Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jika Ada yang Golput di Pemilu 2024, Mungkin Mereka Kesepian

23 November 2023   06:30 Diperbarui: 23 November 2023   19:06 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penelitian menemukan bahwa orang yang kesepian lebih mungkin untuk golput | Ilustrasi oleh Michelle Pereira via Politico.com

Mengapa seseorang memilih golput dalam pemilu? Mungkin ia merasa bahwa, sebagai satu dari ratusan juta pemilih, suaranya tak akan mengubah apa pun. Jadi, ditambah dengan pengorbanan waktu untuk memikirkan calon dan pergi ke TPS, golput tampak "rasional".

Mungkin ia memang tak tertarik pada politik. Ia berpikir bahwa memilih adalah hak dan bukan kewajiban warga negara. Mungkin, sebagai medioker yang telah lama muak terhadap sistem, ia menjadi apatis pada ritual demokrasi apa pun, terutama pemilu.

Tapi, menurut penelitian terbaru, seseorang mungkin golput karena merasa kesepian.

Studi Alexander Langenkamp "Lonely Hearts, Empty Booths? The Relationship between Loneliness, Reported Voting Behavior and Voting as Civic Duty", yang diterbitkan tahun 2021 di Social Science Quarterly, menyediakan bukti empiris atas korelasi aneh tersebut.

Langenkamp meneliti tentang apakah kesepian membuat seseorang merasa tak wajib, dan dengan demikian enggan, untuk memilih dalam pemilu. Hasilnya sangat mengejutkan: orang yang kesepian lebih kecil kemungkinannya untuk memberikan suara.

Mengapa bisa begitu? Kita bisa memulainya dari lingkaran setan kesepian.

Bagi mereka yang mengalami kesepian akut dan berkepanjangan, tak ada cara mudah untuk mengakhiri kesepian. Mereka biasanya (secara tak sengaja) malah melanggengkan kesepian dan kesedihan mereka, bahkan memperburuknya.

Kesepian menjadikan mereka selalu waspada, siap menghadapi kekecewaan dan penolakan yang mereka yakini akan datang. Masalahnya, karena pikiran mereka terdistorsi, ramalan ini seolah terpenuhi dengan sendirinya.

Mereka mungkin berpikir seperti ini: "Ya Tuhan, sepertinya mereka akan menolak ajakanku. Ah, pasti begitu. Bagaimana jika mereka menerima undanganku untuk bertemu di kafe, tapi ternyata mereka malah asyik sendiri dan mengabaikanku?"

Akhirnya, mereka membatalkan semua niatnya untuk menghubungi orang lain, mengisolasi diri lebih lama lagi, hanya meringkuk di ranjang atau sofa; singkatnya, karena lebih berfokus pada sinyal penolakan, kesepian mereka memburuk.

Efek utamanya adalah perasaan terputus dari masyarakat, dan inilah inti yang menjelaskan hubungan logis antara kesepian dan rasa tanggung jawab untuk memilih. Jika orang merasa mereka bukanlah bagian (yang penting) dari masyarakat, mereka jadi cuek.

Itu berarti, dalam konteks pemilu, warga yang kesepian cenderung tak melihat pemungutan suara sebagai kewajiban kewarganegaraan. Putusnya rasa memiliki dan keterikatan mereka terhadap masyarakat membuat mereka acuh tak acuh dan pasif.

Hal itu sejalan dengan teori Andre Blais dan Christopher Achen bahwa dua prediktor terkuat untuk partisipasi pemilih adalah perasaan pribadi mengenai betapa pentingnya hasil pemilu, dan persepsi bahwa memberikan suara merupakan kewajiban moral.

Mereka menjelaskan secara panjang-lebar bahwa rasa tanggung jawab warga negara untuk memilih berasal dari perasaan loyalitas, patriotisme, atau keterikatan pada masyarakat. Ini tak mencakup semua motivasi, tapi mewakili sebagian besar.

Dalam hal ini, jika kesepian berarti terkikisnya keterikatan dan keterhubungan dengan masyarakat, maka kesepian dapat menjadi faktor penjelas mengapa seseorang tak merasa berkewajiban atau bertanggung jawab untuk memilih dalam pemilu.

Temuan Langenkamp ini memang sangat menarik, tapi tak sepenuhnya baru.

Sebuah makalah tahun 2007 yang ditulis oleh D. S. Pearl dan R. K. Anderson dari Washington State University, telah menemukan hal serupa. Meskipun penelitian mereka baru sebatas di lingkup mahasiswa, kesimpulan mereka bisa ditarik ke konteks pemilu nasional.

Mereka menemukan bahwa orang-orang yang aktif dalam komunitas mereka (klub, asosiasi profesi, partai politik, dan sebagainya) lebih cenderung memberikan suara. Sebaliknya, orang-orang yang kesepian cenderung pasif dan, dengan demikian, golput.

Dua temuan itu sekaligus membuktikan bahwa kesepian merupakan variabel yang kuat (tapi tak pernah diperhatikan) guna memprediksi motivasi partisipasi warga negara dalam proses pemilu.

Tentu saja, ketika penelitian-penelitian tersebut menyebut "kesepian", jangan menyamakan itu dengan "kesendirian" atau "isolasi sosial". Jangan membayangkan orang kesepian adalah kutu buku atau introver yang sepanjang hari mengurung diri di kamar.

Ya, mereka mungkin kesepian, tapi jangan mengasosiasikan mereka dengan kesepian.

Isolasi sosial merupakan kondisi objektif ketika orang kekurangan kontak sosial dan memiliki sedikit orang untuk berinteraksi secara teratur. Seorang introver mungkin sering mengalami isolasi sosial, tapi ini tak sama dengan kesepian.

Kesepian juga tak selalu berarti kesendirian. Bayangkan seorang pianis yang berlatih selama berjam-jam sendirian, dan penulis atau pelukis yang menekuni karyanya berhari-hari sendirian, atau sesederhana menikmati secangkir teh di sore yang tenang.

Mereka semua menyendiri secara sengaja, dan Hannah Arendt akan mengatakan bahwa ini merupakan kondisi yang memungkinkan seseorang untuk berpikir dan mengenali dirinya sendiri. Kesendirian (solitude) merupakan sebuah pilihan.

Di sisi lain, orang mungkin tak memilih untuk menjadi terisolasi secara sosial, tapi kondisi ini masih memungkinkan mereka untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, meskipun isolasi agak melumpuhkan, mereka masih bisa "berfungsi".

Sementara itu, kesepian adalah yang terburuk.

Hannah Arendt menggambarkan kesepian sebagai suatu situasi ketika "manusia kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sebagai mitra dari pikirannya dan kepercayaan dasar pada dunia", yang akhirnya membuat orang tak berdaya sama sekali.

Kesepian, sederhananya, membuat kita sedih dan (maaf mengatakan ini) picik.

Arendt lebih lanjutnya mengaitkan kesepian dengan kondisi tercerabut dan tak berguna: tak punya tempat di dunia, maka tak ada yang bisa diberikan kepada dunia. Kesepian membuat orang merasa tak dilihat, dipahami, atau divalidasi.

Sebagai makhluk sosial, kesepian mungkin adalah pengalaman terburuk manusia.

Ada beberapa penelitian lain yang menemukan bahwa kesepian bisa memotivasi seseorang untuk terlibat dalam gerakan ekstrem, dan bahwa mereka lebih mungkin memilih kandidat populis, tapi saya akan menyimpan ini untuk kesempatan lain.

Intinya, jika penelitian-penelitian itu benar, maka rasa kesepian tampaknya punya efek dan peran yang tak boleh dianggap sepele dalam menentukan partisipasi warga negara. Dan efek ini, kalau tingkat kesepian masih meroket, akan lebih besar seiring waktu.

Pada Pemilu 2024 mendatang, kita mungkin harus mengenang saat-saat yang terkesan kecil ketika orang lain berbaik hati kepada kita dan, kendati sesaat, menawarkan jalan keluar dari tempat yang gelap.

Itu mungkin tak akan menghapuskan kesepian kita, tapi rasa sakitnya bisa mereda. Kita perlu melihat diri kita sebagai bagian yang berharga dari masyarakat untuk bisa bertindak dan melakukan hal-hal penting bersama-sama. Seperti memberikan suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun