Mohon tunggu...
M. Hasybi Rabbani
M. Hasybi Rabbani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulusan S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Merupakan seorang lulusan Prodi S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam. Selain tertarik terhadap hal yang berhubungan dengan sejarah maupun kebudayaan, saya juga terkadang menyukai hal tentang lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Dayah Darul Ihsan: Membangun Kembali Warisan Abu Hasan Krueng Kalee

17 Juli 2022   17:15 Diperbarui: 3 Juni 2023   18:49 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto udara komplek Dayah Darul Ihsan. Sumber: Instagram Dayah Darul Ihsan Abu Hasan

Terdapat begitu banyak sejarah yang ada di Provinsi Aceh, salah satunya di Kabupaten Aceh Besar. Namun sangat disayangkan, juga terdapat begitu banyak sejarah yang tidak ditulis atau dinarasikan secara fisik sehingga timbul istilah-istilah cerita rakyat karena tidak ditemukannya dokumen atau bukti tertulis mengenai suatu peristiwa sejarah tersebut. 

Budaya tulisan di masyarakat Aceh masih terbilang cukup minim, sejarah-sejarah yang berkembang dimasyarakat masih sangat tradisional dan dianggap tidak bersifat ilmiah, karena hanya dituturkan melalui lisan secara turun temurun. Hal ini lah yang menjadi anggapan bahwa perkembangan literasi di Aceh tidak sebaik di Pulau Jawa.

Penulis tergerak untuk memulai menyelidiki beberapa sejarah yang belum tercatat melalui tulisan dengan melakukan wawancara kepada beberapa tokoh yang terlibat dalam suatu peristiwa sejarah, salah satunya mengenai Dayah Darul Ihsan. 

Dayah Darul Ihsan merupakan sebuah dayah modern, hasil lanjutan dari Dayah Tradisional Abu Krueng Kalee yang sempat padam karena berbagai faktor. 

Dayah ini dibangun kembali sepeninggal beliau oleh keturunan-keturunannya setelah sempat vacum kurang lebih sekitar 40 tahun. Cukup menarik untuk membahas tentang bagaimana sejarah rekonsruksi dayah tradisional yang sempat mati puluhan tahun lalu, menjadi sebuah dayah modern dengan format yang baru.

Abu Krueng Kalee merupakan seorang ulama, tokoh serta aktivis nasional yang hidup dimasa awal kemerdekaan yang lahir pada 1873 di Gampong langge, daerah Grong-Grong, Kabupaten Pidie, pada masa Perang Aceh. 

Namun keluarga beliau merupakan penduduk asli di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Ayah beliau yang dikenal dengan sebuatn Teungku Chik Di Krueng Kalee atau Teungku Krueng Kalee Satu merupakan Qadhi 26 Mukim yang karena tuntutan situasi, terpaksa melakukan perang gerilya bersama Teungku Chik Di Tiro dan berpindah ke daerah Pidie.

Saat memasuki usia dewasa, beliau hijrah ke Yan, Kedah di Semenanjung Malaya dalam rangka menimba ilmu agama Islam dan berkeluarga disana dengan salah satu anak dari guru beliau. 

Pada saat itu, Yan merupakan daerah dengan mayoritas penduduk Aceh yang datang sebagai pedagang, pelajar maupun pekerja lainnya. Setelah belajar di Yan, beliau bersama adiknya pergi berhaji ke Kota Mekkah dan belajar selama 7 tahun lamanya. Namun adik beliau meninggal disana dan tidak kembali pulang ke Aceh.

Di Aceh, beliau mencoba mendirikan dayah di kawasan Krueng Kalee, Mukim Siem, Aceh Besar. Dayah yang dikenal dengan nama Dayah Krueng Kalee ini merupakan salah satu dayah tingkat tinggi, dimana para santri nya merupakan ulama-ulama atau pelajar yang ilmu nya sudah dirasa cukup alim. 

Kebanyakan daripada santrinya merupakan pimpinan dayah yang ada di daerah Timur maupun Pantai Barat Selatan Aceh, salah satu murid beliau yang menyatakan pernah ikut belajar disini adalah Abuya Muda Waly.

