Mohon tunggu...
Muhammad Ainun Najib Surahman
Muhammad Ainun Najib Surahman Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara dan konsultan hukum

Saya merupakan seorang profesional Pengacara dan konsultan hukum pada Firma Hukum Anas Yusuf & Partners. Saat ini saya sedang tertarik dengan kegiatan menulis, semoga dengan tulisan yang saya tulis dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kompleksitas PILKADA Serentak 545 Daerah

11 Mei 2024   23:48 Diperbarui: 11 Mei 2024   23:48 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melihat sepak terjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, tampaknya penyelarasan visi dan misi itu menjadi tantangan tersendiri. Faktor dominan yang melatarbelakangi praktik korupsi kepala daerah ialah melayani pesanan politik dari penyokong dana kampanye ketika proses pilkada berjalan. Fakta ini tidak bisa dimungkiri bahwa politik dagang sapi antara penguasa dan pengusaha didaerah terjadi sejak pilkada secara langsung dilaksanakan.

Bayangkan, bagaimana kesulitan kepala daerah memutuskan kebijakannya secara imparsial dengan beban "balas budi" terhadap pengusaha yang memberinya suntikan dana untuk memenangi kontestasi pilkada. Fenomena itu layaknya lingkaran setan yang terus terulang saat pesta demokrasi berlangsung. Mahalnya biaya politik menyebabkan kontestan pilkada terjerumus dalam teori politik uang (money politic). Lantas, jaminan seperti apa yang membuat rakyat percaya bahwa proses pembuatan kebijakan betul-betul didasari atas dalil sinkronisasi pembangunan nasional tanpa intervensi peyokong dana saat kampanye berlangsung.

Politik berbiaya mahal yang menyandarkan uang sebagai amunisi utama untuk memenangkan pertarungan pilkada terbukti mampu menyandera kepala daerah dalam situasi dilematis, memenuhi kepentingan rakyat atau kepentingan cukong yang membiayainya. Persoalan ini adalah persoalan laten yang tak kunjung diselesaikan yang pada akhirnya menempatkan proses pilkada hanya sebatas formalitas untuk mengganti orang yang akan menduduki kursi kepala daerah, bukan suatu proses demokrasi substansial dimana kepentingan rakyat menjadi tujuan utama.

Dua persoalan ini merupakan hal krusial yang harus dipecahkan oleh Pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun partai politik. Kuasa partai politik sangat menentukan arah perjalanan sebuah bangsa melalui segenap piranti serta otoritas yang dimilikinya. Partai politik pula yang menentukan siapa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mereka usung sekaligus lewat cara seperti apa pertarungan pilkada akan dilaksanakan. Apakah politik uang atau politik yang menawarkan ide dan gagasan kepada rakyat.

Berdasarkan khazanah awal demokrasi kuno, Plato pernah membayangkan bagaimana demokrasi seharusnya bekerja. Ia menyebut bahwa demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tetapi demokrasi merupakan sistem yang paling sempurna diantara sistem yang lain. Demokrasi hanya dapat terselenggara melalui sosok pemimpin yang berfikir (king philosopher). Oleh karena itu, hanya kaum aristokrat yang mampu berfikir pada waktu itu.

Lewat pikiran Plato, setidaknya kita diberikan gambaran tentang bagaimana demokrasi itu seharusnya diasuh dan diolah. Pilkada sebagai sebuah sistem demokrasi yang memosisikan rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, maka seharusnya partai politik memberikan porsi kepada rakyat seutuhnya guna menentukan calon kepala daerah lewat ide dan gagasannya, bukan seberapa banyak lembaran uang yang tersedia dalam amplop untuk dibagikan kepada rakyat. Praktik seperti itu yang kerap dijumpai saat pilkada berlangsung, sejatinya praktik yang merendahkan rakyat dimana rakyat hanya dihargai dengan lembaran rupiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun