Kita semua kesepian saat ini dan, sampai batas tertentu, setidaknya sedih dan picik.
Berikutnya saya akan menunjukkan betapa besarnya ancaman kesehatan, termasuk ekonomi dan politik, yang dipicu oleh kesepian. Saya berpikir bahwa kita, seperti beberapa negara lain, harus mulai memperlakukan kesepian sebagai prioritas kebijakan publik.
Kebutuhan sosial adalah hak asasi manusia, dan kekurangan sosial adalah ketidakadilan.
Mengapa kesepian harus menjadi isu publik?
Secara umum, kesepian adalah semacam kesusahan yang dirasakan orang ketika kenyataan gagal memenuhi hubungan sosial yang diharapkan. Kesepian tak sama dengan kesendirian. Orang yang menyendiri belum tentu kesepian, dan sebaliknya.
Dalam dosis kecil, kesepian biasanya terasa seperti rasa lapar atau haus, sebuah sinyal yang sehat bahwa kita kehilangan sesuatu dan mencari apa yang kita butuhkan. Namun, kesepian kronis bukan hanya lebih menyakitkan, tapi dampaknya juga lebih menjalar.
Rasanya memalukan dan mencemaskan, punya konsekuensi fisik yang terjadi tanpa terlihat. Itu merambat ke mana-mana, dingin seperti es dan sejernih kaca, mengurung dan menelan. Singkatnya, kesepian adalah kondisi korosif dengan konsekuensi serius.
Kesepian yang berkepanjangan membuat kita berisiko lebih tinggi mengalami kekhawatiran, depresi, dan bunuh diri. Lebih dari itu, kesepian juga mengancam kesehatan fisik: gangguan fungsi kekebalan tubuh, penyakit jantung, stroke, peningkatan tekanan darah.
Penelitian terkenal bahkan menemukan bahwa dampak kesepian terhadap risiko kematian dini setara dengan merokok 15 batang setiap hari. (Sekadar cerita, kebanyakan teman saya justru merokok ketika merasa kesepian.)
Ancaman-ancaman mematikan tersebut dapat menjadi salah satu alasan mengapa kesepian harus dipertimbangkan untuk masuk ke dalam agenda kebijakan publik. Tapi, mari kita periksa lebih dalam lagi. Saya akan menambahkan tiga alasan.
Pertama, kesepian masih sangat kental oleh stigma. Masyarakat kita, sama seperti masalah kesehatan mental lainnya, masih melihat kesepian sebagai topik yang tabu. Kita sering mengasosiasikan kesepian dengan kelemahan diri, semacam aib pribadi.
Alhasil, kebanyakan orang yang sedang berjuang menghadapi kesepian tak menceritakannya dan bahkan kesulitan untuk sekadar mengakui pada dirinya sendiri bahwa mereka kesepian. Persoalannya, kesenyapan ini menjadikan masalah kesepian semakin parah.