Mohon tunggu...
Muhammad Habibullah
Muhammad Habibullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gampang jatuh cinta

Selanjutnya

Tutup

Humor

Bos Tongkrongan

17 Desember 2023   17:00 Diperbarui: 17 Desember 2023   17:06 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Perasaan atau suatu keadaan hati yang timbul ketika dihadapkannya pancaindra dengan pekerjaan merasai atau menimbangnya batin atas suatu pertemuan yang masih tidak jelas arahnya.

Kita terkadang dibuat bingung olehnya, apakah hasil merasai yang dilakukan batin itu adalah fakta yang terjadi di masa itu atau malah sebaliknya, yaitu sebuah anomali yang menimpa batin sendiri. Kejadian semacam ini membuat kita bertanya-tanya, apakah hati kita yang terlalu serius merespons sebuah fenomena atau malah kejadian itu yang tidak berpihak kepada kita.

Ini tidak sedang membahas fenomena pada umumnya, tetapi sedang membicarakan tentang fenomena humor, terkhusus di tempat tongkrongan. Soalnya agak aneh ketika kita bela-belain meng-alpakan kesibukan untuk datang ke perkopian untuk menghilangkan rasa suntuk, justru tiba-tiba bos tongkrongan yang menguasai obrolan dengan sok asik-nya menjadikan kita bahan jokes yang membuat mood menjadi rusak.

Agar kita tersadar, mana sih yang harus didahulukan ketika membuat jokes, yang penting lucu kah? atau yang penting tidak merusak suasana hati orang lain?

Jawaban dari pertanyaan ini yang harus diluruskan agar para penguasa tongkrongan sadar dan insaf untuk tidak seenak jidat tanpa berpikir panjang dalam membuat humor murahan-nya.

Harus ditekankan juga bahwa perasaan sering kali menjadi korban tunggal, seakan tidak ada artinya ketika dihadapkan dengan humor, "namanya juga humor jangan diambil serius lah" alasan bagi orang yang selera humornya agak psikopat.

Kelainan Rasa Humor

Memiliki teman yang memanggil nama kita tidak sesuai dengan pemberian orang tua adalah humor yang kurang mencerminkan kedewasaan, lebih parahnya hal itu hanya dijadikan bahan kelakar yang dapat melukai perasaan. Menyebut dengan panggilan nama hewan juga adalah hal yang sangat dimaklumi, seperti memanggil "moyet".

Humor semacam ini masih kurang ekstrem, masih kalah ketika teman lawan jenis kalian memanggil dengan panggilan romantis, seperti panggilan "sayang, cinta, dan lain-lain". Sebab ada beberapa orang akan menanggapinya dengan perasaan, sehingga melayang sejenak dari kenyataan, kenyataan bahwa Anda bukan siapa-siapanya.

Saya sampai ingat dengan puisi Luka karya Sutardji Calzoum Bahri, 1976.

Luka 

Ha ha

Menertawakan luka tanpa harus berkata-kata. Cukup dengan, ha... ha...

Selaras dengan puisi di atas perkataan Henri Bergson bahwa "tertawa itu berpihak". Kembali lagi kepada pembahasan "penguasa tongkrongan", hanya orang-orang seperti merekalah yang bisa mengendalikan kemudi tertawa dan tertawa selalu berpihak kepadanya. Orang lain hanya sebagai pengiring jokes yang mereka buat, tidak banyak ruang hak melawak yang diberikan, semuanya terserah kepada penguasa tongkrongan.

Lebih parahnya lagi, keputusan lucu dan tidaknya perputaran humor di meja itu seakan-akan ditentukan dengan gelak tawa sang bos tongkrongan. Dan hal yang serupa, entah mengapa teman-teman di samping kita mengamini perbuatan tersebut, tidak ada yang berani menentang, menyangkal, dan sebagainya. Padahal korban dari sistem tongkrongan seperti ini sangat banyak, seumpamanya terjadi kepada kalian, ketika membuat jokes dan si bos tongkrongan ini tidak suka bahkan dia mengatakan "ah gak lucu gak lucu, jokes bapak-bapak" siapa sih rasanya yang tidak kesal kalau diperlakukan seperti itu.

Sumpah sebel banget gak sih, yang awalnya ingin tongkrongan menjadi rame dengan kelakar yang kita buat, eh malah kita sendiri yang dijadikan bahan lawak. Tidak hanya sampai di situ, ketika ingin membuat lelucon lagi pasti ada saja yang celetukan "nah mau ngelawak lagi nih, entar gak lucu", siapa coba yang bakal tahan dengan tongkrongan kaya ini.

Memangnya kita hadir hanya sebagai instrumen saja, yang harus mengikuti skrip skenario film perkopian yang seakan-akan telah disiapkan oleh bos tongkrongan.

Coba kita rubah kebiasaan seperti ini, tongkrongan semi psikopat yang marak terjadi dan dimaklumi tanpa ada rasa bersalah. Menjadi budaya perkopian, di mana semua anggotanya boleh dan bebas menyuarakan kelucuannya masing-masing tanpa harus ada wasit yang menghakimi mana kelakar yang lucu dan yang tidak.

Pasti perkopian seperti itu sangat asik dan anggotanya tidak akan ada bosan-bosannya buat datang untuk ikut nimbrung, bertolak belakang dengan tradisi yang lama, membuat anggotanya jera bahkan trauma hadir di tengah orang-orang yang selera humornya memiliki kelainan.

Niat awal seseorang nongkrong adalah mencari ketenangan, maka kabulkan kemauan mereka, yaitu dengan dipenuhinya hak yang seharusnya didapatkan dalam sebuah perkumpulan. Yaitu hak dalam melawak salah satunya, ya... meskipun dengan lawakan kita hanya mendapatkan ketenangan sekilas saja, setidaknya masih dapat merasakan, dari pada tidak sama sekali.

Karena besar manfaatnya bagi kesehatan ketika jiwa dalam keadaan tenang. Ketenangan sendiri didefinisikan sebagai sebuah situasi tenteram yang dapat mengikis tekanan dan juga menjamin peningkatan kesehatan (Wolfradt, Oemler, Braun, & Klement, 2014).

Yang penting jangan lupa bahagia sebab dengan bahagia jiwa akan terasa tenang, meskipun Mbah Nun pernah berkata Ketenangan seperti apa lagi yang kau cari, jika orang mati saja masih didoakan agar tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun