Mohon tunggu...
M. Hasybi Rabbani
M. Hasybi Rabbani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulusan S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Merupakan seorang lulusan Prodi S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam. Selain tertarik terhadap hal yang berhubungan dengan sejarah maupun kebudayaan, saya juga terkadang menyukai hal tentang lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nisan Aceh: Penanda

3 Juni 2023   18:34 Diperbarui: 7 Juni 2023   14:13 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hamparan nisan Aceh yang tak terawat. Sumber: MAPESA.

Secara umum, nisan dapat kita pahami sebagai sebuah tanda dari kuburan atau makam, yang dapat terbuat dari kayu, semen, ataupun batu. Namun pada umumnya nisan sering terbuat batu, sehingga istilah "batu nisan" lebih sering didengar ketimbang "kayu nisan" ataupun "semen nisan".

Di Aceh sendiri, penggunaan batu nisan lebih sering digunakan ketimbang nisan-nisan yang terbuat dari material lainnya. Batu nisan sering diletakkan pada kepala dan kaki makam/kuburan, namun beberapa hanya menempatkan pada kepala saja sebagai penanda bahwa itu adalah bagian dari kepala si mayit (orang yang meninggal). Nisan-nisan yang sering kita lihat dan jumpai sekarang ini berbentuk cukup sederhana: pipihan semen dengan bangun ruang berbentuk balok, yang kemudian dipahat atau dicetak dengan gaya lengkungan-lengkungan sehingga terlihat mirip dengan bentuk kubah masjid, dan lalu diberi penamaan dengan nama si mayit. Bentuk ini dapat terbilang cukup sederhana dan tidak tampak adanya suatu kesulitan berarti yang dapat menjadi tantangan tersendiri bagi si pembuat nisan.

Namun jika kita terbang lebih jauh dan melihat bagaimana nisan pada masa dahulu, Aceh akan mendapat perhatian yang sangat besar, tidak dapat diremehkan dan bahkan diperlukan berbagai penelitian untuk membahasnya lebih mendalam. Bagi masyarakat modern masa kini, seharusnya nisan kuno Aceh itu bukan hanya sebatas sebuah tanda bagi kuburan, namun juga tanda bagi sebuah peradaban besar masa silam yang kini telah terkubur, dalam hal ini ialah peradaban Aceh itu sendiri. Dari banyaknya kemungkinan tipe nisan kuno yang ada di Aceh, 3 diantaranya sangat masyhur dan sering dijadikan sebagai objek penelitian sejarah dan arkeologi. Pada artikel ini yang kemudian akan sedikit membahas mengenai 3 tipe nisan kuno yang ada Aceh.

Nisan Aceh Tipe Plak Pleng (Lamuri)

Nisan Tipe Plak Pleng berasal dari Kerajaan Islam Lamuri, yang diyakini berpusat di daerah Krueng Raya, Aceh Besar, karena nisan-nisan ini banyak dijumpai didaerah tersebut. Nisan-nisan ini diyakini berasal dari abad 12-16 Masehi. Dari segi morfologi, nisan ini dapat dideskripsikan dengan bentuk balok persegi panjang yang bagian atasnya semakin mengerucut. Batu ini terbuat dari batu pasir dan secara bentuk, bentuk nya cukup sederhana yang hanya terdiri dari kaki, badan, dan puncak nisan. Namun ukiran dan pahatan yang terdapat pada nisan ini dapat dibilang istimewa. Ukiran dari nisan ini sangat kental dengan seni Hindu, sehingga diyakini bahwa Kerajaan Lamuri sebelumnya telah ada pada masa pra-Islam dengan kepercayaan yang dianut adalah Hindu. Nisan dari tipe ini tersebar diberbagai daerah di Aceh, yaitu Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara dan Aceh Jaya.

Nisan Aceh Tipe Samudra Pasai

Samudra Pasai atau yang juga dikenal dengan Bandar Sumatra berada di Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini telah ada sejak abad ke 12 Masehi. Kerajaan ini juga tentunya menghasilkan tipe nisannya tersendiri yang tersebar dan dapat dijumpai hingga Riau, Jawa, Malaysia dan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Secara morfologi nisan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu Tipe Luar yang terbuat dari batu pasir dan Tipe Lokal yang terbuat dari batu andesit. Dari kedua tipe ini juga terlahir puluhan sub-tipe dengan bentuk yang berbeda-beda. Namun yang paling sering dijumpai adalah bentuk persegi pipih dengan bagian puncak yang mengerucut, terdiri dari kaki, badan, dan juga puncak, namun beberapa sub-tipe juga memiliki bahu. Dibanding dengan seni hias, isi dari nisan ini lebih banyak didapati inskripsi berbentuk kaligrafi Arab, baik bertuliskan informasi mengenai si mayit atau hanya sekedar kalimat-kalimat thayyibah. Nisan-nisan ini diyakini memiliki bentuk yang mirip dengan nisan dari Gujarat, India sehingga menghasilkan teori tentang masuknya Islam ke Nusantara berasal dari Gujarat.

Nisan Aceh Tipe Aceh Darussalam

Yang terakhir adalah tipe Aceh Darussalam atau Bandar Aceh Darussalam yang terletak di Banda Aceh. Penggunaan nisan tipe ini berawal dari abad 15 hingga abad 20 Masehi. Mengikuti ekspansi militer dan jalur dagangnya yang luas, nisan dari Aceh Darussalam ini memiliki peta penyebaran mulai dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Brunei dan Filipina. Berbanding terbalik dengan Tipe Samudra Pasai, Tipe Aceh Darussalam lebih mengedepankan corak seni ketimbang inskripsi, bahkan pada beberapa sub-tipe nisan ini tidak memiliki inskripsi. Sub-tipe yang diketahui dari nisan ini terdapat 5 jenis, disamping beberapa sub-tipe yang tidak dapat teridentifikasi masa pembuatannya. Namun diyakini, bentuk dari nisan tipe ini akan semakin sederhana mengikuti alur waktu berakhirnya Kesultanan Aceh. Nisan ini terbuat dari batu pasir yang terdiri dari kaki, badan, bahu yang menyerupai sayap, dan puncak. Bentuk nisan pada umumnya ialah balok persegi panjang, namun beberapa sub-tipe memiliki bentuk silindris.  

Nisan-Nisan Tersebut Dimasa Kini

Penggunaan nisan Aceh sejatinya hanya sampai pada abad 20. Diketahui, makam sultan Aceh terakhir yaitu Sultan Muhammad Daud Syah yang meninggal pada 1939 dalam pengasingannya di Jakarta, menggunakan nisan bertipe Aceh Darussalam pada makamnya. Pada era sekarang penggunaan nisan Aceh dapat dipastikan telah tiada, yang disebabkan beberapa faktor. Jika melihat dari bentuknya, nisan Aceh memiliki gaya otentik nya tersendiri yang dipenuhi dengan beragam nilai seni tingkat tinggi. Dikalangan arkeolog dan seniman, nisan Aceh dikatakan sebagai salah satu puncak peradaban bangsa Aceh yang bisa dilihat secara empiris dimasa sekarang, bukan hanya sebuah kisah dongeng belaka.

Tingginya nilai seni yang terdapat pada nisan ini, membuat beberapa kalangan ingin menjadikannya sebagai pajangan, bahkan ada yang menginginkannya untuk dijadikan nisan saat dia meninggal kelak. Namun permasalahannya terletak pada bagaimana nisan ini diciptakan. Sejauh yang dapat dilihat, nisan ini dibuat dengan cara memahat batu, membentuk ornamen-ornamen khas Aceh yang disisipkan kalimat thayyibah didalamnya. Namun siapa yang membuatnya? Atau dimana sentra pengrajinnya? Atau bagaimana konsep pembuatannya? Itu adalah salah satu dari banyaknya pertanyaan mengenai misteri dari nisan Aceh.

