Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Survivorship Bias, Mengapa Nasihat Orang Sukses Bisa Jadi hanya Omong Kosong

29 Agustus 2024   06:47 Diperbarui: 29 Agustus 2024   10:21 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Survivorship bias mendistorsi cara kita memahami dunia | Ilustrasi oleh Sarahblocks via Pixabay

Jika Anda kebetulan seorang anggota kru pesawat pengebom pada awal-awal Perang Dunia II, sebaiknya Anda tak berharap banyak untuk pulang dengan selamat. Bayangkan saja, Anda akan terbang di atas seluruh bangsa yang berlomba-lomba membidik dan membunuh Anda; lupakan masa depan dan ciumlah kekasih Anda untuk terakhir kalinya sebelum berangkat.

Peluang hidup Anda hampir sama dengan bertelanjang dada melintasi lapangan sepak bola yang dipenuhi lebah mengamuk. Anda mungkin berhasil menyeberang sekali-dua-kali, tetapi jika Anda terus berlari bolak-balik, pada akhirnya nasib mujur Anda akan habis. Sejarawan Kevin Wilson menggambarkan orang-orang seperti Anda "sudah menjadi hantu" bahkan sebelum lepas landas.

Hal itu sangat meresahkan Angkatan Udara Amerika Serikat. Mereka bertanya-tanya apakah peluang selamat para penerbang di Perang Dunia II dapat ditingkatkan. Sementara di tempat lain para ahli kriptografi sibuk memecahkan Enigma Jerman dan para fisikawan menciptakan bom atom, Angkatan Udara Amerika Serikat mengundang para ahli matematika.

Para insinyur militer sebenarnya tahu bahwa pesawat pengebom mereka memerlukan lebih banyak lapis baja, tetapi mereka tidak tahu bagian mana persisnya. Mereka jelas tidak bisa melapisi semua bagian dengan lapis baja; jika iya, pesawat pengebom mereka akan berubah menjadi tank darat. Itu tidak akan lepas landas sama sekali.

Mereka pun mengamati pesawat-pesawat pengebom yang telah kembali dari wilayah musuh dan mencatat bagian mana saja yang mengalami kerusakan paling parah. Mereka mendapati pola berulang: peluru cenderung terakumulasi di sepanjang sayap, sekitar penembak ekor, dan bagian tengah pesawat.

Secara intuitif, mereka akhirnya berencana untuk memperkuat area-area tersebut, kemudian melaporkannya kepada sekelompok ahli matematika, yang merupakan tangan panjang dari Universitas Columbia. Rencana ini mungkin akan menjadi salah satu keputusan paling bodoh Angkatan Udara Amerika Serikat jika tidak dikoreksi oleh ahli matematika Abraham Wald.

Wald merupakan seorang Yahudi kelahiran Hungaria, yang melarikan diri ke Amerika Serikat karena ancaman Nazi yang semakin meningkat di negaranya. Keluarganya, kecuali seorang saudara laki-laki, meninggal di kamp pemusnahan Auschwitz. Ketika bekerja untuk Angkatan Udara, Wald dan kelompoknya ditempatkan di sebuah apartemen rahasia.

Wald memperingatkan para insinyur militer bahwa menempatkan lapis baja di bagian yang paling banyak ditembak (sayap, badan, penembak ekor) tidak akan meningkatkan peluang mereka. Jika ada, lubang-lubang peluru yang mereka lihat justru menunjukkan area pesawat yang paling sedikit membutuhkan pelindung tambahan.

Fakta bahwa mereka tertembak dan toh masih bisa terbang dengan selamat membuktikan bahwa bagian-bagian tersebut tidak perlu diperkuat. Sebaliknya, jelas Wald, pesawat-pesawat yang tidak selamatlah yang paling membutuhkan perlindungan ekstra, dan mereka mungkin tertembak bukan pada ketiga bagian tersebut.

Jika mulanya Anda berpikiran sama dengan para insinyur militer, Anda mengalami apa yang disebut "survivorship bias" (bias penyintas). Sesat pikir ini merujuk pada kesalahan ketika kita hanya mempertimbangkan data dari subjek yang berhasil melewati proses seleksi dan tidak menghiraukan subjek yang gagal.

Sederhananya lagi, bias ini terjadi saat kita mengambil kesimpulan berdasarkan pada mereka yang "selamat" dan mengabaikan sisanya. Terkadang itu berarti kita hanya berfokus pada yang hidup daripada yang mati, atau pada pemenang ketimbang pecundang, atau pada kesuksesan alih-alih kegagalan.

Dalam kasus Wald, militer berfokus pada pesawat yang berhasil pulang dan nyaris membuat keputusan buruk karena mengabaikan pesawat yang sebenarnya paling membutuhkan lapis baja tambahan, yaitu pesawat-pesawat yang gugur selama bertugas.

Tentu, mudah untuk melihat ke belakang dan menyadari betapa bodohnya kesalahan seperti itu. Namun, ketika kesalahan tersebut berada di pelupuk mata kita sendiri, kita jarang sekali menyadarinya. Kita tetap melakukannya dalam banyak kesempatan, terutama jika kita bukan ahli matematika yang handal seperti Wald.

Atau, sebenarnya tidak juga.

Dalam bukunya yang luar biasa "Fooled By Randomness", Nicholas Taleb mengamati bahwa survivorship bias sudah menjadi hal yang kronis bahkan (atau mungkin terutama) di kalangan profesional. Mari saya ceritakan satu contoh kesukaan saya, sebuah kisah yang, sebagai bagian dari dunia akademik, sangat rentan saya lakukan.

Sebuah penelitian tahun 1987 melaporkan bahwa kucing yang terjatuh dari lantai enam atau lebih rendah cenderung mengalami cedera yang lebih parah daripada kucing yang terjatuh dari lantai yang lebih tinggi. Para dokter hewan menyebutnya "high-rise syndrome", kasus ketika kucing mengalami cedera akibat terjatuh dari bangunan yang lebih tinggi dari lantai dua.

Para peneliti memperkirakan bahwa keanehan itu terjadi karena kucing mencapai kecepatan akhir setelah jatuh dari lantai lima atau lebih. Selanjutnya, mereka dapat meluruskan diri dan menjadi rileks, terjun membentang seperti halnya tupai terbang. Spekulasi ini segera diterima secara luas sebagai fakta.

Namun, pada tahun 1996, sebuah kolom dalam surat kabar The Straight Dope menawarkan penjelasan lain: survivorship bias. Cecil Adams, penulis kolom tersebut, mengatakan bahwa penelitian itu hanya didasarkan pada kucing yang dibawa ke rumah sakit. Masalahnya, kucing yang mati akibat terjatuh dari lantai enam ke atas tidak dibawa ke rumah sakit.

Mereka mungkin langsung dikubur atau, lebih buruknya, dibawa ke tempat sampah. Dengan kata lain, kucing yang sudah mati karena terjatuh dari lantai 20 tidak dibawa ke ruang gawat darurat dan karenanya pihak rumah sakit tidak pernah diberitahu. Alhasil, kucing yang mati saat jatuh dari lantai yang lebih tinggi tidak dilaporkan dalam penelitian tersebut.

Hal itu dapat membuat statistik menjadi tidak akurat, seolah jatuh dari jarak yang sangat jauh terlihat lebih aman daripada yang sebenarnya. Faktanya, sebuah penelitian tahun 2004 telah membantah statistik tersebut, membuktikan bahwa kucing yang jatuh dari lantai tujuh atau lebih tinggi mengalami cedera yang lebih parah.

Jadi, tolong, jangan iseng mendorong kucing Anda dari lantai 20.

Mengapa kita, bahkan para ahli dan profesional sekalipun, rentan mengalami bias penyintas? Menurut Taleb, itu karena kita dilatih untuk mengambil keuntungan dari informasi yang ada di depan mata kita dan mengabaikan informasi yang tidak kita lihat. Dengan kata lain, hal itu mudah untuk dilakukan.

Alasan kedua, bias penyintas membuat kita merasa nyaman. Jika Anda berencana mendirikan bisnis restoran, mana yang lebih menarik, kisah orang-orang yang berhasil merintis usahanya pada percobaan pertama atau segudang kisah kegagalan di bulan pertama? Saya tidak naif; saya enggan menyimak cerita orang-orang bangkrut.

Lagi pula, yang pertama membuat Anda optimis, sedangkan yang kedua membuat Anda ingin mengutuk semua bisnis restoran dan akhirnya menyimpan uang Anda demi memastikan itu tetap bersama Anda (selamanya). Saya tidak akan menyalahkan Anda, tetapi kenyataannya sebagian besar bisnis berakhir gagal dan bangkrut, apa pun jenisnya.

Dan bagaimanapun di sinilah kita, menyimak cerita-cerita menarik dan "inspiratif" dari para ahli diet terlaris, CEO selebriti, dan atlet superstar. Kita dengan tekun mendengarkan nasihat dan petunjuk mereka, berharap bisa mengetahui rahasia kesuksesan. Semacam jalan pintas, atau setidaknya memastikan kita berada di jalan yang benar.

"Bangunlah jam 5 pagi. Jangan membuka ponsel lebih dari 2 jam dalam sehari. Berolahragalah setidaknya 30 menit, tiga kali per minggu. Bekerja keraslah. Beranilah mengambil risiko." Dan seterusnya hingga kita diberitahu bahwa orang-orang gagal juga melakukan semua itu, bahkan mungkin lebih dari yang kita kira.

Sayangnya, mereka yang gagal jarang sekali, jika ada, yang diundang ke perguruan tinggi dan konferensi untuk membagikan apa yang menjadikan mereka gagal dan karenanya harus kita hindari. Mereka hilang dari pandangan kita, dan lenyap pula informasi tentang "cara menjadi tidak gagal" bersama mereka.

Sebaliknya, kita lebih memilih pembicara yang bersinar. Mereka berkeliling ke seluruh negeri untuk mengisi seminar tentang cara menjadi sukses. Mereka meyakinkan kita bahwa kita bisa menjadi sesukses mereka, dan caranya ada dalam buku mereka tentang "Cara Mendapatkan Satu Miliar Pertama Sebelum 25 Tahun". Jadi kita didorong untuk membeli bukunya.

Pikirkan para tokoh ikonik teknologi seperti Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg. Anda mungkin terpikir untuk mengikuti jejak mereka: berhenti kuliah dan memulai bisnis dengan teman Anda di garasi rumah orang tua Anda. Mimpi menjadi miliarder tidaklah salah, tetapi mereka yang putus kuliah, secara statistik, lebih sulit menjadi miliarder.

Data BPS terbaru menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar pula upah yang diterima seseorang. Ya, kuliah belum tentu menjadi kaya dan miliarder belum tentu mengenyam kuliah. Bagaimanapun, kalau kita melihat gambaran keseluruhan, jelaslah bahwa kuliah membantu. Suka-tak-suka, datanya memang begitu.

Kebanyakan dari kita gagal menyadari betapa banyaknya orang yang mengikuti jejak Steve Jobs dan gagal, karena pada dasarnya tidak ada yang mendokumentasikan kisah mereka menjadi buku atau film. Paling banter, kisah mereka berakhir secara menyedihkan dalam diari pribadi mereka masing-masing.

Demikianlah, meskipun mudah dan nyaman, bias penyintas membekukan otak kita ke dalam kondisi ketidaktahuan yang membuat kita yakin bahwa kesuksesan itu lebih umum daripada yang sebenarnya. Kita secara keliru memahami realitas dan gagal menangkap banyak privilese (hak istimewa) yang membantu segelintir orang untuk sukses.

Semakin banyak ahli dan profesional, misalnya Nicholas Taleb dan psikolog terkemuka Daniel Kahneman, bahkan miliarder itu sendiri seperti investor terkenal Warren Buffet, menyatakan bahwa sifat unik yang menyamakan kisah-kisah sukses adalah keberuntungan (fortune). Agak membosankan, eh?

Sebenarnya tidak juga.

Keberuntungan bukanlah sejenis sihir. Keacakan, kebetulan, dan kekacauan mungkin memang sulit untuk diprediksi atau dijinakkan, tetapi keberuntungan berbeda. Dalam dunia psikologi, keberuntungan merupakan hasil yang terukur dari sekelompok perilaku yang dapat diprediksi. Kita bisa meningkatkan peluangnya.

Psikolog Richard Wiseman, misalnya, berpendapat bahwa keberuntungan hanyalah hasil dari interaksi manusia secara sadar dengan peluang, dan beberapa orang lebih baik melakukan itu daripada yang lain. Dia kemudian mengidentifikasi empat prinsip yang digunakan oleh orang-orang yang beruntung untuk menciptakan keberuntungan dalam hidup mereka.

Prinsip pertama adalah menciptakan, memerhatikan, dan menindaklanjuti peluang. Kedua, mengasah intuisi dan firasat mereka dengan, misalnya, bermeditasi dan kemudian membuat keputusan efektif berdasarkan firasat mereka. Ketiga, optimis akan nasib mujur. Dan terakhir, mengubah nasib buruk menjadi nasib baik, setidaknya secara psikologis.

Pada intinya, meskipun kita hidup di era big data, data yang kita miliki tidak pernah lengkap, dan mungkin hanya berupa puncak gunung es. Survivorship bias membuat kita berpuas diri dengan sekelumit data tersebut. Kita bukan hanya gagal mengenali hilangnya informasi yang penting; kita bahkan tidak tahu ada informasi yang hilang.

Semua yang kita ketahui tentang masa lalu telah melewati jutaan filter dan banyak hal yang tidak pernah dicatat untuk memberi ruang bagi sesuatu yang lebih menarik atau indah atau berani. Semua yang kita pelajari dari sejarah, untuk alasan apa pun, adalah kisah para penyintas. "Sejarah ditulis oleh para pemenang," konon ungkap Winston Churchill.

Dan para pemenang lebih suka menceritakan kehebatan mereka sendiri, sering kali melebih-lebihkannya.

Jadi, skeptislah terhadap guru, buku, podcast, atau sumber daya lain yang tampaknya memberi semacam "formula rahasia" untuk meraih kekayaan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Sementara Anda membaca buku "Apa yang Dilakukan Orang Paling Sukses Sebelum Sarapan", orang-orang sukses yang sebenarnya mungkin masih menikmati selimut hangat mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun