catatan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa penerapan yang mampu menggaet hati masyarakat terhadap hukum itu sendiri adalah tentang transparansi pada saat uji materil atau formil dengan konsep entah daring maupun luring. Untuk luring kalau bisa dilibatkan praktisi dan masyarakat dengan keinginan mereka. ditambah Mahkamah Konstitusi jangan menunggu bola pada saat gugatan, Artinya Mahkamah Konstitusi perlu juga turun untuk mengkaji dilapangan apa keresahan masyarakat dan keinginan mereka.

Kedua tentang transparansi saat persidangan bahkan saat putusan jangan lakukan terburu terburu dengan durasi 2 minggu pada saat pengujian Undang-undang, hal itu terkesan akan menambah asumsi masyarakat dan tentu saja fungsi yang sebagaimana mestinya final masih bisa diajukan gugatan. Tentunya gugatan akan terus terjadi kembali karena efektivitas dalam pengkajian Undang-Undang tidak stabil. Jadi harus diterapkan fungsional sidang dengan waktu yang lambat supaya bisa memberikan efek jangka panjang.

Ketiga sangat diperlukan sinergitas antara lembaga pemerintah untuk support satu sama lain dalam penegakan Undang-Undang, dengan hal itu kepatuhan masyarakat terhadap Undang-Undang dicerminkan berdasarkan dari lembaga pemerintah yang patuh dan akan diikuti oleh masyarakat.

Keempat perlu pembinaan secara intens terhadap masyarakat dengan sosialisasi soal putusan yang bersifat final oleh masyarakat dengan konsep penyederhaan redaksi kalimat yang mudah dimengerti oleh masyarakat dan juga lembaga negara sehingga tidak menimbulkan pertanyaan bahkan kontradiksi interpretasi kembali.

Penting untuk diingat bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga independen yang bertugas untuk menjaga konstitusionalitas hukum, sementara lembaga lain yakni DPR, Presiden, dan lain-lain perlu taat atas putusan final oleh Mahkamah Konstitusi. Ini akan terus mendorong kewajaran dalam sistem hukum yang demokratis. Kesinambungan dapat dicapai melalui komunikasi, dialog, dan kolaborasi yang baik antara lembaga, serta melalui penafsiran hukum yang konsisten oleh Mahkamah Konstitusi seiring waktu.

Harus pula diakui, Mahkamah Konstitusi adalah produk terbaik reformasi yang masih bertahan sampai hari ini. Bertahan dalam makna terus menjaga komitmennya terhadap idealisme negara dan tentu masih tetap mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Memang tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi bersifat populis, namun kepercayaan atas integritas "sebagian" hakim Mahkamah Konstitusi masih terus hidup, sehingga dukungan masyarakatpun masih tetap mengalir.

Independensi Mahkamah Konstitusi harus dijaga untuk memutuskan kasus-kasus yang diajukan tanpa campur tangan politik atau tekanan dari pihak eksternal. Independensi ini penting agar putusan yang dihasilkan dapat dianggap adil dan objektif.

Upaya penulis melihat penyelesaian tentang putusan yang secara tepat pentingnya melakukan pendekatan penalaran hukum, agar menjadi ranah yang harus dinterpretasikan, karena nilai itu dimiliki keberhakan semua orang dalam interpretasi masing-masing. Begitupun Hakim Mahkamah Konstitusi yang sejalan dengan tugas pada saat pembentukan. Tentunya itu merupakan suatu absolute power dalam tindak lanjut hakim pada suatu putusan untuk mengadili Undang-Undang. Setidaknya dengan hal ini akan terus membawa suatu reformulasi baru dalam pertarungan interpretasi yang dimiliki antara pengungat, hakim, bahkan masyarakat.

Sebagai bagian akhir dari penulisan ini, saran saya untuk pembaca jangan menjadi ahli tafsir pada saat disahkan suatu Undang-Undang, apalagi arahnya terkesan mensudutkan suatu lembaga tanpa melihat suatu peristiwa yang benar real. Anda bisa saja melakukan dengan Upaya dialog untuk mengetahui apa yang dimaksud dalam suatu putusan itu, dan kalau sudah Upaya tersebut pihak masing-masing akan saling mempertimbangkan, dan bisa menjadi suatu putusan yang keluar bersama, final, dan tanpa keraguan sedikit yang akan menambah ketidakpatuhan masyarakat terhadap Undang-Undang itu sendiri (Check And Balance).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun