Mohon tunggu...
M. Hasybi Rabbani
M. Hasybi Rabbani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulusan S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Merupakan seorang lulusan Prodi S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam. Selain tertarik terhadap hal yang berhubungan dengan sejarah maupun kebudayaan, saya juga terkadang menyukai hal tentang lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nisan Aceh: Penanda

3 Juni 2023   18:34 Diperbarui: 7 Juni 2023   14:13 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tingginya nilai seni yang terdapat pada nisan ini, membuat beberapa kalangan ingin menjadikannya sebagai pajangan, bahkan ada yang menginginkannya untuk dijadikan nisan saat dia meninggal kelak. Namun permasalahannya terletak pada bagaimana nisan ini diciptakan. Sejauh yang dapat dilihat, nisan ini dibuat dengan cara memahat batu, membentuk ornamen-ornamen khas Aceh yang disisipkan kalimat thayyibah didalamnya. Namun siapa yang membuatnya? Atau dimana sentra pengrajinnya? Atau bagaimana konsep pembuatannya? Itu adalah salah satu dari banyaknya pertanyaan mengenai misteri dari nisan Aceh.

Sebagai contoh, di Pulau Jawa terdapat Jepara yang dikenal sebagai sentra pengrajin seni ukir yang terbuat dari kayu. Namun di Aceh sendiri, banyak kehilangan jejak tentang sentra para pengrajin tersebut, mulai dari pengrajin koin yang memproduksi mata uang, pengrajin batu yang memproduksi nisan, dan pengrajin besi yang memproduksi artileri. Jejak para pengrajin ini berbeda dengan jejak para ulama yang mana sentra pendidikan Islam mereka masih terjaga di Aceh. Salah satu faktor yang mendorong tetap terjaganya jejak pendidikan Islam di Aceh adalah masyarakat Aceh yang sangat gemar menuntut ilmu agama dan masyarakat yang masih sangat terbuka untuk menerima kajian keagamaan Islam. 

Sementara itu, nilai seni di Aceh pada masa sekarang kurang mendapatkan apresiasi, terutama dalam seni pahat dan seni ukir. Disamping tingkat kerumitan yang tinggi dalam proses pembuatannya, seni pahat dan seni ukir yang kurang mendapat apresiasi dari masyarakat menjadikan cabang seni ini kurang digandrungi daripada cabang-cabang seni lainnya seperti seni musik dan seni lukis. Hal ini yang menjadi salah satu faktor berhentinya eksistensi nisan Aceh di tanahnya sendiri.

Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi adalah keterlibatan pihak penjajah yang secara sengaja memutuskan rantai peradaban yang ada di Aceh. Pengrusakan, penjarahan dan pembakaran sangat marak terjadi di Aceh pada masa Belanda dan Jepang. Nilai-nilai peradaban agung yang ada di Aceh seketika hilang dan seakan menjadi dongeng belaka. Aceh begitu banyak mengalami kerugian dari segi arkeologis dan dokumen/manuskrip, tentang bagaimana jejak-jejak nenek moyang kita yang berhasil membangun sebuah peradaban. Kehilangan jejak inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat Aceh pada masa sekarang hidup dalam kebutaan tentang sejarah mereka sendiri.

 Banda Aceh yang merupakan ibukota dari Kesultanan Aceh Darussalam, jika diketahui dan dikaji lebih lanjut maka dapat dipastikan menyimpan ratusan bahkan ribuan nisan Aceh yang terkubur, hilang atau tersimpan disekitar kita. Ketidaktahuan masyarakat terhadap nisan Aceh yang sejatinya adalah bukti kejayaan peradaban Aceh, membuat nasib nisan ini menjadi miris. Hanya menjadi penanda "kuburan" peradaban Aceh. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri berdiri selama 4 abad dan dipimpin oleh 35 orang sultan dan sultanah. Namun tidak semua sultan memiliki makam, atau mungkim makam mereka hilang ditelan zaman dan ketidaktahuan. Sebut saja Sultan Salahuddin, sultan Aceh kedua yang berkuasa pada 1528-1537 Masehi. Beliau merupakan anak dari Sultan Ali Mughayat Syah, yang mana makam beliau belum ditemukan hingga saat ini. Hal tersebut menjadi salah satu contoh dari tentang bagaimana kondisi sejarah, khususnya nisan Aceh dimasa sekarang. Dari 35 sultan/sultanah yang pernah memimpin perabadan Aceh, hanya beberapa orang saja yang makam mereka dapat ditemukan. 

Pada masa kini, kondisi nisan Aceh cukup memprihatinkan. Nisan-nisan ini tersebar diberbagai penjuru negeri, dan masyarakat tidak mengetahui tentang identitas sejarah yang ada disekitar mereka. 

Salah seorang warga yang saya temui, mengakui bahwa ayahnya menyebutkan nisan Aceh merupakan sebuah batu prasasti yang berasal dari India dan terbawa arus laut hingga sampai ke Aceh, beberapa warga lainnya mengatakan bahwa batu ini berasal dari Bali yang dibawa ke Aceh pada masa lalu, bahkan ada yang mengatakan bahwa nisan Aceh adalah kuburan orang-orang Hindu India. Dari banyaknya cerita yang tersebar dimasyarakat, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang nisan Aceh sangat-sangat kurang. 

Kurangnya pengetahuan tentang hal ini, menjadikan masyarakat Aceh acuh tak acuh dalam memandang arti sebuah nisan Aceh. Hasil dari ketidaktahuan inilah yang menjadikan nisan di Aceh sebagai batu asah, pematang tanah, penahan tiang sebuah kandang ternak, bahkan pada beberapa area pemakaman dirancangkan berbagai proyek pembangunan yang akhirnya nisan-nisan ini tergusur dari tanahnya sendiri. Sangat miris jika kita melihat nisan-nisan ini melalui kacamata ilmu pengetahuan.

Upaya Menegakkan Kembali Nisan yang Tumbang     

Namun, nyatanya bukan semua rakyat Aceh adalah orang yang buta terhadap sejarah mereka sendiri. Beberapa komponen masyarakat Aceh telah ikut bahu membahu dalam menegakkan kembali nisan-nisan yang tumbang itu. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat lainnya, turut memprakarsai kegiatan konservasi dan rehabilitasi nisan-nisan ini. Sebut saja seperti Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) yang sangat aktif dalam merekonstruksi sejarah dan merehabilitasi bukti arkeologis dari masa kejayaan Aceh. 

Selain memperbaiki situs arkeologi yang rusak, LSM ini sangat vokal dalam menolak berbagai proyek yang berpotensi merusak tinggalan arkeologis sejarah Aceh, seperti penolakan proyek pembangunan lapangan golf di Bukit Lamreh yang berpotensi merusak tinggalan-tinggalan arkeologis Kerajaan Lamuri yang ada disana, serta penolakan pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Jawa dan Gampong Pande, yang dinilai akan menghancurkan dan merendahkan marwah sultan-sultan Aceh yang dimakamkan disekitar lokasi rencana pembangunan proyek tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun