Dua minggu lalu, mungkin efek musim hujan, saya terserang pilek dan menghabiskan banyak tisu untuk membuang ingus. Meskipun saya sudah sembuh, kepala saya kembali berdenyut sakit setelah mengetahui bahwa setiap lembar tisu saya turut berkontribusi pada deforestasi.
Bahkan ketika saya melakukannya, dan mungkin secara bersamaan Anda sedang mengelap noda kecil di meja atau menyeka mulut atau mengeringkan tangan, ribuan pohon di seluruh dunia sedang ditebang untuk "mengganti" tisu yang kita gunakan.
Tapi, sekalipun kita mengetahuinya, kebanyakan dari kita tetap memalingkan muka. Selain karena praktis dan murah, saya rasa tisu juga memenuhi keinginan kita yang lebih dalam untuk segera menyingkirkan masalah, demi kepuasan instan, berapa pun biayanya.
Hasilnya adalah limbah tisu terus melonjak. Berdasarkan data Statista, konsumsi tisu global pada tahun 2023 mencapai sekitar 44 juta ton, dan diperkirakan bakal meningkat setiap tahun selama dekade mendatang, mencapai 55 juta ton pada tahun 2032.
Di Indonesia, menurut data WWF Indonesia tahun 2018, konsumsi tisu melebihi 25 ribu ton. Angka ini terlihat kecil jika dibandingkan dengan sampah plastik atau sisa makanan, tapi masalahnya bukan itu. Satu ton tisu diproduksi dari setidaknya 17 pohon!
Dan kita masih harus banyak bertepuk jidat.
Bom waktu ekologis
Pada dasarnya, setiap tahap kehidupan tisu, mulai dari hutan hingga berakhir di TPA, meninggalkan jejak ekologis yang cukup besar. Mari kita ikuti siklus hidupnya.
Bahan baku tisu adalah bubur kertas (paper pulp), dan kita tahu bahwa kertas berasal dari pohon. Oksigen yang dihasilkan pohon memang kecil, tapi pohon memainkan peran penting dalam menyerap karbon dioksida. Ketika ditebang, karbon dioksida ini lepas kembali.
Baca juga: Pedihnya Kesepian di Tengah Keramaian KotaWorld Wide Fund for Nature (WWF) memperkirakan sekitar 270 ribu pohon ditebang setiap harinya untuk memproduksi tisu. Hal ini setara dengan membuang sekitar 95 juta pohon per tahun ke toilet atau tempat sampah.
Dari jumlah tersebut, sekitar 10 persen di antaranya merupakan kebutuhan tisu toilet. Jadi, sekitar 27 ribu pohon ditebang setiap harinya hanya untuk mengelap... Anda tahu. Beberapa warung makan kita bahkan menjadikan tisu toilet sebagai lap mulut.
Lantas, dari mana pohon-pohon tersebut berasal?
Di kawasan Asia, sebagian besar bubur kayu diperoleh dari hutan di Asia Tenggara, termasuk hutan hujan Indonesia. Sejumlah bubur kayu lainnya berasal dari hutan-hutan di Amerika Selatan dan Amerika Serikat, dan yang paling terkenal adalah hutan boreal Kanada.
Di hutan boreal saja, bukan hanya pohon berusia ratusan tahun juga ikut ditebas, penggundulan untuk membuat kertas bertanggung jawab atas pelepasan 26 juta metrik ton karbon dioksida setiap tahunnya, setara dengan emisi 5,5 juta mobil baru di jalanan.
Semua itu hanya permulaan.
Pohon-pohon yang ditebang tersebut dicacah menjadi serpihan-serpihan dan lalu digiling menjadi bubur kertas, sebuah proses yang membutuhkan banyak air. Terlebih, produksi kertas membutuhkan energi dua kali lebih banyak daripada produksi kantong plastik.
Tisu sebenarnya bisa diproduksi dari kertas daur ulang, tapi hampir semua produk tisu yang diiklankan secara besar-besaran terbuat dari pohon. Mengapa mereka lebih memilih serat murni pohon daripada kertas daur ulang?
Alasannya adalah untuk memenuhi obsesi orang Indonesia (maksud saya, seluruh konsumen di dunia) terhadap tisu yang sangat lembut. Pohon hidup memiliki serat yang lebih panjang daripada kertas daur ulang, dan hal ini dapat membuat tisu lebih lembut (dan mewah).
Masalahnya, produksi bubur kayu murni menggunakan hampir dua kali lebih banyak air daripada memproduksi tisu dari bahan daur ulang. Satu lembar kertas memerlukan rata-rata tiga galon air, dan satu gulung tisu toilet biasanya menghabiskan 37 galon air.
Jadi, asumsi bahwa penggunaan tisu sekali pakai bisa menghemat air karena tak perlu membilas kain lap tidaklah benar. Jumlahnya bisa lebih banyak lagi pada konteks tisu basah. Terlebih, bubur kayu murni juga menghasilkan dua kali lebih banyak polutan udara.
Setelah tisu dikemas dan diangkut, yang menghasilkan limbah plastik dan membutuhkan gas dan energi sangat banyak, tisu sampai di toko-toko terdekat kita dan siap untuk dikonsumsi. Usai digunakan, mereka harus pergi ke suatu tempat, bukan?
Sekarang kita amati nasib setiap lembar tisu di tempat pembuangan akhir.
Sebuah perhitungan memperkirakan bahwa limbah semua jenis tisu menyumbang sekitar 1/1500 emisi gas rumah kaca dunia. Itu tak akan menghancurkan bumi, eh? Tapi jika dilihat dari total emisi karbon di dunia, angka tersebut sebenarnya cukup tinggi.
Emisi gas rumah kaca global diperkirakan mencapai 50 miliar metrik ton. Ini berarti produksi tisu mengeluarkan sekitar 33 juta metrik ton gas rumah kaca setiap tahunnya. Bagian yang penting adalah "setiap tahun", karena ini berarti emisi tersebut berulang dan bertambah.
Memang, seperti produk kertas lainnya, tisu dapat terurai secara hayati. Namun, kita harus menempatkan ini ke dalam perspektif. Di TPA, penguraian sampah sangat lambat, dan tisu biasanya bercampur dengan produk lain sehingga lebih lama lagi untuk terurai.
Tisu diperkirakan benar-benar terurai setelah 3-5 bulan, tapi tisu basah bisa terurai setelah 50-100 tahun. Itu karena tisu basah mengandung mikroplastik tertentu yang membuatnya sulit terurai seperti sampah plastik lainnya.
Lagi pula, tisu kering pun menghasilkan sampah plastik. Setiap tisu yang kita beli tidak dalam keadaan telanjang, bukan? Dan kita telah diberitahu secara luas bahwa plastik memerlukan waktu ratusan tahun untuk benar-benar terurai.
Ini seperti Anda meninggalkan warisan untuk cicit Anda: "Inilah, cicit-cicitku yang tercinta, wadah tisu yang Abah pakai di tahun 2024, masih ada di sini pada tahun 2124!" Ya, mungkin bukan Anda yang menyampaikannya langsung.
Jika Anda berpikir untuk membuang tisu ke toilet, jangan lakukan, tolong. Itu mungkin akan mengurangi limbah tisu di tempat sampah, tapi sangat buruk untuk pipa pembuangan. Beda dengan tisu toilet yang aman bagi septik, tisu wajah sulit terurai di dalam air.
Tisu basah adalah yang terburuk. Mereka mengandung serat plastik yang tak hanya sulit terurai secara hayati, tapi juga membentuk gumpalan besar bercampur minyak (biasanya disebut fatberg) yang menyumbat saluran pembuangan dan membahayakan kehidupan air.
Dan jika Anda berpikir untuk mendaur ulang tisu, ya, rumit dan kompleks. Secara teknis, tisu bisa didaur ulang, tapi tidak dalam pengertian praktis. Kertas tisu bisa didaur ulang selama belum tercampur dengan kontaminan, seperti minyak dan glitter.
Dengan kata lain, proses daur ulang membutuhkan kertas tisu yang murni dan tak tercemar. Tapi kita memakai tisu untuk membersihkan sesuatu, bukan? Siapa orang yang membeli tisu baru hanya untuk dikirim ke pusat daur ulang?
Tobat tisu, tobat ekologis
Atas alasan-alasan itu, saya coba bereksperimen selama seminggu tanpa menggunakan tisu. Saya takut tugas ini akan lebih sulit daripada yang dibayangkan ketika, pada hari pertama, saya secara tak sadar mengambil tisu untuk membersihkan keyboard laptop.
Saya terpikir untuk mengenyahkan tisu sama sekali dari rumah, atau setidaknya menaruhnya di luar jangkauan, seperti perokok berat yang mencoba berhenti merokok. Tapi, saya tak bisa tahan selama tiga hari (atau dua hari, saya linglung).
Alasannya adalah saya selalu punya kekacauan yang tak akan pernah saya bersihkan dengan saputangan atau handuk dapur, seperti mengeringkan wajah saya yang sangat sensitif. Anda tahu, handuk mandi sekalipun bisa membuat muka saya jerawatan.
Dan saya menyebutnya "kekacauan" karena, ya ampun, saya tak suka melihatnya di cermin. Tapi saya pikir itulah idenya: larangan total tidaklah praktis. Jadi saya mengubah rencananya untuk hanya memakai tisu saat mengeringkan wajah.
Hasilnya, saya biasanya hanya mengambil dua lembar tisu per hari: selembar setelah mandi dan selembar lagi setelah cuci wajah malam. Tisu-tisu ini tak langsung saya buang; sengaja saya taruh di atas meja saya. Esok pagi, setelah kering, saya pakai untuk mengelap laptop.
Ya, kadang lebih dari itu. Secara bertahap, tepatnya intuitif, saya mengembangkan strategi kapan sebaiknya menggunakan tisu daripada kain lap. Jika kekacauan berasal dari mulut dan membutuhkan effort besar untuk meraih air, tisu adalah sahabat saya saat itu.
Tapi di luar "kekacauan sesekali" itu, saya bergantung pada saputangan dan handuk kecil untuk segalanya. Saya bahkan mendorong diri saya untuk melihat seberapa serius saya dan seberapa efektif eksperimen ini untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik.
Saya memasak nugget dan kentang goreng dengan handuk kecil tergantung di pundak saya untuk membersihkan percikan minyak dan remah-remah. Ketika tiba-tiba saya tertarik untuk membaca buku yang sudah lama berdebu di ujung rak, saya memakai saputangan.
Keduanya berukuran kecil, amat murah, begitu menyerap, bisa digunakan berulang kali, dan tak kalah praktisnya dengan tisu sekali pakai. Lebih penting lagi, itu dapat diandalkan untuk hampir semua kekacauan.
Kadang-kadang, handuk kecil dan saputangan hanya membutuhkan bilasan air hangat untuk siap digunakan kembali. Kadang-kadang, mereka perlu dilempar ke dalam cucian. Terlepas dari itu, lap murah ini selalu kembali.
Dengan memakai tisu, kita membuang kekacauan kita ke dalam tempat sampah, tak pernah memikirkannya lagi. Kita mengenyahkan noda-noda kita ke jalan untuk membiarkan orang lain (bahkan planet ini) untuk menanganinya.
Sebaliknya, dengan menggunakan saputangan dan handuk kecil, karena saya mencuci dan mengeringkannya sendiri, saya membuat kekacauan dan menanganinya sendiri. Jadi, Anda tahu, tanggung jawab kita terhadap planet ini bisa dimulai dari sehelai kain lap.
Lain kali, ketika hidung saya tersumbat dan harus membuang (banyak) ingus lagi, saya bakal belajar untuk memakai saputangan. Mungkin awalnya akan terasa menjijikkan, tapi siapa bilang kita perlu barang sekali pakai untuk memaksimalkan kesehatan kita.
Pelajaran penting yang saya petik dari eksperimen ini adalah sulit melakukannya sendirian. Lingkungan memengaruhi kebiasaan dan refleks saya, jadi saya mengajak anggota keluarga saya untuk terbiasa memakai handuk kecil dan bukan tisu sekali pakai.
Dan sekarang saya mengajak Anda juga. Demi kesehatan kita dan planet kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H