Melankolis bisa dibilang lebih bersifat... musiman. Ia mengunjungi kita seperti asap, uap, dan kabut. Biasanya tanpa diundang. Kita merasa ada kesenjangan antara apa yang kita mau dan apa yang kita punya, tapi kita merasa tak ada bedanya kalau kesenjangan itu terpenuhi.
Seorang melankolis berhasil melawan paranoia: hal-hal buruk pasti terjadi, dan pada saat itu juga mereka sadar bahwa kemalangan itu bukan milik mereka seorang. Inilah nasib manusia, dan bagian kita semua (tanpa nada pesimis atau nihilis) adalah menerimanya.
Kesedihan yang membahagiakan
Musisi jalanan itu sedang memainkan lagu terakhirnya. Orang-orang yang bertahan tinggal sedikit, dan saya masih ingin di sini beberapa menit lagi. Karena pikiran berkelana, saya tak bisa mengingat satu bait lirik pun yang dinyanyikan musisi itu.
Ketika akhirnya saya melangkah pergi dengan jalan memutar, sambil sesekali memerhatikan lingkungan sekitar, saya meratapi sinar matahari yang hilang, agak pusing oleh lampu-lampu jalanan; singkatnya, saya sempoyongan.
Saya dihantui oleh betapa sedikitnya waktu yang tersisa sehubungan dengan apa yang ingin saya lakukan dan masih perlu saya lihat serta alami. Saya sadar bahwa selama ini saya telah menyia-nyiakan potensi saya, dan betapa sedikit hal yang bisa saya banggakan.
Pada suatu tempat di antara dedaunan yang berguguran, api yang berderak dan udara yang dingin, saya merasa akan menemukan perasaan penuh kemungkinan, seperti disetrum pengisian energi. Namun untuk saat ini, saya sedang tak menginginkannya.
Saya sedang tak ingin aroma yang membangkitkan semangat. Kebahagiaan, seperti matahari, sangatlah cerah, sebuah harapan yang tak akan bisa saya rasakan secara permanen, bahkan tak akan pernah saya lihat secara langsung.
Melankolia ini adalah sesuatu yang perlu saya alami untuk melanjutkan hidup saya.
Dan sebenarnya, jika masuk akal, melankolis adalah sejenis kebahagiaan dari kesedihan. Ini membantu kita untuk mengatasi keterpurukan atau kesengsaraan mental. Melankolis, kata penyair William Wordsworth, adalah "kesuraman yang mewah".
Herman Hesse mengatakannya dengan lebih lengkap: "Saya mulai memahami bahwa derita, kekecewaan, dan kemurungan ada bukan untuk menjengkelkan atau merendahkan atau merampas harga diri kita, tapi untuk mendewasakan dan mengubah kita."
Melankolis memperlambat segala sesuatu, memungkinkan peresapan, dan memfasilitasi kesendirian serta imajinasi. Ia indah karena kita tertegun di sana, masuk lebih dalam. Inilah mengapa kita menjadi lebih tenang dan, ironisnya, puas terhadap nasib kita sendiri.