Beberapa waktu yang lalu di kampus tempatku berkuliah dulu ada kasus yang menghebohkan dan menjijikan.
Kasus tersebut adalah adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu dosen pembimbing di salah satu fakultas.
Fakultas tersebut yang seharusnya melahirkan para pendidik guna mencerdaskan kehidupan bangsa malah dinodai oleh dosen bejat tersebut.
Kasus ini mencuat ke permukaan dan menjadi ramai diperbincangkan oleh warganet setelah diunggah oleh akun Instagram @dpn ums.
Kasus tersebut juga telah banyak diliput berbagai media nasional.
Kemudian kariuhan ini terus bergulir dan akhirnya menyeret penulis dalam isu tersebut.
Lalu ada salah satu mahasiswa yang aktif di organisasi bantuan hukum kampus menghubungi penulis melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp bertanya mengenai pemegang akun @dpn ums itu.
Penulis yang pada saat itu sedang bekerja di tempat yang berjarak lebih dari 400 kilometer dari kampus yang terletak di Jawa Tengah tersebut pun lantas heran.
Perlu diketahui, penulis sudah lulus dua tahun yang lalu dari kampus tersebut.
Mahasiswa itu menanyakan apakah penulis adalah admin dari akun Instagram @dpn ums tersebut.
Pertanyaan itu dia lontarkan atas dasar rumor yang dia terima bahwa selama ini penulis adalah admin dari akun Instagram yang sering menghebohkan kampus tersebut.
Rasa kesal sekaligus menggelitik ketika penulis membuka pesan tersebut di lokasi proyek salah satu jalan tol di Jawa Barat.
Bisa-bisanya orang yang telah lulus ditanya persoalan kampus yang tidak menghasilkan uang untuk beli rokok, pikir penulis saat itu.
Apakah tidak ada kandidat lain yang masih aktif menjadi mahasiswa ditanya siapa admin akun tersebut.
Tapi kalau mau cari siapa admin tersebut mengapa tidak mencoba Direct Message (DM) langsung ke akun itu.
Memang sejak awal masuk kuliah aku selalu dicurigai sebagai pemegang akun tersebut, namun itu hanya sebatas bahan candaan di kawan sekitarku.
Penulis tidak menyangka kecurigaan sebagai pemegang akun @dpn ums masih saja melekat sampai sekarang meski sudah meninggalkan kampus tersebut.
Namun seharusnya yang dicari bukanlah admin akun tersebut, tapi pengawalan kasus yang mencoreng kampus yang notabenenya bernafaskan keislaman itu.
Hal lain yang harusnya menjadi perhatian pihak kampus, organisasi mahasiswa, dan orang yang mengaku aktivis kampus adalah korban mengadu di akun yang bukan dibawahi kampus.
Tentu ini menjadi pertanyaan, apakah organisasi kampus sudah tak menjadi kepercayaan mahasiswanya?
Apakah mahasiswa sudah tak lagi percaya pada advokasi yang dilakukan oleh perangkat kampus?
Penulis juga tidak tahu apakah sekarang dunia aktivisme kampus telah mati.
Yang perlu diingat adalah kampus bukan sekedar tempat kuliah, patuh pada dosen, lulus cepat, wisuda mengalungi tulisan cumlaude.
Kampus juga tempat kita melatih rasa empati dan simpati kepada lingkungan sosial kita.
Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah, sekalipun itu dosen.
Toh dosen tak selalu benar, yang ada mereka banyak merasa paling benar.
Penulis yang sudah jarang membaca ini jadi teringat perkataan sastrawan asal Blora, Pramoedya Ananta Toer, "seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan".
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H