Kesepian, yang telah lama jadi semacam kutukan bagi manusia, kini harus mulai dilihat sebagai bahaya kesehatan masyarakat yang serius. Kita harus mendesak pejabat publik untuk memperlakukan kesepian sama seriusnya dengan masalah lain seperti obesitas.
Itu berarti, kita harus berhenti "memprivatisasi" kesepian. Dalam satu perspektif, kesepian memang merupakan penderitaan pribadi. Tapi, jika kita terus memperlakukannya sebagai masalah pribadi, semua orang akan tetap menggelepar.
Kesepian bersifat pribadi sekaligus politis dan kolektif.
Bagi kita yang mencoba mengakhiri masalah kesepian dari perspektif psikologis semata, kita tak akan mencapai perubahan mendasar tanpa adanya kemauan politik yang menopangnya, mengingat kondisi politik dan ekonomi juga berkontribusi terhadap kesepian.
Pemikiran tradisional biasanya menggunakan gagasan tentang kasih sayang, empati, dan tawaran persahabatan untuk memerangi kesepian. Ini adalah cita-cita yang mengagumkan, tapi cara ini hanya akan berhasil di tingkat individu.
Untuk memecahkan persoalan di tingkat populasi, mari kita dorong lebih jauh lagi.
Kita membutuhkan intervensi pemerintah untuk mempertimbangkan risiko-risiko signifikan dari kesepian. Secara keseluruhan, kita semua (individu dan keluarga, sekolah dan tempat kerja, pemerintah, komunitas) harus bekerja sama dalam merespons masalah ini.
Kita bisa mencontoh negara-negara lain.Â
Pada tahun 2018, pemerintah Inggris secara mengejutkan menunjuk Menteri Kesepian pertama di dunia. Menteri ini bertugas melaksanakan strategi nasional yang ditetapkan dalam rangka mengakhiri "epidemi kesepian".
Jepang, karena tingkat kesepian meroket akibat pandemi, mengikuti jejak Inggris pada tahun 2021. Selain itu, ada pula Australia yang punya program "Ending Loneliness Together" untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengurangi bahaya kesepian.
Daftarnya masih panjang, tapi setidaknya hal itu membuktikan bahwa kesepian bukanlah isu sepele yang bisa dikesampingkan. Dampaknya, baik kesehatan maupun ekonomi dan politik, sangat serius. Sayangnya, Indonesia belum melakukan banyak hal.