Mohon tunggu...
Lukasyah
Lukasyah Mohon Tunggu... Freelancer - Catatan Sebelum Mati

Not Lucky Bastard

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Utopia Visi Indonesia Emas 2045, Wajah Pendidikan Tak Berkarakter

23 Mei 2024   10:39 Diperbarui: 23 Mei 2024   10:45 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: rri.co.id)

Dalam perjalanan sejarah, pepatah-papatah dari para pemimpin besar sering kali tidak hanya mencerminkan semangat juang, tetapi juga menyiratkan harapan dan cita-cita yang mendalam. Salah satunya adalah kutipan yang terkenal dari Ir. Soekarno, "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Pepatah ini, jauh dari sekadar slogan kosong, mengandung makna mendalam tentang peran vital pemuda dalam membentuk masa depan sebuah bangsa.

Pemuda, dalam konteks ini, bukanlah sekadar segumpal generasi yang terpaku pada masa mudanya. Mereka adalah agen perubahan yang mampu mengguncang fondasi dunia dengan gagasan dan tindakan mereka. Pepatah tersebut adalah panggilan bagi mereka untuk mengambil peran aktif dalam mengubah dunia menuju ke arah yang lebih baik. Tidaklah mengherankan jika pepatah ini menembus zaman dan tetap relevan hingga saat ini. Pemuda bukanlah sekadar masa, tetapi merupakan kekuatan yang mampu membawa perubahan yang substansial. Mereka adalah pembawa harapan, cita-cita, dan kenyataan bagi suatu bangsa. Perlu dicatat bahwa harapan dan cita-cita ini tidak berdiri sendiri; mereka tercermin dalam tindakan nyata pemuda. Dalam sejarah, banyak contoh pemuda yang mampu menginspirasi dan membawa perubahan signifikan dalam masyarakat mereka. Mereka adalah motor penggerak di balik revolusi, inovasi, dan perubahan sosial yang telah membentuk dunia kita.

Oke, kita sudah romantismenya, kita beranjak kepada realitas yang akan dihadapi di Indonesia. Indonesia, sebuah negara yang kaya akan potensi alam dan manusianya, telah mengalami perjalanan yang panjang sejak merdeka pada tahun 1945. Selama hampir delapan dekade ini, Indonesia telah menjadi bagian dari negara berkembang, menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhannya.

Namun, saat ini, semangat untuk beranjak menuju tingkat yang lebih tinggi, untuk menjadi negara maju, semakin berkobar di kalangan pemimpin dan rakyat Indonesia. Visi besar "Indonesia Emas 2045" menjadi landasan bagi mimpi besar ini. Pada momen satu abad sejak kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk menjadi negara Nusantara yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan.

Meski demikian, visi besar ini memunculkan polemik. Setidaknya ada dua pandangan yang bisa ajukan. Pada pandangan pertama, visi ini mungkin terdengar sangat ambisius. Dengan komitmen yang kuat, kepemimpinan yang bijak, dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, mimpi ini dapat menjadi kenyataan. Sikap ambisius dan optimis ini bukan tanpa alasan karna secara kuantitas, Indonesia sudah memiliki modal besar, yaitu bonus demografi. Menurut data yang dilansir dari indonesiabaik.id[1], pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045. Dalam konteks ini, pemuda dalam hal ini, pelajar usia 14 -- 17 tahun memiliki peran yang sangat vital. Produktifitas mereka nantinya akan menjadi tulang punggung pembangunan dan kemajuan negara menuju visi Indonesia Emas 2045. Dengan energi, kreativitas, dan semangat juangnya, pemuda memiliki potensi besar untuk membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.

Namun, di sisi lain, pada pandangan kedua, visi ini terdengar seperti impian yang sulit untuk dicapai. Visi ini cenderung memunculkan pandangan yang skeptis, menganggap visi ini sebagai utopia, mimpi yang tidak akan pernah tercapai. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat realitas hari ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi para pelajar tidaklah sedikit.

Jika melihat kondisi saat ini, visi Indonesia Emas 2045 terkadang terasa seperti "jauh panggang dari pada api". Berbagai masalah yang menimpa pemuda, terutama mereka yang masih berstatus sebagai pelajar, terus meningkat dan menjadi hambatan yang signifikan dalam mencapai tujuan tersebut. Salah satu masalah utama yang akhir-akhir ini menjadi sorota adalah perihal tawuran antar pelajar.

Sebagai gambaran, akhir-akhir ini sering ditemukan kasus tawuran yang melibatkan para pelajar. Melansir dari laman berita beritasatu, sepanjang tahun 2023, Polres Tangerang Kota menyatakan bahwa kasus tawuran di wilayah hukumnnya meningkat sebesar 36 persen, yaitu meningkat dari 14 kasus menjadi 19 kasus. Dari kejadian ini, terdapat korban dunia sebanyak empat pelajar, dan korban luka-luka menjadi 19 korban.

Kemudian, melansir dari berita radarbogor.id, sepanjang 1 Januari 2024 hingga 6 Februari 2024, telah terjadi tawuran pelajar sebanyak 11 kali. Tawuran ini melibatkan para pelajar di wilayah hukum kota dan kabupaten Bogor.  Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, mengingat para pelaku tawuran adalah para pelajar yang notabene adalah calon harapan bangsa yang akan berperan penting dalam visi Indonesia Emas. 

Dari kasus ini, menarik untuk ditelisik penyebab dari adanya kasus tawuran yang dilakukan oleh kalangan pelajar ini. Melansir dari laman Republika.co.id, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari menilai bahwa penyebab utama terjadinya tawuran dikalangan pelajar adalah kurangnya pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan nasional. Pernyataan ini layak diamini mengingat pendidikan karakter adalah unsur penting yang harus diajarkan kepada para pelajar. Menurut Curriculum Corporation (2003:33), pendidikan karakter adalah pendidikan yang secara eksplisit mengajarkan nilai-nilai untuk membantu siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti. 

Pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan nasional akan memberikan landasan yang kuat bagi para pelajar untuk memahami nilai-nilai moral, etika, dan kepemimpinan yang akan membentuk mereka menjadi individu yang bertanggung jawab dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Ketika pendidikan karakter diabaikan, pelajar akan kehilangan arah dalam memahami nilai-nilai yang seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan mereka.

Namun, pendidikan karakter ini belum tersedia secara maksimal dalam ruang kurikulum pendidikan nasional. Pendidikan hari ini cenderung menempatkan tekanan yang besar pada aspek ekonomi, dengan mengukur kualitas para murid berdasarkan standar ekonomi yang mereka capai. Para murid dituntut untuk menjadi individu yang mampu menghasilkan pendapatan tinggi dan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Dalam konteks ini, pendidikan karakter seringkali dikesampingkan atau minim dalam kurikulum.

Materi yang berkaitan dengan pendidikan karakter seringkali hanya dianggap sebagai pelengkap, bahkan seringkali diabaikan sama sekali. Fokus utama kurikulum lebih tertuju pada penyampaian pengetahuan akademis dan keterampilan teknis yang dianggap lebih relevan dalam mencapai kesuksesan ekonomi. Hal ini menyebabkan pendidikan karakter menjadi terpinggirkan, padahal karakter yang baik merupakan fondasi yang esensial bagi keberhasilan seseorang dalam kehidupan, baik dalam bidang akademis maupun ekonomi. 

Dalam perspektif islam, istilah pendidikan sangat dekat dengan upaya pembangunan karakter. Jika pendidikan adalah upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka dalam perspektif islam, karakter adalah pondasi utama yang harus dibangun terlebih dahulu. Dalam islam, istilah pendidikan terepresentasi dalam empat hal, yaitu tarbiyah, ta'lim, ta'dib, dan tazkiyah. 

Tarbiyah adalah proses pendidikan yang berorientasi pada pemeliharaan dan pengembangan karakter takwa yang dapat termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini tentu didasarkan pada fitrah seharusnya manusia yang tercantum dalam Q.S Ar Ruum ayat 30:

Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

 Selanjutnya, ta'lim adalah upaya untuk mengajarkan nilai-nilai karakter yang harus dimiliki serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan hubungan dengan Allah, sosial, dan alam. Konteks ini sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam Q.S Al Baqoroh ayat 151:

 Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat kepadamu), Kami pun mengutus kepadamu seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah (sunah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.

 Setelah mengajarkan nilai-nilai, pendidikan bertugas untuk membentuk karakter yang beradab. Hal ini disebut dengan ta'dib, yang prosesnya harus mengajarkan karakter-karakter positif berbasis kesadaran dan potensi yang telah milikinya. Jika hal ini terus berjalan semestinya, maka akan masuk kepada proses yang dinamakan tazkiyah. Proses ini berorientasi pada upaya menciptakan manusia yang berakhlak dan berkarakter yang mampu mengaktualisasikan potensi dan nilai-nilai kebaikan yang ada dalam dirinya.

 Dalam pembentukan karakter, peran pendidikan tidak hanya terbatas pada lingkup formal di sekolah, tetapi juga meluas ke ranah non formal, khususnya dalam keluarga. Keluarga memiliki peranan sangat penting dalam membangun karakter para pelajar, karena lingkungan keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana nilai-nilai moral dan etika diajarkan dan ditanamkan.

 Meskipun pendidikan formal di sekolah memegang peran dalam menyampaikan pengetahuan akademis dan keterampilan teknis, pendidikan karakter yang terjadi di lingkungan keluarga tidak boleh diabaikan. Bahkan, pendidikan karakter di keluarga seringkali memiliki dampak yang lebih mendalam dan langgeng, karena dilakukan secara kontinu sepanjang kehidupan.

 Keluarga menjadi tempat di mana anak-anak pertama kali belajar tentang nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, toleransi, dan empati. Ini adalah nilai-nilai yang akan membentuk dasar kepribadian mereka dan membimbing perilaku mereka sepanjang hidup. Oleh karena itu, sinergi antara pendidikan formal di sekolah dan pendidikan karakter di keluarga menjadi sangat penting.

 Salah satu cara untuk memperkuat sinergi antara pendidikan formal dan pendidikan karakter di keluarga adalah melalui pengembangan kurikulum yang mengakomodir pendidikan karakter di kedua lingkup tersebut. Kurikulum ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak hanya menekankan pada aspek akademis, tetapi juga memasukkan pembelajaran tentang nilai-nilai moral, etika, dan kepemimpinan yang penting bagi perkembangan karakter anak.

 Kurikulum pendidikan karakter di keluarga dapat mencakup aktivitas  seperti diskusi keluarga tentang nilai-nilai moral, partisipasi dalam kegiatan sosial atau amal bersama, dan memberikan contoh-contoh nyata tentang bagaimana menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan membantu anak-anak memahami dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut dengan lebih baik.

 Dari uraian di atas, penulis mencoba untuk menyimpulkan dua poin penting. Pertama, dengan sinergi yang kuat antara pendidikan formal di sekolah dan pendidikan karakter di keluarga, kita dapat memastikan bahwa para pelajar tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga berkarakter baik dan bertanggung jawab. Ini akan membawa dampak positif yang besar bagi perkembangan individu dan masyarakat secara keseluruhan, sehingga mampu menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan, yang mampu mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

 Kedua, uraian di atas dapat menggambarkan betapa tidak jelas arah dan tujuannya dunia pendidikan Indonesia. Ruang lingkup pendidikan sangat sempit dan hanya berbasis proses yang dilakukan secara kelembagaan. Ruang pendidikan di keluarga tidak mendapat infrastrukur dan suprastrutur yang baik. Maka sangat wajar ketika seringkali terdapat kasus seorang pelajar yang berprestasi lingkungan institusi pendidikan, tapi bermasalah setelahnya. Bahkan, degradasinya semakin terasa ketika hari ini dengan ditandai dengan kasus pelajar yang bermasalah di kedua lingkungannya. Rasanya, jika kondisi terus seperti ini, maka visi Indonesia Emas 2045 menjadi utopia, mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun