Kota lebih efektif, tapi impersonal. Ini hampir membuat orang menjadi gila, mengarah pada kepribadian skizoid, hingga psikosis dan kesepian. Jika ada yang bilang kota adalah benteng bagi orang-orang yang kesepian, itu lebih seperti mitos daripada fakta.
Ketiga, budaya kerja yang berlebihan. Hidup di kota membutuhkan biaya yang mahal, siapa pun tahu itu. Hal ini tampaknya membuat sebagian besar orang terlibat dalam "perlombaan tikus" karier, duduk berjam-jam di tempat kerja demi keamanan finansial.
Bahkan itu belum cukup. Pada saat yang sama, selain meningkatkan jam kerja, mereka juga terus-menerus melakukan berbagai hal untuk meraih pencapaian yang lebih tinggi lagi. Alhasil, mereka (merasa) tak punya waktu untuk merawat hubungan sosial mereka.
Inilah mengapa semakin sibuk kita, ironisnya, semakin kita merasa kesepian.
Ketika kita tertekan untuk memperoleh lebih banyak hal, ditambah dengan jadwal yang tak menentu, kita kehilangan kontak dengan keluarga dan teman-teman kita. Lalu kita berhenti berbicara, berbagi, dan menjalin ikatan dengan orang lain.
Kita belajar untuk menekan segala macam emosi dan kerumitan hati. Namun, sama seperti membiarkan udara terus membesarkan sebuah balon, suatu hari semua itu pada akhirnya akan meledak. Sedikit sekali, kalaupun ada, yang bisa kita lakukan setelahnya.
Keempat, teknologi membuat hubungan semakin dangkal. Selain kurangnya empati dan waktu untuk satu sama lain, kita juga perlu menyoroti karakter ganda dari dunia online. Di satu sisi, teknologi memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan siapa pun.
Masalahnya, perangkat yang sama turut menghalangi kita untuk terhubung dengan orang di sekitar. Ini karena komputer dan ponsel lebih banyak dipakai sebagai pengganti tatap muka, bukan sebagai alat untuk memperkaya interaksi tatap muka.
Mendesain ulang kota untuk melawan kesepian
Di samping keempat faktor tersebut, sebenarnya ada faktor lainnya yang tak kalah penting: desain kota-kota modern. Dalam konteks ini, cara kita mendesain dan mengatur kota dapat membantu atau menghambat hubungan sosial.
Hutan beton, padat tapi impersonal, mencekal kerinduan kita akan komunitas yang erat. Ruang hidup yang lebih kecil dan perjalanan jauh yang berlebihan mengganggu terciptanya hubungan yang bermakna, menjadikan masyarakat terkotak-kotak dan terisolasi.
Minggu lalu, saya meringis ketika membaca sebuah artikel tentang seorang pria di AS yang meninggal dalam keadaan berpakaian rapi di sofa depan televisinya. Peristiwa ini memang terjadi bertahun-tahun lalu, tapi tetap saja bikin saya gigit jari.