Sebagai contoh, di Pulau Jawa terdapat Jepara yang dikenal sebagai sentra pengrajin seni ukir yang terbuat dari kayu. Namun di Aceh sendiri, banyak kehilangan jejak tentang sentra para pengrajin tersebut, mulai dari pengrajin koin yang memproduksi mata uang, pengrajin batu yang memproduksi nisan, dan pengrajin besi yang memproduksi artileri. Jejak para pengrajin ini berbeda dengan jejak para ulama yang mana sentra pendidikan Islam mereka masih terjaga di Aceh. Salah satu faktor yang mendorong tetap terjaganya jejak pendidikan Islam di Aceh adalah masyarakat Aceh yang sangat gemar menuntut ilmu agama dan masyarakat yang masih sangat terbuka untuk menerima kajian keagamaan Islam. 

Sementara itu, nilai seni di Aceh pada masa sekarang kurang mendapatkan apresiasi, terutama dalam seni pahat dan seni ukir. Disamping tingkat kerumitan yang tinggi dalam proses pembuatannya, seni pahat dan seni ukir yang kurang mendapat apresiasi dari masyarakat menjadikan cabang seni ini kurang digandrungi daripada cabang-cabang seni lainnya seperti seni musik dan seni lukis. Hal ini yang menjadi salah satu faktor berhentinya eksistensi nisan Aceh di tanahnya sendiri.

Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi adalah keterlibatan pihak penjajah yang secara sengaja memutuskan rantai peradaban yang ada di Aceh. Pengrusakan, penjarahan dan pembakaran sangat marak terjadi di Aceh pada masa Belanda dan Jepang. Nilai-nilai peradaban agung yang ada di Aceh seketika hilang dan seakan menjadi dongeng belaka. Aceh begitu banyak mengalami kerugian dari segi arkeologis dan dokumen/manuskrip, tentang bagaimana jejak-jejak nenek moyang kita yang berhasil membangun sebuah peradaban. Kehilangan jejak inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat Aceh pada masa sekarang hidup dalam kebutaan tentang sejarah mereka sendiri.

 Banda Aceh yang merupakan ibukota dari Kesultanan Aceh Darussalam, jika diketahui dan dikaji lebih lanjut maka dapat dipastikan menyimpan ratusan bahkan ribuan nisan Aceh yang terkubur, hilang atau tersimpan disekitar kita. Ketidaktahuan masyarakat terhadap nisan Aceh yang sejatinya adalah bukti kejayaan peradaban Aceh, membuat nasib nisan ini menjadi miris. Hanya menjadi penanda "kuburan" peradaban Aceh. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri berdiri selama 4 abad dan dipimpin oleh 35 orang sultan dan sultanah. Namun tidak semua sultan memiliki makam, atau mungkim makam mereka hilang ditelan zaman dan ketidaktahuan. Sebut saja Sultan Salahuddin, sultan Aceh kedua yang berkuasa pada 1528-1537 Masehi. Beliau merupakan anak dari Sultan Ali Mughayat Syah, yang mana makam beliau belum ditemukan hingga saat ini. Hal tersebut menjadi salah satu contoh dari tentang bagaimana kondisi sejarah, khususnya nisan Aceh dimasa sekarang. Dari 35 sultan/sultanah yang pernah memimpin perabadan Aceh, hanya beberapa orang saja yang makam mereka dapat ditemukan. 

Pada masa kini, kondisi nisan Aceh cukup memprihatinkan. Nisan-nisan ini tersebar diberbagai penjuru negeri, dan masyarakat tidak mengetahui tentang identitas sejarah yang ada disekitar mereka. 

Salah seorang warga yang saya temui, mengakui bahwa ayahnya menyebutkan nisan Aceh merupakan sebuah batu prasasti yang berasal dari India dan terbawa arus laut hingga sampai ke Aceh, beberapa warga lainnya mengatakan bahwa batu ini berasal dari Bali yang dibawa ke Aceh pada masa lalu, bahkan ada yang mengatakan bahwa nisan Aceh adalah kuburan orang-orang Hindu India. Dari banyaknya cerita yang tersebar dimasyarakat, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang nisan Aceh sangat-sangat kurang. 

Kurangnya pengetahuan tentang hal ini, menjadikan masyarakat Aceh acuh tak acuh dalam memandang arti sebuah nisan Aceh. Hasil dari ketidaktahuan inilah yang menjadikan nisan di Aceh sebagai batu asah, pematang tanah, penahan tiang sebuah kandang ternak, bahkan pada beberapa area pemakaman dirancangkan berbagai proyek pembangunan yang akhirnya nisan-nisan ini tergusur dari tanahnya sendiri. Sangat miris jika kita melihat nisan-nisan ini melalui kacamata ilmu pengetahuan.

Upaya Menegakkan Kembali Nisan yang Tumbang     

Namun, nyatanya bukan semua rakyat Aceh adalah orang yang buta terhadap sejarah mereka sendiri. Beberapa komponen masyarakat Aceh telah ikut bahu membahu dalam menegakkan kembali nisan-nisan yang tumbang itu. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat lainnya, turut memprakarsai kegiatan konservasi dan rehabilitasi nisan-nisan ini. Sebut saja seperti Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) yang sangat aktif dalam merekonstruksi sejarah dan merehabilitasi bukti arkeologis dari masa kejayaan Aceh. 

Selain memperbaiki situs arkeologi yang rusak, LSM ini sangat vokal dalam menolak berbagai proyek yang berpotensi merusak tinggalan arkeologis sejarah Aceh, seperti penolakan proyek pembangunan lapangan golf di Bukit Lamreh yang berpotensi merusak tinggalan-tinggalan arkeologis Kerajaan Lamuri yang ada disana, serta penolakan pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Jawa dan Gampong Pande, yang dinilai akan menghancurkan dan merendahkan marwah sultan-sultan Aceh yang dimakamkan disekitar lokasi rencana pembangunan proyek tersebut.

Selain daripada LSM ataupun organisasi masyarakat, rehabilitasi situs nisan-nisan kuno yang ada di Aceh giat dilakukan oleh instansi resmi pemerintah. Seperti kegiatan Meuseuraya yang rutin dilakukan oleh Perhubungan Daerah Militer Iskandar Muda (Hubdam IM) yang mana kegiatannya langsung dipandu oleh Kolonel Chb Jun H. Mastra selaku Kahubdam IM. Juga terlibat instansi-instansi dari kedinasan seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh dan juga Balai Pelestarian Cagar Budaya (BCPB) Aceh. 

Di samping kepedulian terhadap  nisan Aceh yang diupayakan oleh LSM dan instansi-instansi pemerintah, kepedulian terhadap tinggalan nisan Aceh ini juga dilakukan oleh kalangan mahasiswa dan pelajar, seperti dari Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HIMAS) yang berafiliasi dengan FKIP Universitas Syiah Kuala, serta komunitas Pelajar Peduli Sejarah Aceh (PELISA). 

Kesemua komponen masyarakat Aceh, baik itu resmi maupun tidak, swasta maupun negeri, serta komponen lainnya yang tak tersebutkan dalam tulisan ini, telah melakukan upaya pengembalian nilai-nilai yang ada pada nisan Aceh sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi mereka masing-masing. Pengenalan tentang nilai-nilai dari tinggalan arkeologis disekitar masyarakat terus gencar disosialisasikan, agar masyarakat mengetahui tentang arti dari hal-hal tersebut guna menjaga dan terus merawat warisan ini hingga anak cucu kita kelak.

(Artikel ini juga tayang di KBA13.com dengan beberapa perubahan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun