Islam di Nusantara, namun semuanya sepakat bahwa Aceh adalah daerah dengan peradaban Islam yang sangat maju, yang berhasil membawa perubahan besar bagi Asia Tenggara khususnya Indonesia. Namun, itu "dulu"....
Siapa sih yang tidak kenal dengan Aceh? Ya, kita akan bercerita tentang sebuah negeri yang dimana, diatas tanahnya, lahir dan hidup orang-orang hebat, membawa perubahan dan menciptakan peradaban besar bagi Asia Tenggara. Terlepas dari berbagai teori mengenai dimana awal tibanyaBelum begitu jelas tentang kapan masuknya Islam di Aceh. Jika merujuk pada Kerajaan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, maka kita akan memilih 1292 Masehi sebagai awal masuknya Islam di Aceh. Namun bergerak sedikit ke arah barat, kita akan menemukan bahwa Kerajaan Samudra Pasai berdiri bersama Islam pada 1267 Masehi. Namun jika terus bergeser ke arah barat hingga kita kemudian akan menemukan Kerajaan Lamuri sebagai suatu kerjaan Islam pada 1007, dengan bukti sebuah nisan yang bertarikh demikian. Kerajaan Lamuri sendiri diyakini sebagai sebuah kerajaan peralihan dari masa Hindu pra-Islam pada abad 9 Masehi yang kemudian berdiri menjadi kerajaan Islam. Belum begitu jelas mengenai dimana dan siapa pemilik gelar kerajaan Islam pertama di Nusantara, karena sejarah sendiri akan terus mengalami perkembangan dan perubahan mengikuti bukti dan temuan yang terus bermunculan.
Terlepas dari siapa pemilik gelar kerajaan Islam pertama di Indonesia, semua akan kembali sepakat bahwa Aceh merupakan pusat peradaban Islam terbesar di Asia Tenggara, dan tak ada ikhtilaf mengenai hal itu. Jauh sebelum Islam tiba, Aceh telah menjadi sebuah peradaban yang hebat. Sebut saja Indra Purba, sebuah kerajaan Hindu yang pernah bertapak di Aceh pada masa pra-Islam, dengan tiga benteng terkenal mereka: Benteng Indrapatra, Benteng Indrapurwa, dan Benteng Indrapuri menunjukkan Aceh telah menjadi sebuah bangsa yang besar jauh sebelum Islam tiba. Setelah Islam tiba, Aceh justru semakin maju. Terdapat beberapa kerajaan Islam di Aceh yang memberi perubahan dan peradaban besar bagi dunia Islam di Asia Tenggara, seperti Samudra Pasai dan Aceh Darussalam. Walau sangat terbatas, namun bukti hebatnya Aceh pada masa dahulu bisa kita lihat dari bentuk-bentuk nisan yang mereka hasilkan, seperti nisan Tipe Plak Pleng (Lamuri), Tipe Samudra Pasai dan Tipe Aceh Darussalam. Beragam bentuk seni dan motif yang terpahat pada berbagai tipe nisan Aceh yang berasal dari masa lampau, membuktikan bahwa "Dulu... Aceh Itu Hebat". Ya, Aceh itu hebat, dulu.
Diantara banyak nya kerajaan Islam di Aceh, Kerajaan Aceh Darussalam menyumbang peradaban yang cukup besar bagi Islam di Asia Tenggara. Kerajaan ini dipercaya sebagai kerajaan gabungan antara Darul Kamal dengan Meukuta Alam (Lamuri), yang kemudian membentuk persekutuan besar dengan 7 kerajaan lainnya: Pedir, Daya, Lingga, Samudra, Pasai, Perlak dan Benua Raja. Kerajaan ini didirkan pada 1496 oleh Sultan Ali Mughayat Syah di Bandar Aceh Darussalam, yang sekarang disebut Banda Aceh. Kerajaan ini bertahan hingga tahun 1903 dan begitu banyak melahirkan para tokoh dan cendikiawan pada masanya. Sultan Iskandar Muda yang berkuasa pada 1607-1636 dikenal sebagai sultan yang membawa masa keemasan di Aceh, dikenal hingga seluruh penjuru negeri. Salah satu hal hebat yang dikenang oleh orang-orang Eropa tentang sultan ini bahwa beliau pemilik kapal induk Aceh dengan nama Cakra Donya, yang oleh bangsa Portugis dinamakan Espando del Mundo (Teror Dunia). Kapal ini terkenal dengan kehebatannya yang berhasil memporak-porandakan Portugis di Semenanjung Melayu dengan 100 meriam yang diangkut diatas kapal berukuran panjang 100 meter ini.
Berbicara tentang konfrontasi antara Aceh dan Portugis, kurang rasanya jika tak mengangkat nama Laksamana Malahayati yang hidup pada 1550 sampai 1615. Wanita yang menyandang gelar Laksamana Wanita Pertama di Dunia ini, selain melakukan konfrontasi dengan Portugis di perairan Selat Malaka, juga berhasil memberikan hadiah kematian bagi Cornelis de Houtman, orang Belanda yang pertama kali tiba di Nusantara. Sejatinya fakta sejarah mengatakan bahwa Aceh adalah negara berdaulat pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Belanda dari Spanyol pada 1602 dan  berhasil menjalin hubungan diplomatik, namun perang antara Aceh dan Belanda akhirnya pecah pada 1873 dalam perang yang disebut dengan Perang Aceh. Dalam perang ini juga lahirlah para pejuang Aceh yang kehebatan mereka tak kalah dari leluhurnya. Nama-nama seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan Teungku Chik Di Tiro bahkan menyandang gelar Pahlawan Nasional. Bangsa-bangsa Eropa menyebut orang Aceh tak takut mati, jiwa patriotisme mereka sangat tinggi dalam membela negara dan rela syahid membela agamanya. Hal-hal "diluar nalar" bangsa Eropa ini disebut oleh mereka dengan istilah Aceh Pungoe (Aceh Gila).
Bergeser dari cerita-cerita patriotis nasionalis leluhur kita yang selalu kita banggakan, masih ada para agamawan dan cendikiawan muslim yang membawa cahaya Islam dari Aceh ke seluruh penjuru Asia Tenggara. Hamzah Fanshuri yang hidup pada abad 16 Masehi merupakan seorang ulama sufi yang juga terkenal sebagai sastrawan Melayu terbesar, bahkan ia dijuluki Sang Pemula Puisi Indonesia karena berhail menciptakan genre syair dalam sastra Melayu. Diantara satu syair masyhur yang terkenal dari beliau adalah Syair Perahu, yang berisi tentang nasehat bagi kaum muda untuk mengingat nilai-nilai agama dalam kehidupan mereka. Bahkan ratusan tahun setelah wafatnya, beliau masih mendapat penganugrahan Bintang Budaya Parama Dharma dari Republik Indonesia pada tahun 2013. Tak hanya Hamzah Fanshuri, masih ada Syekh Abdul Rauf As-Singkili atau yang lebih dikenal dengan Syiah Kuala yang hidup pada abad 17 Masehi. Selain menjadi seorang Qadhi pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin, beliau juga orang pertama yang menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Melayu, yang menjadi cikal bakal penerjemahan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Indonesia.
Tak hanya berhenti pada dua orang tersebut, ulama-ulama besar terus lahir dari kerajaan ini. Di antara nama-nama besar seperti Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry, Teungku Chik Pantee Kulu hingga ulama-ulama yang hidup dimasa perjuangan kemerdekaan Indonesia seperti Abu Hasan Krueng Kalee. Abu Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang ulama asal Aceh Besar, tepatnya di Mukim Siem yang ikut ambil bagian dalam perpolitikan nasional Indonesia. Beliau merupakan seorang ulama pada abad 20 yang menjadi tokoh pergerakan nasional asal Aceh dan kemudian di angkat menjadi anggota Konstituante pada 9 November 1956 hingga dibubarkan atas dekret Soekarno pada 5 Juli 1959.
Begitulah sekira gambaran mengenai kehebatan orang-orang Aceh pada masa lalu. Jiwa patriotisme, nasionalisme dan religius mereka tak perlu diragukan lagi. Orang-orang Aceh memiliki peranan yang cukup besar pada masa lalu, sangking besarnya peranan mereka, bahkan hingga hari ini tetap masih bisa dibanggakan oleh anak cucu nya. Lalu, bagaimana anak cucu nya sekarang? Bagaimana kondisi Aceh beserta orang-orangnya pada masa kini?
FANATIK!!!
Mungkin itu adalah kata-kata yang secara garis besar dapat menggambarkan sifat dan watak orang Aceh pada masa sekarang. Kita telah melampaui batasan dalam mencintai masa lalu, sehingga kecintaan itu telah menjadi fanatisme. Fanatisme sendiri secara bahasa dapat diartikan sebagai kondisi dimana seseorang memiliki obsesi berlebihan terhadap sesuatu, dalam hal ini masyarakat Aceh sangat terobsesi dengan masa lalu mereka.
"Apakah salah menceritakan sejarah?", "Apakah salah mencintai sejarah?", "Apakah salah mengingat sejarah?", "Apakah salah mengabadikan sejarah?". Sebagai salah seorang mahasiswa yang berkuliah pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, tentunya secara tegas saya menjawab "Tidak ada yang salah". Sejarah dapat diartikan secara keilmuan sebagai salah satu disiplin ilmu yang mempelajari masa lalu untuk diaplikasikan pada masa depan. Terdapat empat fungsi dari sejarah: rekretatif, inspiratif, instruktif, dan edukatif. Rekreatif dapat menjadikan kisah-kisah sejarah menjadi lebih menarik untuk dibaca dan didengar. Kemudian inspiratif menjadikan kisah-kisah dan tokoh sejarah sebagai inspirasi dalam hidup. Selanjutnya ada instruktif yang dapat menjadikan sejarah sebagai tolak ukur ilmu pengetahuan. Dan terakhir ada edukatif yang dapat menjadikan sejarah sebagai nilai pembelajaran. Dari empat fungsi sejarah tersebut, tidak ada yang menyertakan bahwa sejarah dapat dijadikan sebagai sebuah kebanggan masa lalu yang dapat dibanggakan secara terus menerus hingga masa depan. Terlalu membanggakan masa lalu inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Aceh pada masa sekarang menjadi fanatik dan terperangkap pada masa lalu serta tidak memperbaiki masa depan. Kita terlalu lalai membanggakan masa lalu. Lalai dalam kalimat "Dulu... Aceh itu hebat". Lalu, bagaimana dengan kondisi masyarakat Aceh pada masa sekarang? Tentunya sangat bertolak belakang dengan kondisi Aceh pada masa lalu, masa yang selalu kita bangga-banggakan itu. Tidak perlu mencari pembenaran atau menyalahkan satu sama lain, fakta dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana kondisi Aceh sekarang. Ya, MIRIS!!!
Aceh memiliki hukum Islam dalam bentuk Qanun Aceh, dan hukum ditegakkan oleh kepolisian syari'at Aceh yang kita kenal dengan Wilayatul Hisbah (WH). Namun bagaimana hukum itu berjalan? Bukan rahasia umum bahwa Qanun hanya "garang" di Kota Banda Aceh. Razia dan patroli WH sering dilakukan disekitaran Kota Banda Aceh, namun sangat jarang dan lemah di kabupaten lainnya. Apakah mereka tidak memiliki Dinas Syari'at Islam? Keterbatasan anggaran menjadi jawaban terhadap lemahnya penegakkan Qanun di Aceh. Dari urusan pemerintahan kemudian kita akan turun ke sektor masyarakat Aceh, bagaimana kondisi sosial-agama masyarakat Aceh sekarang? Masih dari Banda Aceh, dimana konser musik dan hiburan jauh lebih digandrungi oleh kaum pemuda daripada kajian keagamaan. Bukan saatnya lagi kita membanggakan sejarah, ayo jadikan sejarah sebagai media untuk membangkitkan kembali Islam dan nilai-nilai Islam di Aceh.
Apa yang bisa kita lakukan? Sejarah Aceh tenggelam! Ya, sejarah Aceh tenggelam. Yang selalu kita ceritakan adalah masa-masa kejayaan peradaban Islam kerajaan Aceh. Namun masa-masa itu memiliki masa kemunduran, yang membuat bukti dari kisah-kisah itu terputus dan tenggelam, hingga tak sampai pada masa sekarang. Seperti, dimana sekarang kapal Cakra Donya yang megah yang selalu kita banggakan itu? Atau dimana Istana Dalam Darud Donya yang bisa menampung 2000 ekor gajah itu? Atau dimana dan bagaimana kondisi kuburan para tokoh yang selalu kita banggakan itu? Kita telah banyak kehilangan bukti sejarah, baik itu secara sengaja dihilangkan atau memang hilang ditelan zaman.
Disinilah para pemuda dapat mengambil peran dalam merekonstruksi sejarah. Para pemuda, akademisi dan peneliti dapat mengambil peran dalam mengembalikan sejarah dan nilai-nilai yang ada didalamnya. Dengan peradaban besarnya yang terdengar hingga ke penjuru negeri, tentu tinggalan dan bukti sejarah di Aceh tidaklah kecil dan sedikit. Untuk setingkat nisan kuno, kita memiliki 3 tipe yang diakui beserta dengan puluhan sub-tipe yang menyertainya. Namun dimana kini nisan-nisan itu berada? Dalam lautan lepas pantai Ujong Pancu, dalam timbunan sampah Gampong Jawa, dalam kandang ternak warga, bahkan mirisnya menjadi batu asah milik warga. Minimnya pengetahuan warga tentang hal tersebutlah yang menjadikan ketidaktahuan mereka terhadap sejarah yang ada disekitar.
Dalam hal arsitektur, Islam di Aceh sangat berasimilasi dengan kebudyaan Hindu yang sebelumnya telah ada, dan kebudayaan masyarakat Austronesia yang memang menjadi darah bagi masyarakat di Asia Tenggara. Konstruksi bangunan masjid-masjid di Aceh menjadi acuan bentuk masjid lainnya di Nusantara. Kita sering beranggapan mengapa Masjid Tuha Indrapuri memiliki bentuk yang serupa dengan masjid-masjid yang ada di Jawa? Namun jika sejarah kembali diteliti, bahwa masjid yang ada di Jawa lah yang mengikuti konstruksi masjid yang ada di Aceh. Konstruksi masjid dengan atap piramida ini telah digunakan oleh masjid-masjid kuno di Aceh selama ratusan tahun, bahkan Masjid Raya Baiturrahman pada awalnya memiliki konstruksi serupa, sebelum akhirnya dibakar dan digantikan dengan arsitektur khas India oleh Belanda. Pada masa sekarang, peranan pemuda dapat kembali mengangkat gaya arsitektur masjid khas Aceh dengan sentuhan kontemporer, yang pada masa kini masjid di Aceh kebanyakan mengikuti gaya arsitektur India dan Timur Tengah.
Terdapat beberapa organisasi masyarakat maupun LSM-LSM di Aceh yang bergerak pada bidang kepedulian terhadap sejarah, seperti Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA), Pelajar Peduli Sejarah Aceh (PELISA), Center for Information of Sumatra-Pasai Heritage (CISAH) dan lain-lain. Mereka merupakan praktisi dalam melindungi, mempelajari, merekonstruksi serta memperkenalkan sejarah kepada khalayak ramai. Mereka membuktikan bahwa kehebatan peradaban Islam di Aceh bukan hanya sebatas cerita dongeng pengantar tidur belaka, mereka memperlihatkan bukti-bukti dari kebenaran cerita tersebut. Tentang bagaimana kehebatan nenek moyang kita membangun sebuah peradaban Islam di Asia Tenggara. Satu persatu bukti kejayaan nenek moyang kita yang hilang telah kembali ditemukan. Pecahan-pecahan agung sejarah bangsa Aceh telah kembali dirangkai hingga akan membentuk kembali kejayaan dari cerita-cerita yang selalu kita perdengarkan itu.
Masih banyak daerah-daerah di Aceh yang sejarah mereka belum terjamah dan dikenal oleh banyak orang. Bangsa ini pernah besar pada masanya, nama Aceh dibesarkan oleh nenek moyang kita. Namun anak cucu nya gagal menjaga nama besar itu, bahkan warisan agung mereka hilang ditelan masa dan ketidakpedulian kita. Dengan segala keintelektualannya, tentunya kita sebagai pemuda bukan suatu hal yang sulit untuk mengkaji dan membangkitkan kembali sejarah. Warisan-warisan artefak yang ditinggalkan para leluhur kita marilah kita cari kembali, tegakkan nisan yang tumbang itu. Baca kembali kitab-kitab usang itu. Rawat kembali bangunan masjid tua itu. Berikan mereka sentuhan ilmu pengetahuan kita, kenalkan bukti-bukti itu kepada dunia. Katakan pada mereka "Inilah bukti bahwa kami, bangsa Aceh adalah bangsa yang besar, dari dulu hingga sekarang".
Masa lalu Aceh adalah milik para endatu kita, dan masa depan Aceh adalah milik kita, milik para pemuda.
(Essay ini meraih Juara 1 Â Menulis Essay Kategori Mahasiswa dalam kegiatan Dakwah Expo IV 2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H