Banyak spekulasi negatif yang melatarbelakangi karena prilaku waria kerapkali menyimpang dari ketentuan umum di masyarakat.
Waria cinderung dikaitkan dengan dunia pelacuran sehingga adanya pesantren Al-Fatah ini dianggap sebagai tempat mangkal atau lokalisasi. Bahkan masyarakat bingung ketika waria sholat, dia masuk barisan laki-laki atau perempuan.
Namun eksistensi pesantren waria Al-Fatah masih ada hingga sekarang. Berbagai kontroversi penyelesaian intoleran pesantren waria Al-Fatah tak lepas dari unsur-unsur modal sosial yang diterapkan.
Sehingga kenapa pesantren waria Al-Fatah ini masih beridiri, diantaranya: Adanya unsur kepercayaan, masyarakat Banguntapan mulai berfikir positif. Bahwa pesantren sebagai bengkel untuk waria agar kembali kepada fitrahnya.
Unsur solidaritas juga mereka representasikan pada kegiatan gotong royong. Kegiatan gotong royong tidak hanya dilakukan diwilayah pesantren, komunitas waria juga melibatkan warga desa untuk gotong royong membersihkan lingkungan desa. Mereka mengajak masyarakat untuk membersihkan jalan, membuang sampah, membersihkan masjid, pukesmas. Kegiatan inilah yang dibangun untuk mengubah stigma negatif masyarakat.
Unsur jaringan sosial, pesantren al-Fatah melakukan bakti sosial yang mana tujuanya membantu sesama dan membangun persaudaraan. Diantara kegiatanya seperti santunan anak yatim piatu, dan sumbangan berbagai korban bencana. Uang yang didipatkan dari jumlah donatur, berdagang bubur kacang ijo, salon waria dan catering waria.
Dalam dunia ekonomipun orang normal susah mencari kerja. Kalau kritikanya sutan takdir solidaritas persaudaraan Indonesia kuat, kerja tanpa professional atau tespun bisa masuk asal punya orang dalam. Terpampang jelas untuk masuk kerja syaratnya harus laki-laki atau perempuan dan tidak ada syarat waria.
Maka waria memanfaatkan peruntungan dengan memberi tarif 100.000 bila ingin wawancara. Penelitian skripsi ditarif 200.000 untuk pendapatanya.
Unsur kerjasama yang dibangun komunitas waria dengan advokasi. Karena seringnya terjadi diskriminasi kepada waria oleh masyarakat sosial. Pejabat hukum memberikan bantuan terhadap waria sebagai wujud keadilan dan pembelaan. Berlandaskan UU No.39 tahun 1999 mengenai hak asasi manusia yang tidak spesifik menyebut tentang hak kebebasan memilih identitas seksual. Maka pasal 1 angka 3 menyebut diskriminasi itu dilarang.
Unsur nilai dan norma yang ada di pesantren waria Al-Fatah berupa tata nilai yang mengacu pada Al-Qur'an. Pendampingan belajar agama untuk membentuk iman, takwa dan baca, tulis, al-Qur'an. Agama sebagai acuan untuk membentuk sosial yang baik bagi waria. Hal ini berbeda dengan lokalikasi yang hanya memberikan pelatihan jasmani. Sedangkan pesantren memberikan pelatihan jasmani dan ruhani agar menjadi lebih baik.
Unsur kebersamaan juga dibangun komunitas waria dalam mendirikan pesantren waria Al-Fatah. Mereka mencari perlindungan atas sikap warga yang mendiskriminasikanya. Banyak stigma negatif bahwa mereka hanya menggunakan naman pesantren karena menggangap bahwa Islam di Indonesia sangat menjunjung tinggi toleransi dan moderat.