Saat pendudukan Jepang tahun 1942, kondisi di daerah Siem sudah tidak kondusif. Abu Krueng Kalee kemudian pindah ke daerah Cot Keueung bersama keluarganya dan membuka dayah baru. 

Dayah sebelumnya yang berada di Krueng Kalee beliau amanatkan untuk dikelola oleh sepupu-sepupu beliau, namun seiring berjalannya waktu, dayah tersebut semakin redup. 

Pasca kemerdekaan, beliau kembali ke Dayah Krueng Kalee, namun dayah tersebut tidak lagi hidup seperti sebelumnya. Para murid beliau telah banyak yang gugur dan juga ikut dalam Pemberontakan DI/TII bersama Abu Daud Beureueh. 

Dalam hal ini, Abu Hasan Krueng Kalee menolak akan pemberontakan DI/TII, karena merasa bahwa rakyat Aceh telah secara bersama-sama berbaiat kepada Soekarno sebagai pemimpin dan bergabung bersama Indonesia. 

Sebelumnya Abu Hasan Krueng Kalee mengusulkan agar Aceh tetap menjadi negara sendiri yang berdaulat (tidak bergabung bersama Indonesia sebagai sebuah negara), hal ini disampakan di Gedung SMA 1 Banda Aceh yang dulu juga disebut dengan Gedung Setan. 

Beliau mengajukan ide tersebut kepada PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), karena berdasarkan fakta bahwa Aceh adalah satu-satunya daerah yang belum jatuh ke tangan Belanda, memiliki wilayah, memiliki rakyat dan memiliki kesiapan dalam membentuk sebuah negara. Namun usulan ini ditolak, karena rakyat Aceh pada masa itu telah tumbuh jiwa nasionalisnya terhadap Indonesia dan mempercayai Soekarno sebagai pemimpin nasional Indonesia.

Abu Hasan Krueng Kalee merupakan salah satu tokoh asal Aceh yang terpilih sebagai anggota Konstituante. Banyak dari kalangan agamawan di Aceh yang terpilih menjadi anggota Konstituante yang berusaha merumuskan dasar konstitusi Indonesia. Namun lembaga ini dibubarkan karena dianggap gagal dalam merumuskan dasar konstitusi negara. 

Saat terjadi pemberontakan DI/TII, hampir seluruh keluarga dan kerabat Abu Hasan Krueng Kalee ikut "naik gunung" bersama Abu Daud Beureueh, disamping tidak setuju nya Abu Hasan Krueng Kalee dengan gerakan tersebut. 

Karena dirasa tingkat keamanan yang rendah mengingat lokasi Krueng Kalee yang jauh dari kota, maka pemerintah Aceh memindahkan Abu Hasan Krueng Kalee ke Kedah, daerah Peunayong di Kota Banda Aceh dengan alasan keamanan dan keselamatan Abu. Beliau tetap mengajar disana hingga akhir hayatnya.

Sementara itu, Dayah Krueng Kalee mengalami ke-vacum-an sepeninggal beliau ke Kedah. Kekosongan itu terus berlanjut sekitar 40 tahunan. Banyak dari para peziarah yang mengunjungi dayah tersebut dalam rangka ziarah atau sekedar mengirim doa ke Abu Hasan Krueng Kalee, mengeluhkan kondisi dayah tersebut. 

Pada masa itu kondisi dayah menjadi tempat para masyarakat bertani atau menggembala hewan ternaknya. Pihak keluarga dan zuriyat Abu Hasan Krueng Kalee acap kali menerima teguran bahkan amarah dari para peziarah. Keluarga dinilai sangat tidak menghargai orang yang terbaring didalam tanah tersebut.

Beberapa kali pihak keluarga mencoba kembali menghidupkan dayah tersebut, namun gagal. Terakhir pada 31 Mei 1999, pihak keluarga mencoba mendirikan dayah tersebut dibawah naungan Yayasan Darul Ihsan. Adalah cucu beliau, Bapak Waishul Qarany Aly bersama dengan para sepupunya, Ustadz Mutiara Fahmi, Ustadz Muhammad Faishal, H. Musannif dan juga salah seorang anak Abu Hasan Krueng Kalee, Teungku Razali Hasan berhasil mendirikan Dayah Darul Ihsan dibekas tanah Dayah Krueng Kalee.

Pada awalnya, pihak yayasan mencoba merekrut anak yatim maupun anak kurang mampu sejumlah 49 orang. Mereka dibiayai penuh oleh pihak yayasan, bersekolah formal di SMP Lambaro Angan dan mengaji malamnya di komplek dayah. Namun dari sekian banyak yang direkrut, hanya beberapa orang saja yang berhasil mencapai tingkat kelas 3 SMA dan melanjutkan studi di Al-Azhar Mesir.

Darul Ihsan sendiri menyimpan banyak kitab-kitab peninggalan Abu Hasan Krueng Kalee, kebanyakaan merupakan kitab yang beliau gunakan dalam menimba ilmu sewaktu di Mekkah. 

Pada awalnya kitab-kitab ini berceceran dan rusak karena sering dipindah-pindahkan. Namun beberapa tahun belakang Dayah Darul Ihsan mempunyai tenaga pengajar berkebangsaan Mesir bernama Syeh Muadz. Beliau memulai untuk mengidentifikasi, preservasi, konservasi serta merestorasi naskah dan kitab-kitab milik Abu Hasan Krueng Kalee selama 3 tahun lamanya. 

Beliau berpendapat bahwa kitab-kitab tersebut memang benar dipelajari secara serius, melihat banyak nya catatan tangan yang terdapat didalam kitab tersebut, dan juga hanya segelintir orang yang benar-benar serius yang berani menginvestasikan uangnya dalam membeli kitab-kitab tersebut pada masa itu. Kitab-kitab tersebut saat ini di simpan di kediaman Ustadz Muhammad Faishal di komplek Dayah Darul Ihsan.

Pada masa konflik GAM-RI, kawasan Mukim Siem dikatakan sebagai tempat yang rawan. Namun pihak yayasan sendiri selalu menghindari pertikaian diantaar dua kubu ini. Mereka berpendapat bahwa lebih baik menghindari hal seperti ini ketimbang menjadi pahlawan kesiangan. 

Beberapa kali komplek dayah ini menjadi medan adu tembak antara GAM dan RI, namun karena konsisten akan posisi netralnya, Darul Ihsan tetap masih bisa bertahan hingga saat ini. Hal ini juga yang dilakukan oleh Abu Hasan Krueng Kalee sebelumnya, menghindari pertikaian antara DI/TII dengan pihak Indonesia dan tidak ingin ikut campur didalamnya. 

Hingga saat ini Dayah Darul Ihsan sering dipercaya oleh aparat keamanan negara, bahkan pada beberapa bulan kemarin dayah ini menjadi agenda kunjungan Kasad TNI, Bapak Dudung Abdurrahman dalam lawatannya ke Aceh.

Untuk sekedar diketahui, Mukim Siem tempat berdirinya Dayah Darul Ihsan terdapat banyak artefak berupa batu nisan kuno. Dari hasil wawancara kami dengan informan dijelaskan bahwa kawasan tersebut sejak dari dahulu merupakan pusat kegiatan pengkajian Islam di Aceh, khsusunya Aceh Besar. 

Dikatakan bahwa leluhur dari Abu Hasan Krueng Kalee merupakan para tokoh-tokoh agamawan terkemukan, hal ini diperkuat dengan bukti adanya makam-makam kuno ulama-ulama besar, sebut saja terdapat makam Teungku Chik Di Krueng Kalee dan Teungku Glee Iniem di Mukim Siem ini. 

Batu nisan ini dapat ditemukan berceceran di tepi jalan dan jumlahnya dapat mencapai puluhan. Namun sangat disayangkan, kebanyakan nisan di wilayah ini dibiarkan terbengkalai begitu saja, tanpa ada perawatan ataupun pengumpulan. Oleh karenannya kami berharap Mukim Siem ini dapat menjadi pusat studi dan kajian arkeologi guna mengungkap sejarah di Aceh lebih dalam.

(Tulisan ini hasil dari wawancara bersama Bapak H. Musannif, SE selaku ketua Yayasan Darul Ihsan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun