Mohon tunggu...
Lukasyah
Lukasyah Mohon Tunggu... Freelancer - Catatan Sebelum Mati

Not Lucky Bastard

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Tak Kasat Mata, Tulisan Menjadi Senjata

10 Maret 2024   12:56 Diperbarui: 10 Maret 2024   12:56 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini saya buat terinspirasi dari ruang diskursus bersama teman-teman sejawat, ditemani kepulan asap revolusi, bersama secangkir kopi, diwaktu senja yang segera hilang ditelan malam hari. Adapun tema diskusi tersebut perihal era hari ini yang setiap orang seolah memiliki (hak) otoritas untuk membuat fatwa-fatwa hidup, tidak ilmiah dan kental dengan subjektifitas, namun sangat mudah diamini oleh khalayak umum. Wacana digulirkan melihat fenomena di era digital hari ini, masyarakat secara subjek maupun objek, terus dijejali oleh informasi. 

Di sisi lain, para intelektual seolah menjadi pertapa, gagap mengadaptasi teknologi sehingga tidak mampu mengamplifikasi pemikiran-pemikiran yang radikal, ilmiah, dan dapat dipertanggung jawabkan. Mayoritas dari kalangan ini seakan hilang, ide dan gagasan radikal hilang ditelan kepentingan industri, oligarki. Kalaupun ada, hanya sebatas untuk memenuhi kepentingan administrasi sertifikasi.

Oke kita sudahi kegelisahan ini, kita mulai kepada poin inti.  

Dunia yang fana ini bergerak secara dinamis dan simultan. Dalam perjalanannya, dunia berubah-rubah, yang dipengaruhi oleh ide dan gagasan. Hal ini semakin nampak terjadi, tatkala selesainya World War II, ide dan gagasan semakin menjadi penggerak utama kehidupan bangsa manusia. 

Berbagai ide dan gagasan menjadi eksis, yang asalnya seolah hanya sebuah pemikiran utopia, kini menjadi dasar utama dari bentuk-bentuk aktifitas kehidupan, utamanya dalam hal berbangsa dan bernegara. Saya coba buat klafisikasi peran ide dan gagasan terhadap dua hal.

Pertama, to the top, maksudnya adalah bahwa ide dan gagasan ini memiliki peranan penting terhadap arah sistem kebijakan suatu negara. Ide dan gagasan akan menyebar terhadap setiap proses pemutusan kebijakan yang dibentuk dalam dimensi Ipoleksosbudhankam. 

Ide dan gagasan ini pada akhir akan bersifat memaksa tatkala sudah dilegalisasi dalam sebuah bentuk sistem dan kebijakan. Kedua, to the down, maksudnya adalah bahwa ide dan gagasan akan sangat berperan aktif dalam membentuk entitas kultural. 

Secara otomatis, tatkala ide dan gagasan berbentuk sistem dan kebijakan tersosialisasi dengan baik, maka akan membentuk suatu entitas kultural tersendiri. Bahkan, bukan hanya entitas kultural yang terbentuk, tapi juga peradaban yang merupakan suatu kebudayaan tertinggi dengan tingkatan terluas dari identitas budaya yang didefinisikan oleh kesamaan elemen objektif. 

Pada level ini, ide dan gagasan akan mampu menyatakan berbagai kemajemukan dalam berbagai pendekatan (suku, agama, ras) sehingga dapat tercipta suatu tatanan hidup yang aman dan sejahtera.

Namun, untuk menerapkan hal ini, bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dalam ruang arus utama (Ideologi dunia), Ide dan gagasan ini menggiring kita hidup dalam ruang peperangan tak kasat mata. 

Menariknya,  peperangan ini tidak melibatkan senapan, peluru, bahkan tank baja, tapi kita hidup dalam ruang perang pemikiran. Perang ini tetap mengakibatkan korban nyawa, bukan dengan tembak-menembak, dan bom-boman, tapi dengan kesenjangan, yang mengakibatkan adanya tindakan kriminal, kemiskinan, kelaparan, dan lainnya.

Inilah kondisi yang saya sebut dengan perang tak kasat mata, atau dalam bahasa lain sering disebut sebagai perang pemikiran (Ghawzul Fikri). Dalam kondisi ini, pertarungan ide dan gagasan akan menjalar melalui tulisan-tulisan, argumentasi, propaganda, dialog dan perdebatan. Sasarannya bukan terhadap infrastruktur suatu negara, tapi terhadap suprastruktur bangsa, utamanya terhadap para penyelenggara negara dan rakyatnya. 

Sekarang ini, sering kali kita melihat pemberitaan bahwa penyelenggara negara yang melakukan tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai etika dan moral. 

Perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sudah menjadi hal yang lumrah dalam proses penyelenggaraan negara. Selain itu, masalah seperti pejabat yang berbuat mesum, melakukan tindakan perzinahan, bahkan tindak pembunuhan sudah menjadi fenomena yang sering dijumpai. Jika dikupas tuntas, tentu masalah penyelenggaraan negara tidak akan cukup dituliskan disini.

Namun, menariknya, kondisi ini seakan menjadi hal yang biasa. Terjadi pemakluman-pemakluman yang dilakukan terus-menerus sehingga fenomena ini bukan menjadi hal berbahaya yang harus dikhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh nilai yang multi standar yang mengarah kuat kepada nilai subjektifisme. Tentu hal ini bukan terjadi secara sim salabim, kebetulan tanpa sebab.

Seperti yang sudah dibahas diawal tadi, ide dan gagasan dapat membentuk suatu entitas kultural, termasuk terhadap hubungan penyelenggara negara dan masyarakatnya. Fenomena tersebut dibangun atas suatu ide dan gagasan yang secara disengaja oleh penawarnya, lalu terus digulirkan hingga mengikis suatu nilai yang eksis di masyarakat. 

Dalam konsep post modernisme, inilah dunia tanpa tanpa titik batas, tidak ada titik pusat yang mengontrol segala sesuatu, seperti nilai, norma, aturan, hingga agama dan tuhan. Tidak ada standar umum yang dapat dipakai untuk mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup tertentu.

Kondisi menyebabkan manusia (penyelenggara negara) tidak peduli terhada reward dan punishment. Kepentingan pribadi yang subjektif diatas segalanya, mengalahkan ketentuan dan aturan yang dibuat oleh Tuhan. Manusia-manusia ini, tidak takut tergoda oleh reward (pahala/sugra) dan punishment (dosa/neraka) yang abadi (akhirat). 

"Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat"

 (Q.S Al Baqoroh: 7)

Bagi seorang muslim, pendiaman adalah sama dengan membiarkan pelanggaran, kerusakan, kedzaliman, kemaksiatan semakin merajalela. Bahkan, ketika melihat hal ini terjadi, dan hanya berdiam saja, Allah SWT akan tidak memandang seseorang.

"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu" 

(Al Maidah: 68)

Lantas apa yang harus dilakukan?

Sekali lagi, ide dan gagasan menjadi peranan penting dalam dunia peperangan tak kasat mata ini. Bagi seorang muslim, ide dan gagasan tidak perlu dibuat, karena sudah digariskan oleh sang kausa prima (risalah). Hanya saja, saat ini ajaran-ajaran islam dianggap tidak logis. Akibat distorsi risalah, ajarannya ini hanya dianggap sebagai logika-logika mistika yang tidak selalu harus diamini. Untuk itu, pemahaman yang sudah menghegemoni ini harus segera diantitesiskan. Dengan apa, tentu dengan membuktikan bahwa Islam adalah agama yang logis, bukan agama untuk orang-orang gila.

"Nn. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan. berkat karunia Tuhanmu engkau (Nabi Muhammad) bukanlah orang gila. Sesungguhnya bagi engkaulah pahala yang tidak putus-putus. Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung. Kelak engkau akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila? Sesungguhnya Tuhanmulah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang mendapat petunjuk."

(Al Qolam: 1-2)

Ayat menjelaskan bahwa menulis modal penting dalam memahamkan manusia terhadap kelogisan dan keobjektifan ajaran yang dibawa Rasul Muhammad SAW (Islam). Tulisan adalah wadah dimana ide dan gagasan bisa bertumbuh kembang, tidak memuai dan menguap lalu hilang. Tulisan juga menjadi legalitas bahwa ajaran dan kelogisan islam bisa lebih disebarkan dengan luas di era peperangan tak kasat mata.

Ilmuwan islam terdahulu sudah membuktikan hal ini. Beberapa ilmuwan seperti Ibnu Khaldun dengan karya tulisannya Mukaddimah, Ibnu Sina dengan karya tulisanya The Cannon Of Medicina, Al Farabi dengan karya tulisnya On The Perfect State, sudah membuktikan bahwa melalui tulisannya, ajaran Islam adalah logis, bahkan mampu membuktikan berbagai fenomena yang belum terpecahkan sebelumnya.

Nama-nama di atas, dan masih banyak nama lainnya, sudah melegenda dan memberikan pengaruh besar terhadap dunia. Penulis berharap bahwa di masa sekarang dan yang akan datang, masih ada para penempuh yang mau untuk melanjutkan ide dan gagasan utama (risalah) dengan menulis. Terakhir, penulis akan menutup tulisan ini dengan quotes dari sosok besar dunia.

"Satu peluru hanya mampu menembusi satu kepala namun satu tulisan bisa menembusi beribu kepala, malah jutaan." 

Sayyid Qutb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun