Seperti pepatah Arab "Ilmu itu dari berburu, sedangkan menuliskannnya adalah untuk mengikatnya". Kalimat inilah yang menginpirasi saya untuk merubah mindset dalam pembaharuan model belajar serta mempertahankan ingatan atau pemahaman terhadap ilmu yang telah saya dapat pada bangku perkuliahan S1.Â
Melelahkan pikiran memang, termenung beberapa menit bahkan jam untuk menggerakkan jemari apalagi. Pastinya ini sebuah kewajaran, karena semua butuh continue habbits  untuk mencapai bisa. Kabar baiknya adalah otak dilatih terbiasa untuk merefleksikan ilmu yang pernah kita dapat.
Selaras dengan sebuah hadits Rasulullah SAW; "Ballighu 'anni Walau aayah" (H.R Bukhari). Tentu hadits ini megajarkan bahwa ilmu itu untuk dibagikan bukan hanya untuk dikonsumi sendiri.
Coba kita renungi kebiasaan menakjubkan para ulama, misalnya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, beliau pernah menuliskan 50 ribu halaman buku; tentang Fiqh, Tafsir dan lain-lain. Kebayang gimana bisa sebanyak itu? Yap, semua kembali pada kapasitas ikhtiar dan tawakal kita kepada Allah SWT.Â
Lalu figur menginspirasi lainnya adalah Prof Dr. KH. Ali Mustafa Ya'qub beliau juga merupkan salah satu tokoh yang produktif dalam menulis, cukup banyak karya beliau berupa terjemahan dari bahasa arab maupun yang beliau tulis sendiri.Â
Dan yang diingat dari beliau adalah jargon tentang ajakan menulisnya yakni "Janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu sudah jadi Penulis". MasyaAllah. Karena memang betul memiliki karya kebaikan  dalam bentuk tulisan, maka akan menjadi wasilah amal jariyah yang terus mengalir kepada kita.
Alasan lain, kenapa harus menulis? Ingat! Manusia tempatnya salah dan lupa. Berarti mencatat atau menuliskan supaya tetap ingat. Karena sangat mungkin terjadi, ilmu yang dicari susah payah akan hilang tak beberkas.Â
Ketika hilang alias lupa maka posisinya 11-12 dengan merka yang sama sekali tidak pernah mencari ilmu, yaitu sama-sama tidak berilmu bidang terkait. Bedanya yang satu belum pernah punya ilmu dan yang ini pernah punya ilmu tapi sudah hilang.
Kalau dikaitkan dengan kemiskinan, maka dua-duanya miskin. Yang pertama memang dasarnya miskin, belum pernah kaya. Satunya lagi pernah kaya dimasa lalu, tapi sekarang sekarang sudah jadi miskin lagi. Begitu analoginya. Â Astaghfirullah.
Sudah berniat Nulis?, Atau masih butuh motivasi lagi, duh. Oke satu gambaran lagi. Gini, disetiap kita adalah pelajar dari bangku SD sampai Kuliah tak lepas dengan aktifitas menulis, kita ambil gambaran terdekat yakni saat masa-masa Kuliah.Â
Mahasiswa memiliki masa normal belajar Sarjana, empat tahun. Dan hampir setiap prosesi akademik seperti, membuat karya tulis makalah, laporan dan lain-lain.Â
Pastinya berpacu pada goresan tulisan yang tertuang dari gagasan mahasiswa itu sendiri. Sebutlah, misalnya ada 5 mata kuliah untuk tiap semester ada 5 kali ujian berbentuk karya tulis.Â
Berarti tiap semester seorang mahasiswa menuliskan 5 karya tulis , jika tiap karya tulis berisi minimal 10 lembar, dengan asumsi 8 semester maka seorang mahasiswa sudah berhasil menulis sebanyak 400 lembar tulisan.Â
Nahkan banyak, maka kalau ada mahasiswa yang mengaku tidak bisa menulis, bisa dikatakan bohong atau tidak mungkin. Buktinya bisa lulus dengan skripsi terbaik misalnya. Itu berarti sangat bisa menulis.
Rasanya step selanjutnya adalah Let's Action!, karena niat baik harus segera ditunaikan bukan? Diawal dijelaskan bahwa ilmu adalah hasil berburu, dan kita butuh mengikatnya lewat goresan tulisan kita.Â
Percuma saja kita berburu, kalau hasil buruan kita melarikan diri. Maka agar hasil buruan tak hilang, ikatalah hasil buruan kita. Maka akan sangat sayang kalau semua hasil buruan itu pada terlepas begitu saja. Ilmu itu harus diikat, caranya dengan menuliskannya. Kuncinya adalah nulis, nulis dan nulis. Selamat mengikat ilmu!
Referensi: Ahmat Sarwat (Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H