Ungkapan "Islam liberal" mungkin tampak kontradiktif jika dilihat dari segi terminologinya. Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik.Â
Dalam kajian sejarah , memang terdapat perbedaan di kalangan umat Islam. Di antara variasi pemahaman tersebut, terdapat adanya tradisi yang diungkapkan secara runtut dan sejajar dengan liberalisme dunia Barat.Â
Para penerjemah tradisi ini mengungkapkan ketidakpuasannya, karena posisinya umumnya "masih diabaikan " oleh orang Barat dan media massa yang lebih tertarik untuk membuat wacana ekstremis-fundamentalis menjadi sensasional.
Pokok bahasan tradisi yang diabaikan ini diketahui kontroversial. Karena membahas pemikiran ide-ide Islam paling liberal di dunia Islam saat ini. Selain itu sering dikonotasikan bagi orang Barat, sekuler yang dipengaruhi orientalisme.Â
Charles Kurzman, dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, enam gagasan yang dapat dijadikan poin untuk menentukan apakah pemikiran Islam dapat disebut "liberal", yaitu: . menentang teokrasi, yaitu paham-paham yang menginginkan negara Islam; mendukung gagasan demokrasi; membela hak-hak perempuan; membela hak-hak non-Muslim; membela kebebasan berpikir; membela gagasan kemajuan.Â
Menurut Kurzman, siapapun yang membela salah satu dari enam gagasan di atas adalah Islam liberal.
Sebenarnya, pemikiran Islam liberal berakar pada masa keemasan Islam. Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh para Mu'tazilah dan para filosof seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dll, selalu dianggap sebagai pionir dalam perkembangan budaya modern Hari ini.Â
Pemikiran Islam Liberal yang saat ini sangat menekankan pada penafsiran baru terhadap ajaran Islam, mempunyai silsilah pemikiran yang bermula jauh ke belakang, yaitu pada masa Taymiyah yang dihadapkan pada permasalahan tentang Islam.Â
adanya sistem pemerintahan yaitu khilafah ideal -- pada masanya sudah tidak ada lagi -- dan pemerintahan "sekuler" yang dipimpin oleh sultan Mamluk, yang mana Ibnu taimiyah juga menjadi pemimpinnya. Ia juga dihadapkan pada keberadaan dua sistem hukum, yaitu Syariah dan hukum yang diterapkan oleh pemerintahan Mamluk.
Menghadapi permasalahan ini, Ibnu Taimiyah melakukan kajian mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi yang dihadapinya. Beliau menyarankan jalan tengah", yaitu sikap moderat.Â
Oleh karena itu, perlu dilakukan ijtihad terhadap perubahan situasi. Ijma' hanya ada dan terjadi pada zaman - karena kesetiaan mereka terhadap apa yang dan dilakukannya -, namun tidak berlaku lagi bagi para ahli hukum lanjutannya. Usaha Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh Ibnu Khaldun. Dialah yang merupakan pelopor Islam.Â
Berdasarkan praktik politik dari studi historiografinya, Ibnu Khaldun -- dalam sebagai seorang musafir dan abdi kerajaan Islam yang saat itu terpecah -- percaya sepenuhnya pada kebijakan Ibnu Taymiyah, terutama mengenai pentingnya kesejahteraan umum dan hukum ketuhanan guna menjaga stabilitas dan kesejahteraan negara, yang kemudian ia kembangkan dengan teori "solidaritas" dan etika kekuasaan.
 Sejak Ibnu Khaldun, pemikiran Islam dalam bidang politik mendapat tempat dalam refleksi global dan perubahan sosial.
Sangat menarik untuk memperhatikan gagasan-gagasan pokok kaum modernis-liberal ini, yang akan lebih dikritik keras oleh kaum fundamentalis Islam , terutama yang ditulis oleh Nader Saiedi dalam bukunya.Â
pandangan mengenai : Pertama, perlunya filsafat dialektis; kedua, keyakinan adanya aspek historisisme dalam masyarakat beragama; ketiga, pentingnya untuk terus membuka kembali pintu-pintu ijtihad yang sebelumnya tertutup atau yang secara efektif ditutup oleh fatwa-fatwa ulama; keempat, penggunaan argumentasi rasional yang mendukung keimanan; kelima, perlunya reformasi pendidikan; dan keenam, memiliki simpati dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan dan non-Muslim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H