Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan di Pengadilan

12 September 2024   14:18 Diperbarui: 12 September 2024   14:31 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah dunia paralel yang absurd, ada pengadilan yang mengadili... Tuhan. Tuhan. Yang Maha Kuasa. Yang menciptakan langit dan bumi. Digugat. Oleh siapa? Tentu saja oleh mereka yang merasa paling pintar sedunia: para ateis.

Jaksa utamanya? Seorang bernama Iman Skeptis. Ironis memang namanya, tapi begitulah hidup - penuh ironi yang kadang bikin ketawa, kadang bikin mules.

"Yang Mulia," Iman memulai dakwaannya dengan gaya sok intelek, "kami menggugat Terdakwa atas tuduhan menciptakan dunia yang tidak sempurna!"

Hadirin terkesiap. Sebagian mengangguk setuju, sisanya geleng-geleng kepala.

Tuhan? Dia diam saja. Mungkin geli. Atau mungkin sedang menahan tawa.

"Bukti pertama!" Iman berseru, "Penyakit! Kenapa ada penyakit kalau Tuhan itu baik?"

Pengacara Tuhan, seorang nenek renta bernama Oma Bijak, bangkit perlahan. "Yang Mulia, bukankah penyakit membuat kita menghargai kesehatan? Lagipula, banyak penemuan medis yang membuat hidup lebih baik berkat adanya penyakit."

Iman mendengus, "Omong kosong! Bukti kedua: perang dan konflik! Harusnya dunia damai kalau Tuhan ada!"

Oma Bijak tersenyum, "Nak, perang dan konflik itu buatan manusia. Tuhan memberi kita pilihan. Kitalah yang memilih untuk bertikai."

"Hah, selalu saja begitu! Menyalahkan manusia!" Iman memutar bola matanya. "Bukti ketiga: ketidakadilan! Kenapa ada yang kaya dan miskin?"

"Mmm," Oma Bijak mengetuk-ngetuk dagunya, "mungkin agar kita belajar berbagi dan membantu sesama?"

Iman mulai kehabisan kesabaran. "Selalu ada alasan! Dasar orang beragama, sukanya cari pembenaran!"

Tiba-tiba, seorang pria berdiri. Namanya Ragu, mantan ateis yang kini... entahlah.

"Boleh saya bicara, Yang Mulia?" tanyanya. Hakim mengangguk.

"Saya dulu seperti Iman," Ragu memulai. "Saya pikir saya tahu segalanya. Saya menyalahkan Tuhan atas semua hal buruk di dunia. Sampai suatu hari..."

Semua mendengarkan dengan seksama.

"...saya sadar bahwa saya tidak tahu apa-apa." Ragu tersenyum getir. "Bagaimana mungkin saya, makhluk fana yang bahkan tidak bisa memprediksi cuaca dengan akurat, berani menghakimi Sang Pencipta alam semesta?"

Iman mencibir, "Cih, sudah dicuci otak rupanya."

Ragu menggeleng, "Justru sebaliknya, Iman. Pikiran saya jadi lebih terbuka. Saya sadar, mungkin ada alasan di balik semua ini yang tidak bisa saya pahami. Seperti semut yang tidak bisa memahami mengapa manusia membangun gedung."

"Omong kosong!" Iman berteriak. "Itu cuma alasan orang beragama untuk membenarkan Tuhan mereka yang kejam!"

Oma Bijak angkat bicara, "Nak Iman, bukankah dengan menuduh Tuhan kejam, kau justru mengakui keberadaan-Nya?"

Skakmat. Iman terdiam.

Hakim akhirnya buka suara, "Baiklah, sudah cukup. Sebelum saya putuskan, saya ingin bertanya pada Terdakwa. Tuhan, apa pembelaan-Mu?"

Untuk pertama kalinya, Tuhan bicara. Suara-Nya lembut namun menggelegar:

"Aku menciptakan kalian dengan akal dan hati. Gunakanlah keduanya dengan bijak. Temukan sendiri jawabannya."

Booom! Tiba-tiba pengadilan lenyap. Iman, Oma Bijak, Ragu, dan semua yang hadir terbangun di tempat tidur masing-masing.

Mimpi? Atau pesan?

Di suatu tempat, Tuhan tersenyum. Ah, manusia. Makhluk-Nya yang paling lucu.

Nah, bagaimana? Puas dengan dongeng receh ini? Atau malah merasa tertusuk? Jangan khawatir, rasa sakit itu tanda Anda masih hidup. Atau setidaknya, masih punya ego yang perlu dibelai.

Lucu ya, bagaimana kita, makhluk yang bahkan tidak bisa menciptakan nyamuk, berani menghakimi Sang Pencipta alam semesta. Seperti bakteri yang protes kenapa petri dish-nya tidak seperti yang dia mau. Absurd? Memang. Tapi begitulah manusia. Sok tahu adalah nama tengah kita.

Oh, dan para ateis yang merasa paling pintar sedunia? Tenang, ini bukan serangan pribadi. Anggap saja ini... cermin. Cermin yang memantulkan betapa konyolnya kita ketika merasa tahu segalanya. Padahal, jangankan memahami Tuhan, memahami diri sendiri saja masih sering gagal.

Tapi hei, mungkin memang itu pointnya. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk tahu segalanya. Mungkin justru dalam ketidaktahuan itu, kita bisa menemukan keajaiban hidup. Seperti anak kecil yang takjub melihat pelangi, tanpa perlu tahu fenomena refraksi cahaya.

Jadi, lain kali sebelum Anda berteriak "Tuhan itu kejam!" atau "Agama itu omong kosong!", coba tanya diri sendiri: "Apa aku ini Tuhan? Apa aku tahu segalanya?"

Ah, tapi apa peduliku? Toh Anda pasti merasa paling benar. Iya kan?

Selamat merenungi ke-sok-tahuan Anda. Semoga beruntung dalam perjalanan menemukan jawaban... atau justru menemukan pertanyaan yang lebih baik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun