Pada awalnya, tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas saya dalam mata kuliah Sosiologi Indonesia. Lalu, sebagai bentuk penghormatan terhadap karyanya dan untuk mengenang hari kelahiran penulisnya pada hari ini -6 Februari-, tulisan ini sengaja 'tampil' di Blog Kompasiana.
Tidak mudah menulis roman sejarah dikala "Pram" -sapaan akrab dari Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)- sedang diasingkan di pulau buru, sebuah pulau terpencil yang terletak di Provinsi Maluku. Bumi Manusia, karya Pramoedya yang pertama dalam series tretalogi pulau buru adalah suatu roman yang terlahir berdasarkan hasil riset sejarah yang ia lakukan secara mendalam. Tentunya hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Kurniawan (2022), bahwa Pramoedya adalah sesosok pengarang yang rajin sekali dalam melakukan dokumentasi, sehingga tak khayal, banyak sekali karya-karyanya lahir berdasarkan proses penelitian sastra terlebih dahulu.
Kepiawaiannya dalam menulis, membuat Pramoedya sebagai seorang sastrawan, tentunya mudah sekali untuk mentransformasikan fakta-fakta sejarah tersebut ke dalam bentuk fiksi. Penggambaran tokoh utama yang dibuat Pram dalam Bumi Manusia, yakni Minke bukan hasil dari asal-asalan Pram membuat nama tersebut. Akan tetapi prototipe tokoh Minke merupakan suatu gambaran dari seorang pelopor jurnalistik Indonesia, Raden Mas Tirto Adhisoerjo (Kurniawan, 2022). Namun yang perlu diketahui lebih utama ialah, roman ini hadir karena Pramoedya ingin mengemukakan gagasan dan nilai yang ia tuliskan dari sisi dan caranya yang berbeda.
Layaknya novel roman pada umumnya, roman Bumi Manusia tentunya merupakan sebuah karya yang memasukkan banyak unsur yang ada di dalamnya yakni sejarah, politik, dan budaya. Dengan berlatar belakang di awal abad ke-20, pada era kebangkitan nasional, Pramoedya menuliskan kisah sejarah dan menuangkan gagasannya di roman tersebut.
Minke: Pemuda lugu yang Mengagumi Kebudayaan Barat
Minke adalah tokoh utama yang digambarkan oleh Pramoedya di dalam romannya. Dikisahkan dalam roman tersebut, Minke adalah seorang pemuda pribumi lugu yang lahir pada tahun 1880. Minke dilahirkan dan juga dibesarkan di lingkungan keluarga priyayi. Karena mempunyai kelebihan inilah, Minke bisa mencicipi pendidikan Eropa yang tidak semua orang pada waktu itu bisa mendapatkan pendidikan tersebut. Mendapatkan kesempatan menuntut ilmu di HBS, membuat Minke bertambah cemerlang. Pergaulannya yang semakin bertambah kualitas, dengan berteman kepada orang-orang Eropa yang berpandangan rasional, membuat Minke berubah menjadi seorang pembelajar yang kagum akan kehebatan pendidikan Barat yang lambat laun menyadari keadaan bangsanya yang saat itu memang sedang terjajah.
Pada perkembangan roman tersebut, awalnya Minke merasa risau karena perbedaan latar belakang dirinya yang berdarah daging sebagai orang jawa yang bersifat tradisional; bertentangan dengan latar belakang pendidikan Eropanya yang cenderung liberal. Hingga, setelah melewati hal kontradiktif tersebut, Minke tersadar lewat pendidikan Eropa itulah ia nantinya mengetahui, bahwa tradisi bangsanya yang menjadi peghambat kemajuan (Hun, 2011). Walaupun begitu, Minke tetap berusaha untuk mengakui bahwa jati dirinya adalah sebagai seorang Jawa.
Sebagaimana remaja pada umumnya, di awal roman tersebut, selain digambarkan sebagai pengangum Eropa, Pramoedya menggambarkan Minke sebagai penggila Wanita. Hal ini terungkap ketika temannya yang bernama Robert Suurhof memanggilnya dengan sebutan Philogynik. Lebih lanjutnya, bermula dari ajakan Robert Suurhof, Pramoedya menggambarkan lebih jauh pertemuan yang menyebabkan benih cinta antara Minke dan Annelies. Berawal dari bertamunya Minke ke rumah Annelies inilah, rasa jatuh cinta pada pandangan pertama itu muncul. Pada momen itu juga, Minke bertemu dengan seorang Nyai yang bernama asli Sanikem, ibu dari Annelies.
Nyai Ontosoroh: Gundik yang Berwawasan Luas
Digambarkan pada roman tersebut, Nyai Ontosoroh yang bernama asli Sanikem dulunya hanyalah seorang gundik yang dijual oleh ayahnya kepada seorang totok Belanda yang bernama Herman Melemma. Namun, seiring kebersamaannya dan berkat pendidikan yang diajarkan oleh sang tuannya tersebut, Nyai Ontosoroh berubah menjadi perempuan yang tegas, cerdas, dan memiliki sikap keras terhadap para penindasnya. Digambarkan juga di roman Bumi Manusia, Tuan Mellema yang telah mendidik dan mengajarkan Nyai berubah menjadi seseorang yang tidak terurus dan tampak seperti seorang yang sudah kehilangan akal dan moral dalam dirinya.
Pertemuannya dengan seorang gundik yang bernama Nyai Ontosoroh, membuat Minke semakin mempertajam jati diri dengan lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan barat. Bisa dibilang, lewat seorang Nyai, Minke mendapatkan pedidikan tambahan untuk bisa bersikap lebih inklusif terhadap hal apapun. Hal ini tentunya selaras dengan pandangan Budiardjo (1981) yang mengemukakan bahwa Nyai Ontosoroh adalah seseorang yang paling berpengaruh dan memegang peranan penting dalam mendorong Minke bergerak ke arah pikiran-pikiran yang modern, hingga pada akhirnya nanti, ia menjadi pemberontak terhadap ketidakadilan yang diciptakan oleh kolonial Belanda. Maka dari penggambaran itu, selain kagum dengan sosok Nyai Ontosoroh, Minke juga semakin bertambah kagum pada dunia modern, dunia yang tentunya bertolak belakang dengan tempat kelahirannya yang cenderung bersifat feodalistik.
Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pramoedya sengaja memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan suatu yang krusial dalam membentuk identitas manusia dan menjadi wanita yang tidak mudah untuk tunduk kepada laki-laki (Hun, 2011). Hal ini tentunya terbukti, dimana dalam penggambarannya, Nyai yang dulunya dihina berubah menjadi Nyai yang berhasil mengembangkan sebuah perusahaan di bidang pertanian yang berada di daerah Wonokromo, Surabaya.
Satu hal yang menonjol di dalam roman ini antara Minke dan Nyai Ontosoroh ialah keduanya sering direndahkan dan dihina karena merupakan seorang Pribumi. Hal ini terlukiskan ketika Minke yang sedang menyantap makan malam di rumah Nyai Ontosoroh, tiba-tiba saja seseorang yang berbadan tegap yakni Tuan Mellema menghampiri Minke dan berkata Monyet. Pada lain hal, sewaktu tengah bercakap dengan kakak Annelies yakni Robert Mellema, Minke juga pernah direndahkan dengan kalimat; "sayang, kau hanya seorang pribumi" ketika Robert menanyakan ihwal kedekatannya pada sang adik.
Pemberontakan Terhadap Ketidakadilan dan Feodalisme
Sebagaimana digambarkan di dalam roman Bumi Manusia, Minke merupakan sosok yang berpikir terbuka, bebas, dan penentang ketidakdilan. Hal itu tentunya dipengaruhi oleh pendidikan Eropa yang ia pelajari. Meskipun begitu, setelah melihat kondisi zamannya yang semakin lama menunjukkan ketidakdilan karena sistem kekuasaan kolonial yang ada, Minke menjadi tersadar bahwa ia harus melawan, demi bangsanya semakin tidak tertindas. Hal ini terlukiskan, ketika Minke semakin menunjukkan ketidaksenangannya terhadap orang Eropa, dikarenakan permohonannya ditolak oleh pemerintah kolonial untuk melanjutkan sekolahnya ke Belanda. Minke tersadar, bahwa ia hanyalah seorang pribumi yang selalu dilemahkan dalam struktur kolonial Belanda.
Pada lain hal, Minke juga mendapatkan ketidakadilan dari pemerintahan kolonial Belanda. Dimana hubungan pernikahannya dengan Annelies sebagaimana digambarkan di dalam roman tersebut, dipersoalkan oleh pengadilan, bahkan dianggap tidak sah, tersebab Annelies yang seorang Indo dan Minke yang hanya seorang pribumi. Dari penggambaran tersebut bisa terlihat, bahwa ketika orang pribumi dihadapkan dibawah sistem kolonial, maka jangan harap bisa dimenangkan. Bahkan, tersebab mereka kalah di pengadilan itu, ketidakadilan itu melebar kepada Nyai, dimana harta perusahaannya disita dan Annelies dirampas dari tangannya dan harus dipulangkan ke Belanda.
Atas kejadian itu semua, Minke menjadi alergi terhadap pengetahuan eropa. Kealergian Minke itu tentunya berdasarkan tidak adanya nilai kemanusiaan dan keadilan pada pribumi yang sering dibuat tidak berdaya oleh kolonialisme Belanda. Akan tetapi, tidak bisa disangkal, bahwa Minke bisa berdiri melawan, menyadarkan kembali kesadaran pribumi yang baru, dan mendapatkan segala hal pengetahuan yang berkaitan tentang modernitas, hal itu disebabkan karena pengetahuan barat sebagai pisau analitisnya (Elson, 2009).
Persoalan lain yang digambarkan dari roman tersebut ialah ketika Minke menentang segala hal yang berbau feodalisme. Hal ini tergambarkan ketika Minke melihat abangnya membuka dan membaca buku harian tanpa seizinnya. Tentunya hal tersebut membuat Minke marah karena haknya telah diganggu. Hun (2011) mengemukakan dalam bukunya, bahwa ketika minke masih menganut adat jawa, maka ia tidak akan menunjukkan sikap marah, melainkan sikap yang lebih sopan. Selain itu, sikapnya yang menentang feodal ialah ditunjukkan ketika ia merasa sudah risih ketika harus merangkak dan menyembah ketika menghadap ayahnya sebagai bupati. Pramoedya menggambarkan di dalam tokoh Minke, bahwa perbuatan itu berasal dari adat jawa yang merupakan turun-temurun dari nenek moyang yang menghina martabat manusia. Dari sikap tersebut telah diketahui, bahwa kondisi kehidupan Minke telah berubah dari sebelumnya. Minke yang semakin terbentuk karena didikan Nyai, telah melepaskan unsur-unsur feodal yang telah diwariskan dan juga telah meninggalkan segala bentuk adat yang berlatar belakang priyayi Jawa (Foulcher, 1981)
Pada lain hal, Pramoedya juga menggambarkan situasi yang menunjukkan feodalisme. Dalam roman tersebut, Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang gundik yang dijual oleh ayahnya kepada pemilik pabrik agar bisa mendapatkan kenaikan jabatan. Padahal pada saat itu, umurnya masih 14 tahun, umur yang pada umumnya pada era sekarang dilarang untuk dieksploitasi dan dipekerjakan, Tentunya hal tersebut tidak berlandaskan nilai kemanusiaan. Hal ini Pramoedya gambarkan karena situasi pada zaman kolonial, memang seperti itu.Â
Van Niel (1984) menuturkan bahwa penderitaan yang luas di kalangan masyarakat biasa pada zaman itu disebabkan karena ulah para priyayi yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika dianalisis lebih dalam, persoalan ini tentunya bisa dilawan, ketika masyarakat bersatu dengan mempunyai kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus yang ternanam untuk bangsanya (Elson, 2009).
Menumbuhkan Imagined Communities Lewat Bahasa Melayu
 Aktivitas menulis tentunya sudah dilakukan oleh Minke pada saat ia sekolah di HBS. Sering sekali ia menulis di surat kabar atau artikel, namun sayangnya ia masih menggunakan bahasa Belanda, yakni bahasa yang ia pelajari di sekolahnya. Akan tetapi, sebagaimana yang digambarkan di dalam roman Bumi Manusia, setelah melewati berbagai persoalan ketidakdilan yang ada, Nyai Ontosoroh menegur Minke agar segera menulis dengan bahasa Melayu. Menurut Nyai, dengan menggunakan bahasa Melayu, artikel yang nantinya diterbitkan akan lebih banyak dibaca oleh orang lain. Lewat penggambaran itu, Pramoedya seakan ingin menunjukkan bahwa dengan bahasa Melayu, masyarakat Pribumi pada saat itu bisa lebih cepat tersadarkan.
Tampak jelas sekali dalam penggambaran tersebut, Pramoedya tentunya berpihak dan menunjukkan sikap untuk mendukung nasionalisme dan menolak penjajahan yang dilakukan oleh Belanda (Hun, 2011). Selain persoalan Bahasa Belanda, Pramoedya juga menyinggung bahasa Jawa. Dalam Penggambaran diroman tersebut, Minke menolak saran ibundanya untuk menulis dengan bahasa Jawa. Penggambaran itu bisa ditafsirkan sebagai salah satu bentuk penolakan kebudayaan Jawa yang pada saat itu sedang menunjukkan wajah feodalismenya melalui para Priyayi.
Jika ditinjau lebih jauh, sebenarnya sangat tepat sekali ketika Pramoedya di dalam romannya menunjukkan bahasa Melayu sebagai bahasa yang bukan hanya sebagai simbol perlawanan, namun lebih terpentingnya lagi adalah sebagai bahasa yang bisa menyatukan bangsa. Sebab, hanya dengan menggunakan bahasa Melayu, masyarakat pada masa itu lebih cepat tersadarkan bahwa ia terjajah; bahwa ia sedang tertindas. Maka dari itu, melalui bahasa Melayu tentunya bisa membentuk dan menumbuhkan apa yang disebut Ben Anderson sebagai Imagined Communities. Lebih lanjutnya, dari menulisnya Minke dalam bahasa Melayu, hal tersebut bisa disambungkan dengan teori yang dituturkan oleh Anderson (1986) tersebut yang menyatakan bahwa bahasa bisa menjadi sebuah faktor yang penting untuk menghasilkan suatu solidaritas khusus dan menbentuk suatu komunitas bayangan yang pada saat sebelumnya belum saling mengenal dan terhubung. Dalam istilah yang lain, bahasa bisa menjadi kunci untuk menumbuhkan nilai nasionalisme pada suatu masyarakat.
Kesimpulan
Kemunculan roman Bumi Manusia tentunya tidak terlepas dari perhatian yang sangat serius yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer. Dengan menggunakan gaya Bahasa percakapan, tentunya Pramoedya bisa menyampaikan gagasan dan nilai-nilai yang hendak ia sampaikan ke pembaca. Penggambaran tokoh Minke di dalam roman Bumi Manusia tentunya tidak terlepas dari sosok Pramoedya sendiri. Sebab, di dalam diri Pramoedya sendiri, ia menanamkan sikap nasionalisme terhadap bangsanya. Walaupun di dalam sejarah hidupnya pernah dipenjara tiga kali -tiga tahun dalam penjara Belanda, satu tahun dalam penjara orde lama, dan 14 tahun dalam tahanan orde baru- namun Pramoedya berhasil menciptakan karya sastra yang dikemas begitu apik dan menarik. Sehingga tak salah, karya Pramoedya yang satu ini dan tiga roman lanjutannya, masih begitu monumental dan masih banyak dibaca serta dikoleksi oleh banyak orang hingga pada saat hari ini.
Mungkin, apa yang penulis ungkapkan disini, masih banyak nilai-nilai dari roman Bumi Manusia yang belum dibahas secara komprehensif. Namun kehadiran roman ini tentunya memberikan sumbangsih positif. Lewat gagasannya yang begitu cemerlang, Pramoedya telah ikut andil untuk berkontibusi terhadap bangsanya dengan sebaik-baiknya dan seharomat-hormatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H