Pemilu semakin dekat, segenap persiapan di maksimalkan guna menampung aspirasi dan suara rakyat. Sedihnya, akhir-akhir ini kasus korupsi kian menjadi-jadi. Mulai dari partai koalisi, maupun kementerian bersifat institusi.Â
Bukan suasana tenang dan gembira yang ingin mereka wujudkan, namun suasana ricuh demi mendapatkan kursi jabatan dengan 'suap-suapan'. Sebelum masuk pada data korupsi dalam Negara, mari kita renungkan sejenak makhluk apa sih korupsi itu?
Korupsi berasal dari bahasa latin 'corruptio' atau 'corruptus'. Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat di suap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Dalam beberapa pengertian lain, korup didefinisikan sebagai sifat buruk, yang suka menerima uang suap atau sogokan, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
Sedangkan korupsi, artinya perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Dan koruptor, adalah orang yang melakukan korupsi tersebut. Dengan demikian arti korupsi adalah sesuatu yang buruk, jahat, dan merusak.
Dari kenyataan tersebut, perbuatan korupsi selalu menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat atau keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik, dan penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatan.
Adapun bentuk-bentuk korupsi dalam Buku Saku yang dikeluarkan oleh KPK antara lain:
Kerugian uang Negara
Suap menyuap
Penggelapan dalam jabatan
Pemerasan
Perbuatan curang
Benturan kepentingan dalam pengadaan
Gratifikasi
Menurut Erry Riyana Hardjapamekas ada beberapa faktor penyebab korupsi, yaitu :
Lemahnya keimanan
Kurang keteladanan dan kepemimpinan dalam elite bangsa
Rendahnya gaji PNS
Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan
Rendahnya integritas dan profesionalisme
Mekanisme pengawasan internal di semua perbankan, keuangan dan birokrasi belum mapan
Kondisi lingkungan bekerja
Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan banyaknya kasus korupsi. Pemantauan tersebut ditinjau dari kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai tahun 2004 sampai 2018.
Mereka menilai hingga tahun 2018, angka kasus korupsi masih terbilang tinggi di Indonesia. Maraknya korupsi ini tidak hanya terjadi di era pemerintahan sekarang, namun juga di era pemerintahan sebelumnya.
"Kami, ICW, belum puas dengan kondisi sekarang ini. ada beberapa indikator, tren pemberantasan korupsi, tren vonis, dan lain-lain. Kalau dilihat dari trennya, jumlah kasus korupsi tetap tinggi." tutur Koordinator ICW, Ade Irawan dalam diskusi 'Menakar Komitmen Anti Korupsi di Era Presiden Joko Widodo' di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (17/9/2018).
Berdasarkan catatan ICW, selama 2017 ada sekitar 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliyun dan kasus suap senilai Rp 211 miliar, serta jumlah tersangka mencapai 1278 orang. ICW menyebut, naiknya tren korupsi dimulai dari tahun 2016, dan semakin parah dari tahun ke tahun. (Tribunnews,2018)
ICW juga mencatat wilayah yang paling banyak menyumbang kepala daerah korup adalah Jawa Timur. Peniliti ICW, Egi Primayoga menyebut, dalam kurun 14 tahun terakhir, ada sekitar 104 kasus kepala daerah yang korupsi.
"Jumlah paling tinggi terjadi pada tahun 2018 dengan 29 kasus (kepala daerah), disusul tahun 2014 dengan 14 kasus yang ditangani." Sebutnya di kantor ICW, Jakarta Selatan. (Merdeka,2018)
Kasus-kasus yang terjadi tersebut masih menyimpan sebuah pertanyaan seakan menjadi teka-teki yang tak terselesaikan, dan merupakan salah satu tugas besar untuk pemimpin yang akan terpilih berikutnya.
Lemahnya hukuman sanksi dan keteladanan dalam Negara
Jika diperhatikan, akan didapati bahwa kasus korupsi selalu blow up dan sedikit sekali angka tersebut turun. Lalu pertanyaannya, apakah korupsi ini hobi atau sudah menjadi tradisi di Institusi kenegaraan? Apa yang salah dalam Negara kita?
Dilihat dari segi hukuman sanksi yang dijatuhkan kepada para tersangka korupsi, masih tidak efisien untuk mewujudkan sebuah hukuman yang menimbulkan efek jera kepada pelaku maupun masyarakat.Â
Hukuman tersebut hanya dijadikan sebagai refuse sementara, tidak menyelesaikan persoalan dan akhirnya akan kembali terjadi. Faktanya, berapa banyak pidana korupsi yang sekarang men-calonkan diri menjadi legislatif lagi? Kalo bahasa gaulnya, you don't say lah ya. Haha.
Bagaimana dengan elite pemerintahannya? Ternyata tidak jauh beda dengan sistem sanksinya. Pihak penguasa tidak memberikan teladan yang baik kepada rakyatnya. Berapa banyak kasus korupsi yang dilakukan pemerintah namun terbungkam begitu saja. Seakan memberikan peringatan bagi siapa saja yang mengusik urusan pemerintah pasti tergilas.Â
Wah, inilah kengerian yang akan dialami siapa saja yang berani mengkritik penguasa. Sudah banyak sekali contoh yang terjadi di negeri ini. Kali ke-berapa negara ini mengganti ketua KPK dan hilangnya kabar ketua sebelumnya. Inilah fakta yang terjadi, hukum dan sanksi boleh jadi sangat tajam kebawah, namun sangat tumpul bahkan tak bisa melukai sedikitpun pihak yang diatas.
Fenomena menyakitkan ini tak akan pernah tersudahi, jika sistem sanksi tidak memberikan efek jera kepada seluruh bagian masyarakat. Karena para 'tikus-tikus berdasi' itu tidak ngeri dengan hukuman yang menimpanya.Â
Bayangkan saja, sudah menghabiskan gudang penyimpanan makanan, bukannya di hukum, malah di isolasi dalam ruangan full fasilitas. Dan pada waktunya mereka dibiarkan berkeliaran lagi ke lading-ladang yang ditanam oleh warga.
Solusi Konkrit
Masalah korupsi ini tak ubahnya seperti rumput yang selalu tumbuh diladang padi. Tak akan pernah selesai sebelum dicabut sampai ke akar-akarnya, meskipun sudah menggunakan pisau tajam otomatis sekalipun, rumput itu akan selalu tumbuh.
Maka solusi yang paling konkrit dan efektif adalah dengan menyelesaikan masalah dasar dari adanya korupsi ini. yaitu sistem politik dan sistem hukum sanksi yang mendorong para pelaku kejahatan untuk senantiasa melakukan rencananya.
Adanya kebebasan kepemilikan, kebebasan berfikir, dan kebebasan-kebebasan lainnya yang memicu adanya kesewenangan jabatan ditambah dengan lemahnya sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku adalah salah satu masalah dasar yang kudu bin harus diselesaikan terlebih dahulu.
Penanaman pemikiran yang baik juga perlu untuk dilakukan guna mengubah mindset masyarakat dalam mendapatkan harta. Standar yang digunakan harus berasaskan halal dan haram, bukan untung dan rugi. Kebanyakan dari kasus korupsi juga disebabkan oleh ketidaksabaran dalam mendapatkan uang.
Demikian pula pada sistem sanksi dalam Negara, juga perlu dipertegas. Tidak boleh ada sistem tebang pilih dalam menjatuhkan hukuman juga perlu direalisasikan. Atau bisa dikatakan mewujudkan hukuman yang berfungsi sebagai pencegah dan penindak. Yang akan memberikan sanksi berefek jera.
Terakhir adalah, keteladanan yang musti diberikan pemimpin kepada para rakyatnya. Karena masyarakat selalu cenderung mengikuti seseorang yang ditokohkan  di dalamnya. Gerakan dari penyadaran masyarakat dan nasehat menasehati antar pemimpin dan yang dipimpin-pun harus di sebarluaskan. Tanpa adanya kepentingan individual, namun kepentingan bersama tuk masa depan dan kesejahteraan.
Itulah kira-kira solusi yang dapat disimpulkan dari beberapa peneliti yang telah merumuskan solusi atas masalah besar ini. yang selama solusi tersebut tidak dijalankan, maka selamanya pula masalah ini akan terus terjadi. Bukan hanya sekedar hobi, bahkan mengakar menjadi sebuah tradisi, yang didukung oleh sistem yang memfasilitasi.
Wallahu A'lamu bish-Showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H