Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jika Ini adalah Tahun Terakhir Saya

30 Desember 2023   18:48 Diperbarui: 30 Desember 2023   18:54 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alih-alih membuat resolusi tahunan, saya menyambut tahun baru dengan perenungan akan kematian saya sendiri | Ilustrasi oleh Siska via Pixabay

Haruskah saya meletakkan sebuah tengkorak atau suvenir-suvenir lainnya di atas meja saya? Pergi ke Thailand atau Sri Lanka dan mengunjungi wihara-wihara Buddha Theravada di mana foto-foto mayat dipajang sebagai alat bantu meditasi maranasati? Berjalan di kuburan?

Tak satu pun.

Minggu lalu saya mencetak foto hitam-putih Albert Camus berukuran 4R, menempelkannya di mading kamar. Setiap pagi, persis sebelum memulai rutinitas, saya selalu melihat mading, yang berarti saya akan menatap ekspresi dingin Camus setiap pagi pula.

Mengapa Albert Camus? Sulit dijelaskan.

Setelah dua tahun terakhir menjelajahi semua karyanya, ada semacam rasa dan simbol pribadi padanya. Kapan pun saya menelisik wajah dan posenya yang khas intelektual dan (harus saya katakan) sangat "Prancis", gagasan kematian terlintas di pikiran saya.

Setahu saya, Camus tak sering berbicara tentang kematian secara eksplisit, kecuali mungkin dalam analisisnya tentang bunuh diri. Dia jelas banyak berbicara mengenai hidup yang baik dan bermakna di hadapan the absurd.

Justru saya pikir itulah poinnya: hidup yang baik berarti mati secara baik, hidup yang bahagia berarti mati secara bahagia. Novel-novelnya merupakan serangkaian kisah kematian tragis (The Stranger, A Happy Death, The Plague), dan setengah mati (The Fall).

Jadi, meskipun aneh, wajah Camus benar-benar membantu "meditasi kematian" saya.

Lebih banyak sinar matahari

Sindrom Cotard adalah sejenis khayalan aneh yang menimpa sebagian kecil populasi. Delusi ini juga dikenal sebagai "sindrom mayat berjalan", karena orang yang mengalaminya percaya bahwa dirinya sudah mati atau lenyap atau membusuk.

Kita (saya dan semua pembaca artikel ini) kiranya tak mungkin menderita penyakit tersebut. Tapi, siapa pun mungkin saja jatuh ke dalam kondisi serupa dengan gagal membedakan garis tipis antara kehidupan dan kematian.

Jika kita bersikeras untuk mengabaikan kematian kita sendiri, saya pikir kita cenderung akan membuat keputusan yang menyebabkan kita berjalan sambil tidur dalam kehidupan. Ya, kita mungkin belum mati, tapi dalam kondisi ini, kita juga tak sepenuhnya hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun