Mohon tunggu...
Muhammad Ainun Najib Surahman
Muhammad Ainun Najib Surahman Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara dan konsultan hukum

Saya merupakan seorang profesional Pengacara dan konsultan hukum pada Firma Hukum Anas Yusuf & Partners. Saat ini saya sedang tertarik dengan kegiatan menulis, semoga dengan tulisan yang saya tulis dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kompleksitas PILKADA Serentak 545 Daerah

11 Mei 2024   23:48 Diperbarui: 11 Mei 2024   23:48 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara serentak untuk menyinkronkan pembangunan nasional dan daerah. Pergelaran pilkada yang telah dilaksanakan selama ini dianggap tidak cukup mampu untuk mengakselerasi potensi setiap daerah dikarenakan bertabrakan dengan kepentingan nasional atau minimal tidak sejalan.

Persoalan ini menjadi krusial dikarenakan kompleksitas permasalahan yang ada mulai dari jumlah daerah penyelenggara, hingga kesiapan pemerintahan pusat yang baru dilantik pada oktober 2024. Jauh dari pada itu, sengkarut sistem pemilu mulai dari profesionalisme penyelenggara pemilu hingga penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi yang sampai hari ini masih menyisakan pelbagai problema.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan di 545 daerah yang terbagi dalam 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pilkada serentak ini merupakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terbesar sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Tak ayal, kompleksitas dan tantangan yang akan dihadapi akan menyita waktu dan tenaga, khususnya bagi penyelenggara pemilihan umum.

Hanya menyisakan waktu kurang lebih 6 (enam) bulan pilkada serentak harus segera dilaksanakan. Penulis akan mengungkap beberapa persoalan yang harus disikapi secara tegas. Pertama, pergantian kepemimpinan nasional kepada Presiden terpilih hasil pemilu 2024 tidak bisa dipandang sebelah mata. Persoalannya, apakah presiden yang baru memimpin selama satu bulan (sejak oktober 2024) mampu beradaptasi guna mencegah potensi huru-hara saat pilkada dilangsungkan.

Kepemimpinan nasional menjadi faktor terpenting untuk menjawab tantangan pilkada serentak 2024 pada 545 daerah di seluruh Indonesia. Fitur daerah yang beragam mengharuskan penyelesaian konflik disetiap wilayah dilakukan secara berbeda-beda dan tak bisa diseragamkan. Penyeragaman konflik mengakibatkan keadilan pilkada tidak dapat tercapai pada setiap daerah bilamana kepemimpinan nasional masih menggunakan cara pandang homogenitas.

Penyelesaian konflik pilkada secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak bisa diandalkan sepenuhnya dikarenakan penyelesaian itu hanyalah muara dari tahapan penyelesaian konflik. Ruang hukum yang dijadikan instrumen perselisihan pilkada oleh negara, sejauh ini hanya mampu mengentas permasalahan secara parsial. Padahal pilkada serentak memiliki segudang problem yang tidak hanya menuntut ruang hukum sebagai ruang penyelesaian melainkan ruang lain seperti sosial, budaya, politik harus dimaksimalkan sedemikian rupa, salah satunya lewat kepemimpinan nasional.

Persoalan kepemimpinan nasional ini harus dilihat sebagai conditio sine qua non bahwa pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada November 2024 membutuhkan sosok figur nasional yang mampu melihat persoalan secara makro. Cara pandang makroskopis itu memungkinkan seorang pemimpin berfikir visioner tanpa dipengaruhi kepentingan komunal apalagi patrimonial. Kepentingan yang dilihatnya hanya semata-mata untuk menghadirkan penyelenggaraan pilkada yang jujur dan adil.

Belajar dari pengalaman pemilu serentak 2024 dimana kepemimpinan nasional justru mengintervensi penyelenggaraan pemilu, sehingga menyebabkan terjadinya praktik demokrasi tanpa nilai (anomi). Praktik seperti itu bukanlah kelaziman dalam negara yang demokrasinya sudah maju. Rakyat melihat bahwa proses pemilu 2024 berlangsung dengan ketiadaan etika dan hukum yang dipermainkan.

Proses semacam itu dikecam oleh banyak orang karena menjauhkan harapan akan kontestasi demokrasi yang bersukma keadilan dan kejujuran. Contoh buruk semacam itu harusnya disiasati oleh pemimpin nasional yang baru terpilih melalui komitmen perihal tegaknya pilkada serentak 2024 berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Pola semacam perilaku mengintervensi penyelenggara pemilu, kepemihakan terhadap salah satu calon kepala daerah, mobilisasi perangkat negara, politik dinasti tidak boleh lagi terjadi pada pilkada yang akan berlangsung.

Apabila langgam semacam itu masih dipertontonkan oleh Pemerintah maka jangan berharap demokrasi akan bertumbuh. Demokrasi mensyaratkan jalannya kontestasi secara adil tanpa pengecualian. Pilkada sebagai sarana kedaulatan rakyat harus dilaksanakan secara bermartabat lewat perilaku seorang pemipin yang menjamin tegaknya supremasi demokrasi (supremacy of democracy).

Persoalan kedua, komitmen kepala daerah terpilih untuk menyingkronkan visi dan misinya dengan prospek pembangunan nasional. Program kerja kepala daerah terpilih harus selaras dengan program nasional baik rencana jangka panjang (25 tahun), rencana jangka menengah (5 tahun), maupun rencana jangka pendek (1 tahun atau kurang). Logika ini mengikuti cara berfikir dari tujuan diselenggarakannya pilkada serentak secara nasional yang tertuang dalam Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada.

Melihat sepak terjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, tampaknya penyelarasan visi dan misi itu menjadi tantangan tersendiri. Faktor dominan yang melatarbelakangi praktik korupsi kepala daerah ialah melayani pesanan politik dari penyokong dana kampanye ketika proses pilkada berjalan. Fakta ini tidak bisa dimungkiri bahwa politik dagang sapi antara penguasa dan pengusaha didaerah terjadi sejak pilkada secara langsung dilaksanakan.

Bayangkan, bagaimana kesulitan kepala daerah memutuskan kebijakannya secara imparsial dengan beban "balas budi" terhadap pengusaha yang memberinya suntikan dana untuk memenangi kontestasi pilkada. Fenomena itu layaknya lingkaran setan yang terus terulang saat pesta demokrasi berlangsung. Mahalnya biaya politik menyebabkan kontestan pilkada terjerumus dalam teori politik uang (money politic). Lantas, jaminan seperti apa yang membuat rakyat percaya bahwa proses pembuatan kebijakan betul-betul didasari atas dalil sinkronisasi pembangunan nasional tanpa intervensi peyokong dana saat kampanye berlangsung.

Politik berbiaya mahal yang menyandarkan uang sebagai amunisi utama untuk memenangkan pertarungan pilkada terbukti mampu menyandera kepala daerah dalam situasi dilematis, memenuhi kepentingan rakyat atau kepentingan cukong yang membiayainya. Persoalan ini adalah persoalan laten yang tak kunjung diselesaikan yang pada akhirnya menempatkan proses pilkada hanya sebatas formalitas untuk mengganti orang yang akan menduduki kursi kepala daerah, bukan suatu proses demokrasi substansial dimana kepentingan rakyat menjadi tujuan utama.

Dua persoalan ini merupakan hal krusial yang harus dipecahkan oleh Pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun partai politik. Kuasa partai politik sangat menentukan arah perjalanan sebuah bangsa melalui segenap piranti serta otoritas yang dimilikinya. Partai politik pula yang menentukan siapa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mereka usung sekaligus lewat cara seperti apa pertarungan pilkada akan dilaksanakan. Apakah politik uang atau politik yang menawarkan ide dan gagasan kepada rakyat.

Berdasarkan khazanah awal demokrasi kuno, Plato pernah membayangkan bagaimana demokrasi seharusnya bekerja. Ia menyebut bahwa demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tetapi demokrasi merupakan sistem yang paling sempurna diantara sistem yang lain. Demokrasi hanya dapat terselenggara melalui sosok pemimpin yang berfikir (king philosopher). Oleh karena itu, hanya kaum aristokrat yang mampu berfikir pada waktu itu.

Lewat pikiran Plato, setidaknya kita diberikan gambaran tentang bagaimana demokrasi itu seharusnya diasuh dan diolah. Pilkada sebagai sebuah sistem demokrasi yang memosisikan rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, maka seharusnya partai politik memberikan porsi kepada rakyat seutuhnya guna menentukan calon kepala daerah lewat ide dan gagasannya, bukan seberapa banyak lembaran uang yang tersedia dalam amplop untuk dibagikan kepada rakyat. Praktik seperti itu yang kerap dijumpai saat pilkada berlangsung, sejatinya praktik yang merendahkan rakyat dimana rakyat hanya dihargai dengan lembaran rupiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun