Mohon tunggu...
Muhammad Raihan Dani Priatama
Muhammad Raihan Dani Priatama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kemarin Aku pintar, Aku ingin mengubah dunia. Sekarang Aku bijaksana, Aku ingin mengubah diriku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandemi dan Perjuangan Perlindungan Perempuan

12 Oktober 2022   22:23 Diperbarui: 12 Oktober 2022   22:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Merebaknya Virus SARS-ncov-19 atau Covid 19 di Wuhan, RRC pada awal 2020 silam rupanya menjadi pemicu terjadinya Pandemi Global. Indonesia sendiri tidak luput dari penyebaran Covid 19 tersebut, akibatnya pemerintah pusat menetapkan status Bencana non- alam mulai bulan Maret 2020. 

Meski demikian, pemerintah dinilai kurang tanggap dan cenderung menyepelekan wabah tersebut pada masa awal penyebaran beberapa bulan yang lalu. Bahkan, pada kondisi tersebut sekelas eksekutif pusat saja masih menganggap pandemi ini sebagai lelucon disaat negara- negara lain tengah berpikir mempersiapkan pencegahan dan penangannya.

Sangat disayangkan, terjadinya wabah turut menjadi alasan penghentian sementara advokasi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Rancangan Perundangan tersebut dirasa perlu sebagai dasar hukum untuk mem- prevent banyaknya korban jatuh akibat kekerasan seksual di Indonesia. 

Dilansir dari Katadata.co.id, hal tersebut juga bisa mengakomodir penegak hukum atau pihak berwenang untuk menindak pelaku kekerasan dan memastikan bahwa korban tidak akan menjadi pelaku selanjutnya di kemudian hari. 

Kemudian, dengan adanya payung hukum ini diharapkan narasi publik lebih menyorot ke pelaku, dan bukan ke korban atau victim blaming. Perjuangan dan pembelaan dari kaum perempuan yang sadar akan kesetaraan gender dan hak- hak mereka untuk menjadikan RUU PKS tersebut sebagai awal payung hukum yang kokoh masih kerap mendapatkan hambatan politis di parlemen pusat. 

Pasalnya, beberapa fraksi parpol yang "berjubah" religius- kanan tidak sepakat akan hal ini dengan narasi mereka yang meyakinkan bahwa agama dan tradisi tidak membenarkan adanya produk hukum semacam ini. 

Mereka beralasan kalau produk hukum tersebut berpeluang melegalkan pernikahan sesama jenis yang disetujui oleh negara. Padahal, tidak ada satupun kertas dalam undang- undang tersebut yang berisikan hal yang itu.

Kondisi seperti ini diperparah lagi oleh masyarakat luas dan media yang focus kepada persoalan pandemi Covid-19, sehingga pembahasan, dan kajian tentang RUU PKS jadi buyar dan tenggelam. Maka dari itu, kaum perempuan harus tetap menggaungkan permasalahan ini, sehingga advokasi masih dapat terus berlanjut pasca- berakhirnya wabah.          

Pandemi Covid-19 sangat terasa dampaknya bagi para pekerja perempuan, dari rasa kekhawatiran di tempat kerja, hingga berujung pemutusan hubungan kerja massal. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa jikalau respon pemerintah dalam menghadapi virus ini, utamanya pengawasan dan pembatasan lalulintas keimigrasian  sudah tepat dan cepat, maka seharusnya efek Pandemi dari luar negeri tersebut tidak akan banyak memberatkan para pekerja perempuan yang dilematis dengan pilihan hidupnya. 

Terkhusus bagi mereka yang menjadi tulang punggung keluarga dan berkewajiban menafkahi anak- anak nya, saat ini sebagian dari mereka yang masih dapat bekerja tidak punya pilihan lain, yaitu bekerja di tempat mereka bekerja dengan resiko tertular wabah, atau berdiam di rumah dengan kelaparan. 

Bukan hanya itu, pekerja perempuan yang merupakan karyawan pusat perbelanjaan, marketing, dan sector komersil pun dengan terpaksa harus rela menghadapi PHK, yang mana hal ini membuat pemenuhan kebutuhan hidup mereka semakin tidak terjamin. 

Belum lagi kaum perempuan yang berprofesi melalui kontak fisik, seperti pengemudi transportasi daring dan pekerja medis--- menjadikan mereka sangat rentan. Realitas tersebut mengisyaratkan absennya otoritas pemerintahan. 

Menurut World Health Organisation (WHO), perempuan menempati sekitar 70 % dari jumlah pekerja di sektor kesehatan secara global. Dengan demikian, mereka ada di garis depan yang berhadapan langsung dengan para pasien, mulai dari meja administrasi hingga ke pemeriksaan medis. Celakanya, banyak pasien positif Covid 19 yang berbohong mengenai riwayat penyakitnya yang kemudian menularkannya pada mereka.  

Semenjak outbreak Virus Covid 19 di Indonesia, pemerintah menyerukan untuk bekerja dari rumah atau WFH bagi pekerja yang memungkinkan untuk melakukannya. Tak jarang instruksi work from home ini menimbulkan dampak negative, yang utamanya berakar dari kejenuhan ataupun kebosanan karena terus- menerus menatap layar dirumah.

Kondisi tersebut dinilai merugikan kaum perempuan yang berperan sebagai isteri maupun ibu dalam rumah tangga. Dilansir dari Tagar.id, perempuan cenderung menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disebabkan oleh kejenuhan yang memicu meluapnya emosi laki- laki, hingga mereka melampiaskannya kepada Isteri dan anak mereka dirumah. 

Selain itu, menurut Voxpop.id , kaum perempuan beresiko mendapat mudharat berupa kehamilan ditengah situasi wabah dari pasangannya. "Mereka yang sehat menghabiskan waktu dengan berhubungan intim, lalu hamil ditengah pandemi yang belum jelas kapan akan berakhir" dikutip dari sumber tersebut. 

Hal ini disinyalir disebabkan masih minimnya edukasi tentang penggunaan alat kontrasepsi di masyarakat. Namun, dibalik kerugian yang timbul akibat wabah Covid terhadap kaum perempuan, ternyata ada setidaknya secercah hikmah positif juga.

Secara tidak langsung, situasi WFH yang dilakukan masyarakat telah memperkecil gap peran urusan domestik antara perempuan- laki-laki, sebab dengan berdiamnya pasangan laki- laki mereka di rumah menjadikan nya sedikit banyak peduli akan urusan rumah.

Hal tersebut mengimplikasi kan melunaknya budaya patriarkis dengan kaum adam yang lebih peduli akan hal ini. Saat pandemi berakhir, akan banyak laki-laki yang lebih care akan urusan kerumah tanggaan, sehingga lebih bisa memahami pasangan perempuannya.

Pembelaan terhadap hak- hak perempuan sejatinya masih sangat perlu dilakukan dengan gencar, mengingat kesetaraan gender dalam hal Pendidikan, pekerjaan, hingga partisipasi di parlemen nyata nya secara data empiris masih jauh dari kata tercapai. 

Bahkan, menurut Kalis Mardiasih, seorang aktivis gender equality, kekerasan terhadap perempuan umumnya terjadi di lingkungan rumah. Beliau berdasar pada data Fakta catatan tahunan Komnas perempuan tahun 2020, yang menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 14.000 kasus kekerasan terhadap perempuan pada ranah personal, komunitas dan negara.

Persentase buta huruf pada perempuan dibanding laki- laki juga lebih tinggi dengan angka 4,39%, dimana pada laki- laki lebih rendah sebesar 2,92%. Fakta- fakta tersebut semakin menegaskan masih dibutuhkannya perjuangan kaum perempuan.

referensi: 

https://www.tagar.id/kaum-perempuan-justru-jadi-korban-pandemi-covid19

https://www.google.com/amp/s/katadata.co.id/amp/berita/2019/09/25/gagal-paham-ruu-pks-dianggap-pro-lgbt-dan-melenceng-dari-agama

https://voxpop.id/di-rumah-aja-saat-pandemi-bukan-berarti-kami-dihamili/

https://instagram.com/indonesiafeminis?igshid=i6dyvzrnqbey

Author: 

Muhammad Raihan Dani P, 

Dr Yusa Djuyandi S.IP., M.Si

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun